#11 Perkataan Bintang

186 7 1
                                    

Assalamualaikum, fajar. Boleh aku meminta waktumu sejenak untukku bercerita?

Begini. Aku sedang sebal dengan seorang Bintang.

Alasannya? Sangat sederhana. Sebab ia dengan berani-beraninya menyampaikan kabar akan kedatangan Bumi ke sisi-sisi langitku.

Membuat aku yang tengah kewalahan menyambut kedatangan salju di kerakku, menyempat-nyempatkan waktu untuk menengoknya. Dan mempersiapkan diri pula untuk ditengoknya.

Kau tahu, aku bahkan membuat sebuah puisi. Puisi. Buatnya.

Judulnya 'Pertemuan'. (Diposting dengan mode private pada bagian 'extra part') 

Haha. Nista, ya? Menyadari betapa aku mendamba suatu pertemuan, yang bahkan informasi mengenainya masih bisa dikategorikan hoax. Tidak pasti. Tidak jelas. Namun masih sanggup membuatku begitu berharap.

Harap ini, aku tak tahu sebabnya. Bahkan aku sendiri tak tahu darimana asalnya, dan bagaimana datangnya.

Yang aku tahu. Aku sudah bertekad melupakan dia. Dan kurasa, sudah berhasil pula melupakan dia. Tapi kenapa, masih berharap? Masih mendamba jumpa? Sampai-sampai membuat puisi segala.

Dan tentu saja. Cerita ini klise. Klasik. Retoris. Tertebak akhirnya.

Bumi tidak datang. Atmosfer kami tak bersisian.

Maka kusimpulkan, Bintang itu berdusta.

Fajar, sebenarnya batas antara acuh dengan rindu itu apa? Kenapa makin kemari, makin tak jelas aku memaknainya? Kenapa batas itu semakin kabur?

Aku tidak mengerti, fajar. Sebenarnya apa mau semesta? Aku ini sudah lupa, atau masih suka? Kenapa jadi tak teranalisa?

Sebetulnya, sejak entah berapa purnama belakangan ini (lebih tepatnya sejak bagian keenam tulisan ini), aku memang yakin bahwa aku sudah tak punya rasa. Malah, aku sampai bisa menjadikannya bahan bercanda. Yah, meski kuakui, dia masih menjadi tokoh utama di hampir semua tulisanku.

Namun sudah dua minggu ini, entah mengapa topik-topik tentangnya menjadi sensitif lagi buat telingaku. Kabar-kabar mengenainya, mengundang dahaga buatku. Bahkan aku sampai ragu, sebenarnya Bintang itu yang mengabariku, atau aku yang menggali-gali kabar padanya.

Jadi, fajar. Kuulang lagi pertanyaanku.

Sebenarnya apa mau semesta? Aku ini sudah lupa, atau masih suka?

Kata seorang Bintang yang lain, aku memang tak pernah berhenti merasa padanya. Bahkan, aku belum pernah berusaha untuk memberhentikannya.

Yang lantas membuat aku merenung sendiri.

Kuulang kembali tanya-tanyaku tadi:

Sebenarnya apa mau semesta? Aku ini sudah lupa, atau masih suka?

01/02/'17
Dieny A.

Analogi AntariksaWhere stories live. Discover now