Chapter 2

740 67 7
                                    

Langit telah sepenuhnya berhenti menitihkan buliran bening yang sudah ribuan tetes jatuh menghantam dasar bumi. Jalanan yang basah menjadi bukti bahwa dewa langit dengan tegasnya memerintah sang hujan untuk membasahi setiap sudut di kota Seoul.

Matahari tak sabaran ingin kembali menunjukkan senyum cerahnya setelah awan hitam menghalaunya beberapa saat yang lalu. Namun, sekeras apa pun usaha matahari untuk memberi kehangatan pada khalayak di bumi yang di buat menggigil itu mustahil. Kalian tahu kenapa, kan? Ya, karena saat ini rembulan telah mengambil alih posisi matahari.

Sepertinya bumi sedikit berputar lebih cepat hari ini. Langit berangsur menjadi gelap.

Sedikit ku buka jendela mobilku sekedar untuk menghirup udara Seoul yang sudah ku rindukan sejak lama. Aroma khas yang tidak dapat ku hidu selama di Amerika sana.

Waktu telah menunjukkan pukul 8 malam. Udara semakin dingin di sini. Hanya penghangat di dalam mobil yang bisa mencairkan sedikit kebekuan di tubuh kami. Mobil yang sedari tadi di kemudi paman Kim melaju memasuki pekarangan rumah yang terlihat besar nan megah. Terlampau besar untuk di huni empat kepala dan beberapa pengurus.

Aku bergegas turun dari mobil dan berniat membukakan pintu untuk ibu. Salah satu wanita yang aku rindukan di sini, di rumah ini selain Seulki dan bibi Shin. Ada satu lagi wanita yang berkeliaran di hidupku dengan seenak jidatnya. Aku sama sekali tidak merindukannya seujung kuku pun pada wanita yang secara paksa masuk ke kehidupanku. Wanita yang menjadi mimpi burukku di setiap waktu.

Di sana, di sofa ruang keluarga kami aku melihat seorang pria paruh baya tak jauh sepantaran ibuku tengah asik dengan lembaran kertas di genggamannya. Lengannya dengan lincah membolak-balikkan lembar demi lembar yang aku jamin adalah dokumen penting yang berhubungan dengan pekerjaannya.

"Sayang, kau sudah pulang? Bukankah lusa kau baru ke Seoul?" Tanya ibu keheranan pada pria yang di panggil 'Sayang' itu.

Pria itu tak langsung memberi jawaban atas pertanyaan ibu dan malah menyesap khidmat teh hangatnya.

"Aku meyelesaikannya dengan cepat. Mungkin karena tidak sabar untuk menyambut kedatangan putera kita di rumah ini lagi." Jawabnya di sertai kekehan kecil.

Tubuh yang tak sebugar dulu itu beranjak dari sofa empuknya. Senyuman sesekali ia pamerkan ketika netranya melihat keberadaanku. Aku hanya menatap datar ke arahnya. Tak berniat untuk membalas senyumannya yang menurut kalian terlihat manis namun terasa seperti racun untukku.

"Terimakasih, Nak. Kau sudah menyelamatkan anak perusahaan kita. Ayah tidak tahu akan jadi apa nantinya jika kau tak turun tangan untuk mengatasinya. Ayah bangga padamu." Pujinya yang terdengar seperti ancaman bagiku.

Pria yang menyebut dirinya 'Ayah' padaku itu menepuk pelan pundak ini beberapa kali. Pandanganku memicing tajam ke arah lengannya yang masih fokus berada di pundakku yang memikul banyak beban. Aku hanya tersenyum miring.

"Kau puas, AYAH?" Tanyaku dengan penekanan di akhir kata.

Aku melirik tajam ke arahnya. Dapat ku lihat pupilnya sedikit membesar. "Apa?" Tanyanya di tengah rasa bingung yang melanda.

"Kau puas karena lagi-lagi aku menuruti keegoisanmu itu. Iya, kan?" Suara ketusku berhasil membuat ke dua alisnya hampir beradu sempurna. Ayah menatap ke arahku yang masih menatapnya tajam.

Ibu dan Seulki sepertinya mencium aroma mencekam di antara aku dan ayah. Air muka mereka terlihat takut-takut. Takut ayah akan memukulku seperti yang ia lakukan padaku. Sudah lama memang. Namun, bekasnya tak pernah sirna. Apalagi di sini. Di hatiku. Ya!

Flashback On

Hari ini adalah hari kesekian aku bekerja di perusahaan ayah setelah kelulusanku tak lama ini. Menyandang status sebagai sarjana Management Business dari Sungkyunkwan University. Bisnis, aku sama sekali tidak tertarik dengan hal semacam itu. Tapi, ayah yang memaksaku untuk selalu berhubungan dengan hal yang berbau 'Bisnis'. Ah, membuat pening kepalaku membayangkannya. Ayah tidak tahu, selama proses pembelajaran bahkan aku sulit sekali untuk menghela nafas lega.

Kiss The RainWhere stories live. Discover now