Everything I Do, I Do It For You

1K 165 45
                                    

"Oceanna Jasmine, come on. Baru minggu lalu Mama anterin kamu ke sport station buat beli peralatan hockey, kenapa sekarang tiba-tiba kamu ngerengek mau join tim futsal?"

"Anna salah perhitungan, Ma."

Aruna memutar kedua bola matanya. Tanpa mendengar penjelasan lebih lanjut dari putri semata wayangnya itu, dia sudah dapat menebak, ke mana muara dari 'rengekkan' gadisnya saat ini.

"Karena di cafetaria Kak Shaka sering ngumpul sama anak hockey, Anna kira Kak Shaka anggota tim hockey. Ternyata dia pivot nomor satunya tim futsal."

Sepasang garpu dan pisau berbahan stainless steel yang semula Aruna gunakan untuk 'mengeksekusi' roti gandumnya ia letakkan di sisi piring. Mata wanita itu sepenuhnya tertuju pada Anna yang masih asyik dengan suapan nasi gorengnya.

"Memang semua-mua-muanya harus selalu bareng Shaka?"

"Harus!" Anna menyahut tanpa ragu, matanya dengan berani menatap balik ke arah sang Mama. "Salah siapa semua-mua-mua yang baik di dunia ini diserobot sama Kak Shaka? Udah ganteng, pinter akademik, musik sama olahraganya juga jago. Kalo Anna nggak gerak cepet dari sekarang, bisa-bisa Kak Shaka digebet cewek lain, Ma. Barang bagus kan cepet lakunya."

Here we go again... Anna dan istilah-istilah asalnya.

"My dear, Anna. Suka sama orang itu boleh, Mama nggak ngelarang. Tapi kamu juga harus tahu limit dong, Sayang. Apalagi kamu perempuan. Memang Shaka nggak risi ketemu kamu lagi, kamu lagi, setiap hari? Can you just... give him some space?"

"Mama risi nggak ketemu aku lagi, aku lagi, tiap hari?" Alih-alih menjawab pertanyaan sang Mama, Anna justru membalikkan pertanyaan. "Terus, Mama risi juga nggak ketemu Papa lagi, Papa lagi, tiap hari?"

"It's a different context, Anna. You can't compare it." Aruna mulai kehabisan kata, matanya melirik ke arah Sean, suaminya, untuk meminta bantuan. Namun sayang, Aruna justru mendapati Sean tengah asyik dengan tablet-nya, di atas meja makan... "Excuse me. Sejak kapan ya, di atas meja makan boleh main gadget?"

"Hmm?" Sean mengangkat tatapannya dari layar tablet. Pipinya yang masih penuh dengan sepotong roti gandum itu menggembung. Dia berhenti mengunyah dan mulai menatap bergantian ke arah anak dan istrinya yang kini tengah menghunjaminya dengan tatapan intimidatif. Merasa dicurangi.

Aruna melempar pandangan kembali ke arah Anna, mengabaikan tatap ingin tahu dari Sean yang terlihat tak begitu mengikuti topik bahasan. "You have to promise me, it will be the last. Mama kan juga udah bilang berkali-kali, beli sesuatu itu pakai uang, harusnya kamu pikir dulu seribu kali. Jangan karena agenda terselubung kamu, kamu bebas 'loncat' ke sana-kemari. Kalau udah begini, gimana? Peralatan hockey kamu memang mau dikemanain?"

Anna mengatupkan bibir. Untuk urusan yang satu ini, dia memang tak dapat mendebat. Gadis itu sadar, keputusannya untuk tiba-tiba bergabung dengan tim futsal dan meninggalkan tim hockey—yang bahkan baru satu kali Anna datangi, adalah salah satu bentuk pemborosan.

Hal itu jelas bertentangan dengan prinsip yang selalu Aruna ajarkan. Habis bagaimana? Kalau sudah menyangkut Shaka, semua dos and don'ts yang kerap mamanya gaungkan itu rasanya seperti tak lagi berlaku.

"You got my point, Young Lady?" Aruna kembali bersuara ketika tak mendengar sahutan apa pun dari Anna.

"Iya, Ma. Iya!"

Merasa situasi di meja makan semakin 'panas', Sean berdeham, berinisiatif untuk angkat suara. "Jasmine mau Papa temenin beli sepatu futsal? Habis monthly meeting nanti kayaknya Papa bisa anter kamu ke sport station. Satu jam cukup, kan? Nanti Papa bisa balik lagi ke kantor."

OceannaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang