3. Sirosis

43.5K 4.5K 83
                                    


Visual Adam itu cakeep lhoo... di instagramku ada dia. wkwkwkk... nanti kalau aku update via hape, aku kasih deh fotonya. 

*** 

Dennis menderita sirosis sejak kecil. Sebagai penderita hepatitis, sirosis merupakan proses akhir dari perjalanan hepatitis kronis, dan merupakan awal dari terciptanya kanker hati. Itulah mengapa daya tahan tubuhnya gampang sekali menurun. Dan sebab itu juga yang membawaku menjadi begitu overprotective terhadapnya.

Dennis tak bisa dibiarkan lelah atau pingsan, muntah darah, dan segala macam tanda-tanda penyakitnya akan muncul di saat itu juga.

"Kamu pulang dulu sama Dinda, Lin. Nanti siang balik lagi."

Aku menggeleng untuk merespon perintah Mas Bagas. Membuat lelaki itu hanya bisa mendesah dan merebahkan tubuhnya lagi di sebelahku.

"Nggak usah ngeyel, Lintang sayang. Kamu mandi dulu sana. Nanti balik kemari lagi siang. Kalau ada apa-apa sama Dennis, Mas pasti kabari kamu, Dek."

Kami semua berada di rumah sakit. Aku, Mas Bagas, Mbak Farah, Dinda—adik Dennis, menungguinya di rumah sakit, setelah aku berteriak panik mendapati tubuh Dennis tergolek tak berdaya di hadapanku tadi malam.

Sebab seperti kebiasaan, Dennis akan mengejang sebelum memuntahkan darah melalui mulutnya. Dokter bilang, jaringan parut di hatinya telah menyebar dan menyebabkan beberapa komplikasi pada penyakit lain. Pada kasus ini, pendarahan telah terjadi di lambungnya akibat adanya jaringan parut yang menghalangi jalannya darah yang akan kembali ke jantung.

"Ya udah, kalau gitu nanti malam kamu pulang ya sama Mbak Farah juga Dinda? Biar Mas aja yang jaga Dennis."

Kali ini pun aku akan meresponnya dengan bantahan, namun ucapanku kalah cepat dengan keputusan final yang sudah dibuat Mas Bagas.

"Nggak ada tapi-tapi ya, Lin? Nanti sore Mas Bisma juga kemari kok, jadi kamu jangan kalut gitu."

"Bu-bukan gitu, Mas ...."

Mas Bagas menyentuh kepalaku dan mendaratkan usapan lembut di atasnya. "Mas tahu kamu khawatir sama Dennis, Lin. Tapi kamu maksa nungguin dia kayak biasa juga nggak bakal ngaruh apa-apa. Percaya sama Mas, kamu wajib ada di sini kalau Dennis udah bangun."

Aku diam kembali.

Mataku memindai keseriusan dari ucapan itu. Memprosesnya hingga yang kudapati kebenaran tengah diungkap kakakku.

"Kita semua khawatir sama Dennis, Lin. Dan sekarang, mari kita buat giliran jaganya." Tangannya kembali mengelus kepalaku. "Mas yang jaga sekarang, kamu sama Dinda yang jaga nanti setelah Dennis siuman. Gimana? Setuju?"

Aku tak bisa mengelak.

Karena menurutku pun itu adalah hal yang memang seharusnya. Akan lebih bermanfaat memang jika aku menungguinya ketika ia sadar nanti. Tapi rasa ingin terus berada di sisinya membuatku gamang dan resah.

Ingin menyanggahnya terus, namun aku tahu kali ini aku tak punya alasan kuat untuk memperkuat keberadaanku di sini. Sebab Mas Bagas benar, menjadi orang pertama yang mengetahui Dennis membuka mata bukan lagi prioritas utama kami. Karena bagi kami, cukup dengan Dennis sadar dulu. Kami tak membutuhkan apa-apa selain kesembuhan Dennis.

Tapi penyakit ini tak bisa diobati. Selain mencari donor hati untuknya, yang bisa dilakukan dokter sekarang ini hanyalah untuk menghambat laju virus yang sudah berhasil merusak hatinya.

Menunggu pendonor hati sangat sulit, sebab sebagian besar orang hanya tahu mengenai sakit jantung. Jadi lagi-lagi yang mereka donorkan hanyalah sebatas jantung, ginjal, sum-sum tulang belakang, dan beberapa organ lainnya. Tanpa pernah menyadari bahwa hati pun juga perlu didonorkan.

Different Taste (COMPLETE) Where stories live. Discover now