Aletta : Kelinci

147 19 25
                                    

Sebagian orang beranggapan seorang dokter pasti memiliki kepribadian yang halus dan ramah, sifat yang mandiri, cara berpikir yang logis dan cepat menangani suatu masalah. Semua sifat tersebut mungkin tidak melekat dan berlaku bagi diriku sejak tiga hari belakangan, bahkan aku hampir saja salah memberikan resep kepada salah seorang pasien. Andai saja mama tidak terus menuntutku untuk menikah, mungkin aku tidak mengalami semua ini. Aku tidak habis pikir kenapa mama ingin banget aku nikah, padahal akukan masih ingin membangun karier dan menikmati kebebasan. Memangnya salah ya seorang gadis yang sudah berusia 26 tahun masih ingin untuk sendiri?

"Letta ... Letta, kamu dipanggil Dokter Rina tuh!" Ana menepuk bahuku, aku hanya memandang lesu ke arah Ana yang masuk ke dalam ruanganku.

"Ada apa, Na? Kamu kok nggak ngetuk pintu dulu?" tanyaku kepada Ana yang langsung duduk di sebelahku. Ana adalah seorang suster yang bertugas membantuku melayani pasien setiap harinya.

"Kamu dicariin Dokter Rina. Ke pikiran permintaan orang tua lo lagi?" ucap Ana sambil mengusap kerutan di dahiku. Memang hanya kepada Ana lah aku terbuka dan jika kami hanya berdua aku memintanya agar tidak menggunakan bahasa formal. Ana sudah aku anggap sebagai sahabat sekaligus kakak bagiku.

"Ya mau bagaimana lagi, Na? Kamu kan tahu sendiri bagaimana sifat mamaku, tidak mudah menyerah." ucapku sambil menyandarkan kepalaku ke bahu Ana, berharap beban di pikiranku sedikit berkurang.

Beberapa menit kemudian aku pun berdiri dan pergi menuju ruangan Dokter Rina. Kulihat Ana tersenyum mencoba memberikan semangat. Kenapa Dokter Rina tiba-tiba memanggil ku? Apakah Dokter Rina masih mau mencomblangkan aku lagi dengan adiknya? Aku masih ingat seminggu yang lalu saat aku makan siang bareng di kantin dengan Dokter Rina, tiba-tiba datang seorang lelaki menghampiri meja kami dan langsung mencium pipi Dokter Rina sambil merangkulnya. Walaupun umur Dokter Rina hampir memasuki kepala empat, tetapi wajahnya seperti masih berusia 28 tahun. Aku memang belum pernah melihat siapa suami Dokter Rina, tetapi orang-orang mengatakan bahwa suami Dokter Rina lebih muda darinya. Apakah pria yang menghampiri kami ini suaminya atau jangan-jangan selingkuhan Dokter Rina? Aku pun mulai membayangkan banyak hal dalam pikiranku sampai pria tersebut menepuk tangannya di depanku.

"Hey ... kenalin, gue Adam, adiknya dokter yang cantik ini. Lo pasti lagi ngelamunin gue ya?"

Aku terperangah dan melotot kepada pria yang mengenalkan dirinya sebagai adik Dokter Rina ini. Ngelamunin dia? Dasar bocah tengik. Aku yakin ini cowok pasti baru berumur sekitar 20 tahun. Dilihat dari sikapnya pasti seorang playboy yang suka mempermainkan hati wanita.

"Nama lo Letta kan? Lo mau nggak, jadi pacar gue? Menurut informasi yang gue dapat, lo jomblo yang nggak laku-laku kan? Gue mau kok jadi penyelamat lo, gimana?" Aku yang sedang memegang air mineral tanpa sengaja menekan botolnya terlalu keras mendengar ucapan Adam barusan. Apa? Jomblo nggak laku? Penyelamat? Aku benar-benar menganga mendengar ucapan Adam sekaligus kesal. Kulihat Dokter Rina hanya tersenyum melihat tingkah adiknya ini yang tingkat kepedeannya sudah tingkat akut. Untuk ucapannya yang pertama mungkin masih bisa aku anggap angin lalu, tapi untuk yang satu ini aku nggak bisa mengontrol diriku lagi. Aku pun berdiri mencoba menjauh agar sifat liarku tidak keluar.

"Dokter Rina, Letta balik dulu ya, ada urusan." Aku mencoba berpamitan ke Dokter Rina. Sebelum melangkah aku melirik sekilas ke arah Adam yang masih memperhatikan gerak-gerikku. Aku melayangkan tangan kiriku yang memegang air mineral ke arah Adam dan mengenai bajunya.

"Oops, sorry. Gue nggak sengaja. Bye-bye ...." Aku hanya tersenyum melihat ke arahnya tanpa merasa bersalah dan menjauh dari sana, masih bisa kudengar sayup-sayup suara Adam meneriaki namaku. Aku nggak peduli imageku buruk di depan Dokter Rina, yang penting aku berhasil menumpahkan kekesalanku kepada Adam.

Sekarang aku sudah di depan ruangan Dokter Rina, sepertinya ada orang lain di dalam sedang berbincang dengan dokter, karena bisa kudengar dengan jelas suara tawa seoarang wanita dengan Dokter Rina. Eh suara ini, sepertinya kok nggak asing ya, jangan-jangan ....

"Assalamualaikum." bisa kulihat Dokter Rina dan lawan bicaranya berhenti tertawa dan melihat ke arahku yang berdiri di depan pintu. Aku penasaran apa yang mereka bicarakan sampai-sampai Dokter Rina yang selalu kelihatan serius setiap waktu bisa tertawa seperti itu. Dokter Rina tersenyum, lalu berdiri menghampiriku yang masih setia di depan pintu seperti menolak masuk ke dalam neraka yang akan membakar dosa-dosa penghuninya.

"Letta, selamat ya, semoga kamu cepat ngasih undangannya ke saya. Sepertinya tamu kamu udah nggak sabar tuh! Kamu boleh pakai ruangan saya, tapi jangan kotorin sofa saya." Dokter Rina mengedipkan sebelah matanya lalu menarikku masuk ke dalam dan menutup pintu sebelum pergi.

Aku melirik takut ke arah tamu. Jika kalian membayangkan posisiku sekarang seperti rusa yang sedang dipojokkan oleh seekor singa betina, jika sampai salah langkah, pasti berakhir. Aku juga tidak yakin apakah aku bisa keluar dari ruangan ini dengan hati tenang dan anggota badan masih utuh. Oke tetap tenang Letta, jalan pelan ke depan, perlihatkan senyummu seolah tidak ada masalah apa-apa dan duduk dengan tenang.

"Mama ... kok nggak ngasih kabar mau ke sini?" Aku mencoba memulai percakapan. Yap, tamu yang dibilang Dokter Rina tadi adalah mamaku, seorang wanita yang mendedikasikan dirinya untuk keluarga. Kata papa, mama berhenti bekerja sejak abangku lahir, aku merupakan anak bungsu dari 3 bersaudara, aku memiliki seorang kakak laki-laki bernama Adrian Sena Mahardi dan kakak perempuan bernama Embun Sari Mahardi, nama panjangku sendiri adalah Aletta Rain Mahardi. Mungkin lain kali aku akan menjelaskan kedua saudara ku ini, lebih baik fokus ke situasi yang sedang kuhadapi.

Kuangkat wajahku dan melihat ke arah mama, Sahara Mahardi. Wanita berumur 56 tahun yang paling kusayangi. Karena aku anak yang paling kecil, aku selalu mendapat kasih sayang dan perhatian lebih dari mama. Bahkan papa sempat cemburu karena perhatiannya yang diberikan mama berkurang dan teralihkan ke diriku. Papaku memang aneh, cemburu kepada anaknya sendiri.

"Sayang kamu tidak lupa kan sama perjanjian kita?" Mama tersenyum ke arahku, tapi itu bukanlah sebuah senyuman, itu adalah sebuah seringai kemenangan. Oke, kali ini aku kalah sama mama, aku akan lakukan sesuai apa yang telah kami sepakati. Dengan menghembuskan nafas berat aku menganggukkan kepala.

"Masih di tempat biasa kan, Ma? Kalau tidak cocok, Letta boleh pergi?"

"Yap, masih tempat biasa. Itu terserah kamu sayang. Tapi mama yakin kali ini cocok." aku melihat mata mama berbinar. Semoga saja kali ini cocok, biar aku bisa hidup dengan tenang.

"Oh iya, mama lupa. Ini buat kamu pakai nanti," mama mengeluarkan sebuah kaos dari dalam tasnya dan menyerahkannya kepadaku. Sebuah kaos warna putih, ukurannya pas di tubuhku, bahannya halus, masih baru, dan aku menyukainya. Aku pun mengembangkan kaos itu. Tunggu, ini nggak salah kan? Mataku masih normal kan? Di tengah-tengah baju itu ada gambar seekor kelinci berwarna abu-abu sedang menggigit wortel.

"Ma, ini beneran? Mama tidak salah pilih, kan?" aku mencoba memastikan gambar yang ada di baju tersebut ke mama. Semoga saja aku salah lihat. Ya, aku pasti salah lihat.

"Beneran kok sayang. Mama kan udah bilang kamu harus memakai kaos bergambar kelinci untuk pertemuan kali ini. Semoga beruntung sayang." Mama mengucapkannya dengan santai lalu berjalan ke arah pintu.

"Oh iya! Nanti malam mama tunggu cerita kamu. Awas kalau kamu mangkir lagi, mama kurung kamu di kamar dengan hewan-hewan lucu itu!"

"Mama ..."

Kali ini aku hanya bisa pasrah. Aku nggak mau dikelilingi hewan lucu ini. Mungkin kalian mengira aku gila. Ya, aku gila karena takut dengan kelinci. Hewan imut yang hobi melompat itu.

Write A Love (Re-Publish)Where stories live. Discover now