1 - KONTRAK BUDAK

6.7K 471 74
                                    


"Kamu ini gimana, sih? Judul kamu kan tentang perputaran modal kerja, kok pembahasannya kebanyakan tentang break event point?"

Sret!

"Buku yang kamu pakai buat referensi itu buku lama semua. Coba sering-sering ke perpustakaan kampus kita atau perpustakaan kampus lain buat nyari buku referensi yang lebih kekinian. Atau, cari jurnal-jurnal terbaru yang bahas tentang perputaran modal kerja."

Sret!

"Iya, Bu."

"Ini lagi typo-nya parah banget. Masa break kamu ketik jadi berak, modal jadi model, terus ini lagi kontrol jadi—ckckck, kamu kalau ngetik itu yang bener!"

Sret!

"Iya, Bu."

"Di bagian 'Kerangka Pikir' tambahin Rasio Efisiensi untuk menghitung tingkat efisiensi modal kerja di tempat penelitianmu."

"Iya, Bu."

"Hipotesismu benerin juga, ya. Bikin seperti ini."

"Iya, Bu."

"Kamu ini jangan 'iya-iya' terus. Perhatikan yang saya coret ini dan perbaiki."

"Siap, Bu."

Bu Keke, pembimbing gue, dengan santainya menggoreskan spidol merah di atas lembaran proposal skripsi gue. Gila, dari bab satu sampai bab tiga lebih banyak yang dicoret daripada yang selamat dari tinta merah.

Ini pertama kalinya gue konsultasi ke pembimbing setelah sebulan lebih gue mengetik proposal—membuat latar belakang, rumusan masalah, sampai ke hipotesisnya. Dan, lihat apa yang gue dapat dari semua itu? Tinta merah, Cuy! Tinta merah di hampir semua halaman.

Setelah mengucapkan "iya" dan "terima kasih", gue cepat-cepat keluar dari ruang dosen Fakultas Ekonomi. Gue lantas duduk di bangku kayu di dekat pintu ruangan, enggak tahu harus berbuat apa. Suara coretan di setiap halaman proposal masih terngiang-ngiang di telinga gue. Gue shock berat!

Ini benar-benar gila.

Ada enggak sih mahasiswi yang coretan di proposalnya sebanyak coretan di proposal gue?

Enggak ada, ya?

Di tengah-tengah kegalauan, ponsel yang ada di dalam tas gue berdering. Gue membiarkan panggilan tersebut enggak dijawab. Gue sedang malas ngomong sama seseorang. Namun, si penelepon sepertinya merasa butuh banget ngobrol sama gue sampai-sampai dia tidak berhenti membuat ponsel gue berdering. Mau enggak mau, akhirnya gue mengalah.

Yang menelepon sepertinya seseorang yang enggak gue kenal. Gue enggak menyimpan nomornya. Tapi, kenapa dia mesti menghubungi gue terus-menerus?

"Halo?"

"Elo kok lama banget jawab telpon gue? Lo masih tidur, ya?"

Buset! Siapa, nih? Suara laki-laki, tapi kok cerewet amat?!

"Siapa?"

"Juki!"

Juki? Siapa tuh?

"Salah sambung kali, nih. Gue enggak kenal sama orang yang namanya Juki!"

"Gue laki-laki yang elo lempar pake sepatu kemarin. Inget, enggak? Kalo enggak, KTP sama kartu ma—"

"Eh, iya! Iya! Gue inget! Gue inget!"

Gara-gara shock, gue sampai lupa sama barang-barang berharga yang kemarin terpaksa gue jadikan jaminan supaya enggak masuk penjara. Demi apa! Kemarin sungguh hari terburuk yang pernah terjadi dalam hidup gue. Gue yang tadinya berniat menolong seseorang yang dicopet, malah berbuat ceroboh sampai bikin seorang laki-laki jatuh dari motor karena terkena lemparan sepatu dari gue.

JUNI & JUKI - SELESAITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang