BULAN tiga tanggal tujuh, guguran bunga beterbangan di kebun sebelah timur, kabut pun ikut beterbangan.
Padahal bukan kabut yang beterbangan tapi air hujan.
Air hujan dimusim semi lembut bagaikan serat, kabut tipis menyelimuti seluruh halaman, Jui Pakhay berada pula dalam halaman itu.
Biarpun kerutan alis matanya masih terbesit perasaan ngeri dan ketakutan yang dialaminya semalam, namun perasaan hatinya sudah tidak seberat semalam, karena secara rahasia dia telah menulis sepucuk surat, secara rahasia mengutus Jui Gi untuk menyampaikannya kepada Siang Huhoa.
Sepucuk surat permintaan tolong. Secara ringkas dia telah menceritakan situasi yang sedang dihadapinya sekarang, menyampaikan juga betapa butuhnya dia akan perlindungan dari Siang Huhoa.
Dia tidak menulis surat kepada orang lain, surat semacam ini hanya diberikan untuk Siang Huhoa seorang.
Hal ini bukan hanya lantaran kepandaian silat yang dimiliki Siang Huhoa sangat hebat, hal inipun disebabkan meski Siang Huhoa adalah seorang penyamun, namun dia adalah seorang penyamun budiman, seorang pendekar pedang sejati yang menjunjung tinggi kebenaran dan kesetiakawanan.
Sekalipun di dunia ini benar-benar terdapat setan iblis atau siluman jelmaan, dia yakin kawanan siluman itu tidak nanti berani mengusik seorang pendekar pedang sejati.
Dia hanya berharap Siang Huhoa bisa datang tepat pada waktunya, dia sama sekali tidak perlu kuatir bila Siang Huhoa tak mau datang.
Dia sama sekali tidak lupa kalau mereka sudah bukan sahabat lagi, juga belum pernah lupa kalau sewaktu mereka masih bersahabat dulu, dia pernah menyelamatkan selembar nyawa Siang Huhoa.
Siang Huhoa bukan orang yang melupakan budi. Tentang hal ini dia jauh lebih jelas dari siapa pun.
Bila Siang Huhoa memang bukan orang yang suka melupakan budi, bagaimana mungkin dia tidak akan datang untuk membalas budinya?
Sayang seluruh mental dan kekuatan tubuhnya sudah rontok, sudah hancur berantakan, dia memang tidak bisa menjumpai orang kedua lainnya yang bisa dimintai pertolongan.
Hujan rintik di musim semi masih turun dengan tiada hentinya, ketika angin berhembus lewat, berpuluh-puluh kuntum bunga jatuh berguguran, bunga yang berguguran sekilas tampak bagaikan hujan, bagaikan kabut tipis yang menyelimuti udara.
Mengawasi bunga-bunga yang berguguran, tiba-tiba Jui Pakhay merasa amat sedih, perasaan hatinya amat pedih.
Tanpa terasa dia mengambil sekuntum bunga yang rontok. Di atas putik bunga berwarna putih itu ternyata muncul titik warna merah, merah darah.
Jui Pakhay agak tertegun, belum sempat ingatan ke dua melintas lewat, tiba-tiba ujung jari tengahnya terasa amat sakit, sakit sekali, sakit karena tertusuk oleh sebuah benda yang sangat tajam.
Dari balik titik cahaya merah darah di ujung putik bunga itu tiba-tiba sudah muncul sebatang jarum tajam berwarna merah darah, sementara putik bunga berwarna putih itu tahu-tahu sudah berubah jadi hijau bening!
Laron Penghisap Darah!!
Seekor Laron Penghisap Darah ternyata sedang berdiam diri di atas putik bunga berwarna putih itu, ketika Jui Pakhay mengambil bunga itu, Laron Penghisap Darah pun menusukkan tabung hisapnya yang tajam, langsung ke ujung jari tengahnya.
Jui Pakhay terkesiap, buru-buru dia ayunkan tangannya kuat-kuat, membanting kuntum bunga yang berada dalam genggamannya itu ke atas tanah.
Belum lagi kuntum bunga itu mencapai permukaan tanah, Laron Penghisap Darah tersebut sudah melejit dan sang bunga dan terbang ke udara.

ESTÁS LEYENDO
Laron Penghisap Darah - Huang Ying
Ficción GeneralSetiap huruf yang tertera nyaris meliuk tidak beraturan, seakan si penulis surat sedang tercekam rasa takut dan ngeri yang luar biasa, demikian takutnya hingga batang pit juga tidak sanggup digenggam kencang. Mungkin semuanya adalah sebuah kenyat...