3 - LAKI-LAKI PMS

3.7K 389 44
                                    


"Gue mau ke kampus gue dulu, ya? Udah waktunya ketemu sama dosbing." Gue akhirnya bersuara setelah hampir setengah jam gue duduk di dalam ruangan Juki, mendengar dan melihat laki-laki itu menelepon dan bekerja.

Namun, gue enggak mendengar apa-apa selain suara tombol keyboard yang ditekan keras-keras. Gue melirik Juki. Wajah laki-laki itu serius bukan main—rahangnya kelihatan kaku, matanya menatap layar laptop, dan mulutnya terkatup rapat. Gue yakin dia pasti sedang nahan emosi karena beberapa saat lalu, gue ... ceroboh.

Gue hampir bikin dia jatuh saat mengantarnya ke kantor. Cuma hampir doang, enggak sampai jatuh benaran.

"Elo jangan diam gitu, dong. Gue boleh ke kampus, enggak?"

Dia benaran tidak mendengar atau pura-pura tidak mendengar?

"Halooo?"

Juki masih nyuekin gue.

"Ya, udah, gue pergi, ya?"

Gue baru berjalan dua langkah ketika gue dengar Juki berkata, "Siapa yang ngebolehin elo pergi?" Gue berbalik. Dia lantas melanjutkan, "Anterin gue ke Segarra sekarang."

What?

"Tapi, gue kan harus—"

"Ini!" Dia memotong ucapan gue sambil meletakkan setumpuk kertas setebal satu ruas jari di depan gue. "Masukin ini ke tas lo, kita pergi ke Segarra!"

"Tapi, gue mau konsul!" Tanpa sadar gue memekik.

"Bukan urusan gue!"

"Ya, emang bukan urusan elo. Tapi, ini ada urusannya sama masa depan gue! Kalo gue enggak konsul sekarang, gue bisa dimarahin! Lo pernah ngerjain skripsi, enggak, sih? Lo pasti tau gimana rasanya—"

Juki mengangkat tangannya, isyarat supaya gue diam. "Gue enggak ada urusan sama revisian proposal elo! Dan, elo pikir kontrak lo sama gue enggak ada kaitannya sama masa depan lo? Inget, ya? Lo udah tanda tangan kontrak di atas materai! Kalo lo ngelanggar, gue bisa aja nuntut elo!"

Ya Tuhaaan, cabut aja nyawa Hayati.

***

Gue melajukan motor gue menuju kawasan Ancol. Sekarang sudah pukul dua belas siang lewat. Bisa lo bayangin bagaimana rasanya mengendarai motor di bawah matahari yang sedang bersinar cerah banget?

PANAS!

Sepanas hati gue sekarang.

Gue enggak bisa memenangkan debat melawan Juki. Dia benar-benar enggak peduli pada urusan revisi gue. Karena sudah malas mendengar semua bantahan yang bikin gue semakin gondok, gue mengalah.

"BRUUUK!"

Gue tanpa sadar menabrak sebuah mobil yang sedang parkir di dekat belokan gara-gara mendumel dalam hati sampai enggak konsentrasi. Motor gue terbalik. Gue jatuh. Tentu saja laki-laki yang gue bonceng juga jatuh. Gue baru aja menggandakan luka di lutut Juki.

"Elo gimana, sih? Enggak denger gue teriak 'awas di depan!' ya?"

Gue belum duduk di trotoar, langsung marah-marah.

"Ini udah kedua kalinya elo bikin gue jatuh!"

"Sori, deh. Gue enggak bermaksud bikin elo jatuh."

"Makanya kalo nyetir, fokus dong! Fokus!" Dia sudah seperti pelatih yang menyuruh atletnya untuk fokus.

Beruntung enggak terjadi kerusakaan atau luka parah. Motor gue hanya lecet dikit di bagian samping. Gue memakai jaket dan helm, jadi tubuh gue aman-aman aja. Tapi, Juki ....

"Luka di lutut gue belum sembuh, sekarang tangan gue ikutan luka juga."

Mampus deh gue!

Gue enggak tahu harus bicara apa lagi. Gue merasa pantas mendapat omelannya karena memang gue salah. Gue bingung harus melakukan apa sekarang. Juki juga hanya bisa mengomel dan menggerutu—terlebih setelah menyadari pakaiannya kotor. Belum lagi, dia harus segera ke Segarra. Dia pasti tidak akan mau dibonceng sama gue lagi.

Di tengah-tengah kebingungan gue, sebuah Agya merah perlahan menepi. Gue sama sekali enggak punya teman atau kenalan yang bermobil. Jadi, mungkin seseorang di balik kemudi tersebut adalah teman Juki.

"Juni?"

Oke, gue mau meralat anggapan gue sebelumnya. Ternyata, gue punya seorang teman—lebih tepat senior yang memiliki mobil.

"Kak Yogi?"

Dia adalah senior gue di kampus. Dulu. Sekarang dia telah menjadi alumni. Kami cukup akrab lantaran dia pernah menjadi asisten dosen. Dan, gue muncul sebagai mahasiswi yang sering bingung jika ada tugas. Beruntung, dia bukan orang sombong sehingga gue mudah meminta bantuannya di luar jam kuliah.

"Yogi?"

"Loh? Elo, Juk?"

Eh?

"Tunggu! Kalian saling kenal?" tanya gue, memandang Juki dan Kak Yogi bergantian.

"Iya."

Lah?

***

"Yang bener? Elo ketemu sama senior yang namanya Yogi?"

Gue berada di kost, baru saja menceritakan hal gue alami hari ini di tengah-tengah acara memasak dengan Sovi dan Fira—teman satu kost gue. Sovi yang dari tadi kelihatan antusias menyimak penuturan gue, segera melempar pertanyaan, menyuruh gue cepat-cepat melanjutkan cerita.

"Iya. Gue aja kaget pas ada mobil berhenti dekat gue, eh, taunya Kak Yogi. Habis itu, dia nolongin gue. Eh, ternyata, dia itu temen SMA-nya Juki yang make jasa EO-nya Juki buat event ulang tahun pernikahan bosnya di Segarra."

"Kebetulan banget, ya. Terus, pas tiba di Segarra, gimana?" Fira bertanya.

"Ya, Juki di-drop di situ, terus gue dianterin lagi ke kampus sama Kak Yogi." Gue tertawa. "Si Juki tuh enggak banyak omong tau, selama di deket gue ada Kak Yogi. Gue pikir dia bakal maksa gue lagi buat nungguin dia di Segarra. Tapi, pas gue sengaja ngomong, 'gue mau ketemu sama dosbing', Kak Yogi langsung bilang gini ke Juki, 'Juni biar ketemu sama dosbingnya dulu'."

"Sooo," Sovi baru saja mematikan kompor, bergerak mengambil piring plastik dari lemari piring, "Kak Yogi udah tau kalo elo terlibat kontrak sama Juki?"

Gue yang berdiri di dekat lemari, sedari tadi cuma bisa mandangin Sovi dan Fira yang sibuk dengan masakan masing-masing, berkata, "Iya. Gue ceritain ke dia sepanjang perjalanan ke Segarra. Gue bikin Juki jadi kedengaran jahat banget ke gue." Gue tertawa puas.

"Juki pasti dongkol banget sepanjang perjalanan."

"Iyalah!" Gue menyambar omongan Fira. "Biar dia sadar, laki-laki tuh enggak ada yang PMS. Masa tiap detik, tiap menit, tiap jam, ketus terus omongannya. Dia tuh ngomel-ngomel mulu."

Tawa memenuhi ruang dapur.

"Teruuus," Sovi bersuara setelah tawa kami perlahan mereda, "gimana kabarnya proposal lo?"

Mood gue langsung terjungkir sempurna. Gue yang tadinya puas haha-hihi, seketika merasa down begitu Sovi mengingatkan tentang tugas akhir gue.

"Bu Keke marah-marah gara-gara gue telat."

"Dan?"

"Coretan di proposal gue malah lebih banyak dari sebelumnya."

"Bu Keke PMS juga kali," Fira menceletuk, asal. Dia tahu Bu Keke itu sudah tua, usianya sudah sekitar lima puluh tahun, sudah menopause.

Gue menghela napas pelan seiring kedua bahu gue melemas. "Tau deh! Hari ini gue berasa dikelilingin sama orang-orang PMS!"[]

JUNI & JUKI - SELESAITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang