Chapter 40

3.7K 185 2
                                    

-Andrew POV-

Ini sudah keempat kalinya aku mencoba menghubungi ponsel Alice, namun tidak ada yang menjawabnya. Sepanjang perjalanan kerumah sakit bersama Jane, pikiranku terus mengarah kepada Alice. Ekspresinya tadi terlihat seperti ingin menangis meskipun aku tau ia berusaha sekuat tenaga menahannya.

Jane masih menangis dibangku ruang tunggu UGD bersama tante Vania, mamanya. Ia berkeras menahanku disini, begitu juga tante Vania. Saat ini memang tidak ada Leo dan tidak ada pria yang bisa mereka andalkan apabila sesuatu yang buruk terjadi disini.

Tapi semakin lama dirumah sakit, aku semakin gelisah. Alice sama sekali tidak mau menjawab telefonku. Ia pasti merasa sedih dan kecewa sekarang karena melihatku yang langsung menghampiri Jane saat ia menangis. Terlebih lagi sekarang aku memilih untuk menemani Jane kerumah sakit.

Namun aku punya alasanku sendiri. Jane punya semacam penyakit Panic Disorder. Ia cenderung histeris dan menyakiti diri sendiri saat ia merasa panik. Aku tidak ingin Alice melihat Jane dalam keadaan seperti itu karena pasti itu tidak akan menjadi kenangan yang menyenangkan bagi Alice.

Aku sibuk berkutat dengan handphoneku. Dan tidak mempedulikan Jane yang masih terisak disampingku. Pikiranku seperti melayang kearah Alice. Entah kenapa aku merasa cemas. Aku memijat pelipisku dan menunduk, berada jauh dari Alice rasanya benar-benar menyiksa. Kukira aku berhalusinasi saat mendengar suara Adrian, namun yang kulihat benar-benar diluar dugaan.

"Don't do this to me..." suara Adrian terdengar seperti ingin menangis. Menangis? Adrian? Bahkan saat ia kecelakaan motor beberapa tahun lalu yang membuat tangannya patah, ia tidak pernah menangis.

Aku berdiri dari tempat dudukku dan melihat Adrian berjalan cepat, setengah berlari kearahku. Sepertinya ia menuju ruang UGD juga. Wajahnya terlihat panic saat menatap orang yang terbaring di ranjang pasien. Aku menyipitkan mata untuk melihat lebih jelas.

Adrian terus berjalan lurus kearah ruang UGD tanpa menoleh. Ia tidak memperhatikan sama sekali kalau aku sedang membelalakan mata dan membeku saat melihat siapa yang terbaring disana. Alice.

Wajahku pasti sudah sepucat mayat sekarang karena aku merasa sekujur tubuhku tiba-tiba terasa dingin dan suaraku juga tidak keluar saat aku hendak memanggil Adrian. Kupaksakan kakiku melangkah pelan-pelan menyusul Adrian. Kemudian kurasakan tanganku ditahan oleh seseorang. Jane.

"Andrew..."

"Lepaskan aku Jane. Tante Liliana bisa menemanimu, aku harus pergi," aku menepis tanganku kasar dan membuat Jane terduduk kaget.

Aku menyusul Adrian yang sedang berdiri lemas didepan pintu ruang UGD, membalikkan badannya dan merenggut kemejanya. Aku belum sempat bertanya apa-apa saat ia kemudian memukul wajahku. Aku merasakan sedikit perih diujung bibirku tapi aku tidak memperdulikannya.

"Kau benar-benar pria terbodoh yang pernah kukenal sepanjang hidupku!" ia berteriak keras kearahku.

"Alice... apa... kenapa?" aku tidak bisa mengeluarkan suaraku.

"Kalau sampai sesuatu yang buruk terjadi pada Alice dan anaknya, aku bersumpah tidak akan sudi melihat wajahmu lagi!"

"Apa yang terjadi?" tanyaku serak.

"Suami macam apa yang meninggalkan istrinya yang sedang hamil besar sendirian, demi mantan kekasihnya? Are you idiot?"

"Alice, ia kenapa?" tanyaku datar. Aku merasa lantai yang kupijak sedikit bergoyang. Kepalaku pusing dan rasanya aku perlu berpegangan.

"Tanyakan itu pada dirimu sendiri! Kebodohanmu yang menyebabkan ini semua terjadi! Sekarang silahkan kau berlari kedalam pelukan mantan kekasihmu yang sedang duduk menyaksikan kita disana. Selamat karena kau berhasil membuat Alice hampir mati!" kalimat terakhir Adrian membuatku tersentak dan emosi. Aku mendorongnya ketembok dan balas menonjoknya.

"Jangan berbicara seperti itu tentang Alice!! Apa yang kau maksud hampir mati hah?!" teriakku. Tapi Adrian hanya mendengus.

"SEKARANG kau perduli pada Alice?" Adrian memberikan penekanan pada kata sekarang. Dan aku makin mengencangkan cengkramanku pada kerah kemejanya.

"DIA ISTRIKU, TENTU SAJA AKU PEDULI PADANYA!"

"Kalau kau benar peduli padanya, kenapa kau ada disini bersama mantan kekasihmu dan membiarkan ia jatuh pingsan di penthouse kalian?" nada suara Adrian terdengar melunak.

"Pingsan?"

"Ia pendarahan hebat, dan sekarang dokter sedang berusaha menyelamatkan nyawanya dan juga anakmu."

Jawaban Adrian terasa seperti tamparan hebat bagiku. Anakku sedang berjuang didalam ruangan sana sekarang. Dan Alice-nya, istrinya, sedang dalam keadaan kritis sekarang. Semuanya karena kebodohanku yang tidak menjaga mereka. Suddenly I feel so stupid, so helpless.

"Alice... dia baik-baik saja?"

"Aku tidak tau. Sebaiknya kau hubungi orang tua Alice, kabari mereka mengenai kondisi Alice sekarang. Aku akan menghubungi papi dan mami," Adrian menepis tanganku yang ada di pundaknya. Dan berlalu menjauhiku.

Kondisi Adrian terlihat begitu terguncang saat mengantar Alice barusan. Namun kondisiku lebih parah dari Adrian. Aku bahkan tidak sanggup berdiri lagi sekarang. Aku terduduk di lantai dan bersandar di tembok rumah sakit. Aku ingin menemani Alice didalam sana, memegang kedua tangannya dan meyakinkannya bahwa semua akan baik-baik saja. Bahwa kami akan melalui semua ini tanpa masalah.

"Alice..." suaraku terdengar seperti bisikan. Rasanya begitu tidak tertahankan saat melihat istrimu dan anakmu berjuang mempertaruhkan nyawa mereka didalam sana. Aku merasa kedua pelupuk mataku memanas dan aku membenamkan kedua wajahku diatas lutut dan menangis.

"Alice..." isakku.

-o0o-

-Jane POV-

Apa? Apa yang baru saja kudengar?

"Kalau sampai sesuatu yang buruk terjadi pada Alice dan anaknya, aku bersumpah tidak akan sudi melihat wajahmu lagi!" aku bisa mendengar suara Adrian dengan cukup jelas dari kejauhan.

Berarti yang barusaja masuk kedalam UGD adalah Alice? Kalau sampai Alice kehilangan anaknya, aku bisa saja merebut Andrew dengan mudah. Terutama jika Alice kehilangan nyawanya juga. Aku akan dengan mudah bisa menyusup kedalam hati Andrew lagi.

-o0o-

My Sweet EscapeWhere stories live. Discover now