Prolog

12 0 0
                                    

Sebuah arakan kereta kuda menapaki Padang Pasir Shohan di bawah sinar matahari yang terik. Tak secercah pun angin bertiup. Jejak kaki tiga ekor kuda dan dua belas prajurit membekas dalam di atas pasir keemasan yang panas membakar.

"Kau yakin kita tidak tersesat, Kaylar?" Tanya pria setengah baya pemimpin rombongan kecil itu, kepada seorang laki-laki yang seluruh tubuh dan sebagian wajahnya tertutup oleh jubah dan tudung panjang,

"Aku mengikuti Bintang Fohmhein, Tuan Koheth. Dan selama ini, ia belum pernah mengecewakanku," jawab Kaylar, Si Pria Bertudung, yang merupakan juru sihir Keluarga Koheth. Sebagai seorang bawahan, tidak seharusnya ia menepis keraguan tuannya dengan nada arogan. Namun Kaylar meskipun berusia muda, adalah penyihir yang sangat berbakat. Dan Juan Koheth, meskipun pemimpin yang baik dalam keluarganya, bukan lah seorang pemberani.

Koheth mengangguk. Pandangannya tertuju pada kereta kuda yang dinaiki Kaylar bersama kusir, pada bilik di belakang punggung mereka dimana istri dan anak perempuannya berada. Istrinya nampak pucat terakhir kali ia menengok ke dalam. Tak heran, perjalanan ini sudah berlangsung hampir tiga hari tiga malam tanpa istirahat yang berarti. Perbekalan mereka semakin menipis. Namun, Koheth belum menemukan tanda-tanda Kuil Cahaya di bawah pelupuk matanya.

Sedikit penyesalan terbetik di hatinya. Apakah nyawa istrinya, seluruh pasukannya, bahkan dirinya sendiri, sepadan untuk ditukarkan dengan musnahnya siluman di dalam tubuh anak perempuannya?

Koheth terkenang pada kelahiran putri semata wayangnya itu sembilan tahun yang lalu. Betapa bahagianya ia dan istrinya atas kelahiran buah hati yang telah mereka nanti selama hampir lima tahun. Hingga suatu hari, ahli sihir keluarganya menjatuhkan sebuah berita menggemparkan, bahwa tanda lahir aneh di dada putrinya adalah tanda kutukan iblis. Ia mengatakan, usia putrinya tidak akan mencapai sepuluh tahun bila kutukan itu tidak segera dimusnahkan.

Tentu saja awalnya Koheth murka dan tidak percaya. Namun Luscan, ahli sihir yang bekerja padanya sebelum kehadiran Kaylar, membuktikan perkataannya dengan meletakkan seekor ular kobra ganas di samping putrinya yang masih bayi. Betapa hancur hatinya saat melihat ular itu tidak menyerang putrinya. Malah, ia membelitkan tubuhnya di kaki kecil putrinya dan mendesis-desis layaknya pelayan yang menyembah tuannya.

Satu-satunya tempat untuk membebaskan putrinya adalah dengan menyucikan jiwanya di Kuil Cahaya, yang terletak jauh di tengah gurun pasir Shohan yang luas dan mematikan. Akhirnya, ia memutuskan untuk menjalankan tugas yang telah ia tunda selama hampir sepuluh tahun itu. Diluar keinginannya, istrinya memaksa untuk ikut. Ketika ia bersiap berangkat, perempuan keras kepala itu telah mendudukkan diri di samping putrinya dengan wajah serius. Ia tak punya hati untuk memaksa istrinya kembali, karena ia tahu besarnya rasa sayang istrinya pada anak mereka.

"Apa itu?!" Salah seorang prajuritnya berseru.

Koheth mendengar dan merasakan desauan angin di belakang punggungnya. Ketika ia menoleh, dua belas prajurit tangguh yang tadinya masih berjalan di belakang mereka telah terpental ke udara layaknya dedaunan yang ditiup angin. Jeritan kaget mereka tertelan desau angin yang semakin lama semakin kencang.

"Sihir!" Geram Koheth.

Ia menoleh pada Kaylar, mendapati bibir pemuda itu komat-kamit  merapal mantera. Ia mengira Kaylar tengah berusaha melawan makhluk tak terlihat yang menyerang mereka. Ia tak bisa mempercayai penglihatannya sendiri tatkala Kaylar menatap lurus ke dalam matanya sambil menyeringai dingin.

"Maafkan aku, Tuan Koheth...." Bisiknya.

Jeritan melengking keluar dari dalam bilik yang ditempati istri dan anaknya. Koheth bergegas menyibakkan tirai yang menutupi mereka, hanya untuk melihat istrinya terkulai lemah di lantai. Sepasang mata birunya yang indah menyorot kosong ke atas langit-langit.

"Kaylar, kau....!"

Koheth tak mampu mengungkapkan syok dan kekagetan yang ia alami dengan kata-kata. Mulutnya hanya bisa ternganga menatap sosok pemuda kurus itu memandangnya dengan tatapan tanpa belas kasihan. Tak berapa lama kemudian, ia baru teringat bahwa di pinggangnya terselip sebilah pedang. Dengan gerakan terlatih dan dipicu kemarahan, ia menarik keluar pedang itu dari sarungnya dan mengayunkannya ke arah leher Kaylar.

Hanya dengan sebuah kata sihir, Kaylar membuat tembok sihir tak kasat mata yang mementalkan baik pedang maupun pemiliknya jatuh dari kuda mereka.

"Mati!" Desisnya keji.

Sesuatu yang tajam, menyakitkan, dan tak terlihat menembus jantungnya. Koheth mengeluarkan raungan pedih, putus asa, dan penuh amarah. Padang pasir bergemuruh seolah menyambut dalamnya kesedihan yang ia rasakan. Di sudut matanya yang mulai gelap, ia menyaksikan barisan pasukan berkuda datang menyerbu ke arah mereka dengan teriakan perang. Badai pasir menyelubungi mereka bak selimut, namun tak sedikitpun desau angin dan pasir itu melambatkan langkah mereka. Malah, badai pasir itu nampak menjadi pelindung bagi mereka.

"Mustahil"..... Bisik Koheth dengan napas terakhirnya.

KiraWhere stories live. Discover now