Papat

77 10 0
                                    

Gue tidak tahu kenapa wanita seperti Yasmeen membuat gue tertarik.

Ketika melihatnya pertama kali, entah dari mana, sesuatu dalam dirinya membuat gue tertarik, padahal gue tidak suka dengan yang namanya model.

Melihatnya memasuki lift membuat gue dengan gilanya mengikutinya, tatapan gue tidak bisa berpaling darinya.

Entah setan dari mana gue berani melakukan kegilaan, menciumnya, gue rasa itu ciuman pertamanya.

Gue tidak menyia - nyiakan moment di mana ia tidak sadar akan yang terjadi.

Hingga Fredy mengacaukannya, tapi ia yang kena getahnya, mendapat bogem mentah dari Yasmeen.

Lumayan kekuatannya untuk seorang wanita yang berprofesi sebagai model, ia pasti lebih biasa berlenggak - lenggok di runaway, catwalk, atau apalah itu.

Tetapi kenapa dengan Yasmeen, gue kira ia akan mengamuk, justru terdiamnya membuat gue jadi berpikir seperti apa kepribadian dia.

Dengan diam, Yasmeen seakan monster yang dengan tenangnya melahap semua yang ada secara perlahan, semoga pikiran ngeri di kepala gue tidak terjadi.

Tidak mungkinkan, wanita secantik dia adalah monster yang berbahaya, yang ada monster cantik yang menghiasi hari - hari gue.

Senyum gue mengembang, mengingat kejadian dimana gue mencium Yasmeen, kenapa dengan otak gue, sudahlah.

"Kak, lu kenapa?"

Tiba - tiba seseorang menepuk pundak gue. Ternyata adik gue, Jati Nayaka Suro.

"Jati, ngagetin saja, ada apa?"

"Kakak yang ada apa, dari tadi senyum - senyum tidak jelas, di depan siaran berita bukan komedi."

"Tidak ada, hanya mengingat sesuatu yang lucu."

"Paling juga cewek."

Itu adalah suara adik bungsu gue, Panji Nayaka Suro, dia langsung mengambil remote dan memindahkan saluran ke siaran komedi.

"Nah kalau ini, Kakak boleh tertawa, jangan cuma senyum!"

Gue toyor kepala Panji, heran setiap nonton televisi selalu bawa camilan tetapi badannya tidak mekar seperti gue.

"Siapa Kak?"

"Maksud lu?"

Gue tidak mengerti pertanyaan Panji, atau gue yang tadi melamun sehingga tidak mendengar ia bertanya apa.

"Cewek, Kak?"

"Cewek?"

"Berlagak pilon lagi, cewek yang membuat Kakak gue, senyum - senyum seperti orang kesambet."

Gue toyor kepala Panji, dia cemberut sambil mengusap kepalanya, padahal tidak gue pukul kepalanya.

"Cewek, sekolah yang benar, baru mikirin cewek!"

"Kok jadi gue, Kak Jati?"

Gue selalu tersenyum dengan keakraban dua saudara ala mereka, ribut.

"Sudah, sudah, ada cewek yang Kakak suka!"

"Siapa?"

Kompak sekali mereka, kekepoan mereka dimulai.

Dengan menghembuskan napas, gue bicara nama cewek yang sepertinya telah mengambil alih dunia gue.

"Yasmeen......... Yasmeen Natanegara."

"Apa?"

Itu suara Panji, sedang gue dan Jati bingung dengan teriakan adik bungsu gue yang kaget mendengar nama Yasmeen.

"Dik, lu tu kalau kaget biasa aja, Kakak sakit telinga nih!"

"Mana ada kaget direncanakan, itu sich tidak kaget namanya."

"Terus kenapa lu, teriak?"

"Memang Kakak berdua tidak tahu Yasmeen Natanegara itu siapa?"

"Model."

Jawab gue singkat, sedang Jati mengendikkan bahu tidak tahu.

"Selain model, dia itu actress serba bisa, dia itu rising star untuk tahun ini."

Panji menerangkan dengan takjub, entah mungkin dia fan Yasmeen.

"Dan Kakak suka model, sejak kapan?"

Inilah pertanyaan Jati yang selalu gue tidak suka, membuat gue tidak bisa mengelak.

"Sejak gue melihatnya dan semakin suka karena ciuman tadi siang."

"Apa?"

Suara teriakan Panji dan Jati bersamaan membuat telinga gue serasa mau pecah.

"Bisa tidak kalian tidak berteriak, telinga Kakak sakit!"

"Panji heran, bagaimana seorang Yasmeen mau dicium Kakak."

"Sejak kapan Kakak suka mencium model."

"Sudahlah itu yang terjadi dan jangan tanya - tanya gue lagi!"

"Yasmeen Natanegara mungkin buta melihat Kakak."

"Natanegara, siapa yang kalian bicarakan?"

Setelah dua adik gue, ditambah papa, lengkap sudah penderitaan gue, akan ada sesi tanya jawab yang panjang.

"Ini Pa, Kakak sedang senyum - senyum sendiri, ternyata sedang membayangkan ciuman dengan cewek."

Gue mau toyor kepala Panji tapi dia menghindar sambil memeletkan lidah.

"Siapa yang membuat anak Papa jadi senyum - senyum sendiri, apa perlu ke dokter?"

"Papa, anak Papa yang manis ini sehat jasmani dan rohani."

Papa mulai dengan menggoda gue, begitulah keakraban laki - laki di keluarga ini.

Kami tidak mendapat kasih sayang dari seorang wanita, Mama meninggalkan kami begitu saja, Papa tidak pernah memberi tahu tentang Mama.

Bahkan photo Mama tidak satupun ada di rumah ini. Gue yang masih kecil umur tujuh tahun harus menerima keadaan waktu itu.

Makanya gue tidak suka model, karena Mama dulu seorang model.

Setiap gue teringat Mama, pelarian gue selalu ke makanan.

Papa selalu bilang gue anaknya sedang Panji dan Jati anak Mama, makanan membuat Papa gemuk sedang Mama tidak terpengaruh seberapa banyak ia makan.

Apa ini karma karena gue benci Mama yang kebetulan seorang model.

Kenapa Yasmeen Natanegara yang baru saja gue kenal begitu menyita semua perhatian gue.

"Siapa namanya?"

"Yasmeen Natanegara, model yang sedang naik daun."

Panji heboh sekali, benar sepertinya adik gue ini adalah fan dari Yasmeen.

"Kamu yakin suka dengan anak bungsu Natanegara?"

"Papa kenal dengan keluarga Natanegara?"

"Sedikit, kamu benar - benar serius?"

Aneh, papa menanyakan hal yang sepertinya terlalu jauh, kesukaan gue ke Yasmeen benar adanya, kalau serius, itu bukannya terlalu jauh, tapi ada nada tidak suka di pertanyaannya.

"Suka dan serius Pa, buktinya sudah ciuman."

Gue lempar bantal ke arah Panji, untung kena ke wajahnya, gue tertawa, jahat mungkin Kakak seperti gue.

Di sisi lain, gue lihat muka Papa terkejut, kemudian tertawa, gue bisa melihat perubahan itu, semoga Papa tidak menentang gue.

____________________________________

"Yasmeen, sayang ku."

Punggung tangan lelaki itu mengelus wajah di photo.

Photo Yasmeen Natanegara dengan senyuman memikatnya.

Man With A Knife Behind  ( Private )Where stories live. Discover now