◀Bab 1▶_Adinda

940 70 35
                                    

Salman

Yogyakarta dilanda hujan gerimis akhir-akhir ini. Mungkin bagi sebagian orang terasa menyegarkan, menyejukkan, dan lain sebagainya. Namun, tidak bagi seorang tukang sablon yang mengandalkan cahaya matahari untuk pekerjaan. Bagian terpenting dalam afdruk untuk memindahkan desain dari kertas *kalkir ke screen, sangat membutuhkan cahaya matahari yang terang.

Apakah tidak ada alternatif lain?

Ada. Tentu saja ada. Kami menjatuhkan pilihan yang kedua dengan menggunakan cahaya lampu. Namun, ada tapinya, menggunakan cahaya lampu membutuhkan waktu lebih lama dan hasilnya kurang bagus dibandingkan cahaya matahari itu sendiri.

"Mas bos, udah kali ya? Udah sepuluh menit."

Aku menoleh ketika Aris memanggil, berjalan ke arahnya, menatap kaca yang di atasnya terdapat screen yang tertutup kain hitam dan ditimpa busa; serta di bawahnya ada dua lampu neon putih sepanjang tiga puluh centimeter yang menyinari. Lalu, menatap jam tangan yang kukenakan dan mengangguk ke arah Aris, "boleh, Ris."

Percetakanku ini terhitung baru. Sejak menikah, aku memilih membuat rumah sendiri walau tak jauh dari rumah ibu. Percetakan juga ikut kubangun walau tak sebesar percetakan utama. Percetakan utama, aku meminta Imam untuk memegangnya. Imam sudah kuanggap kaki tanganku sendiri.

Netraku mengikuti Aris yang mulai mematikan lampu, mengambil busa dan kain hitam, lalu membawa screen ke arah kran air yang memang kusediakan di rumah sablon ini. Masih sibuk mengamati pekerjaan Aris, telingaku mendengar teriakan bayi menangis untuk beberapa saat. Pikirku, bayi siapa yang menangis di sore hari dan begitu dekat, seperti di rumah sendiri.

"Mas bos, Dinda nangis itu kayaknya. Saya lihat tadi mbak Retno lagi ke minimarket sebelah," tukas Aris membuatku tersadar sesuatu.

"Astaghfirullah!" ucapku dengan suara nyaring, membuat Aris dan para pegawaiku yang lain menoleh kaget.

Kaki ini segera berlari secepat yang kubisa. Bagaimana bisa aku melupakan kalau tengah dimintai tolong Retno-istriku untuk menjaga anak kami. Adinda putri fahlevi--gadis kecil berusia delapan bulan. Buah hati yang Kami sayang karena untuk mendapatkannya, memerlukan ikhtiar luar biasa karena berurai tangis dan membutuhkan kesabaran luar biasa.

Bodohnya papamu ini, Nak!

Tak membutuhkan waktu lama untuk sampai pada kamar berukuran lima kali lima dengan nuansa baby pink ini. Kamar yang diperuntukkan khusus untuk Dinda, dengan Retno sendiri yang mendesain khusus--Furniture kids friendly katanya. Aku bahkan tak terpikir ada furniture yang seperti itu. Begitupun, Ia mendesain pada kamar Nanda.

Ranjang bayi berwarna pink lembut yang terletak di pojok kanan ruang dengan sofa yang Retno persiapkan untuk menyusui ketika pagi sampai sore hari, ada di sebelahnya. Untuk malam hari, Dinda tetap tidur bersamaku dan Retno. Aku yang memintanya seperti itu karena masih belum tega jika anak sekecil ini untuk dibiarkan tidur di kamar sendiri pada malam hari.

Di sudut kamar lain terdapat sofa berbentuk kepala unicorn berwarna pink fanta bersebelahan dengan mainan kuda-kudaan yang berbentuk unicorn berwarna putih.

Aku tersenyum melihat bagaimana Dinda tengah berdiri dengan berpegangan pada pagar pelindung ranjang bayinya. "Halo, anak papa yang cantiknya kayak Mama."

Dinda tak membutuhkan waktu lama untuk menangis. Namun, tangisannya memang kencang dan melengking, membuat orang terlebih papanya yang sedikit pikun ini terkaget sampai panik sendiri. "Dinda sudah bangun?"

"Ma ... ma ... ma?" gumam Dinda sambil merentangkan kedua tangan untuk meminta gendong.

Aku segera menggendong Dinda lalu membawanya keluar untuk menunggu Retno yang tengah berbelanja di minimarket sebelah, "nunggu Mama di sini, ya? Dinda haus?"

"Ma ... ma ... ma," celetuk Dinda membuatku gemas.

Sungguh, momen-momen Dinda tumbuh tak ingin kulewatkan seperti saat masa tumbuh kembang Nanda. Masa Nanda tumbuh adalah hal yang ingin aku ulangi karena dengan bodohnya kubiarkan Nanda tumbuh tanpa orang tua.

Aku tak melihat bagaimana Nanda merangkak, bagaimana Nanda menyebut kata untuk pertama kali. Kata ibuk, kata pertama yang Nanda ucapkan untuk adalah 'papa'. Aku langsung menangis sejadinya kala ibu memberitahuku, tiga tahun kemudian ketika aku sudah tak lagi terpuruk akan kepergian Okta. Kebodohan yang membuat menyesal, bagaimana aku melewatkan semua itu.

****

*Kertas kalkir adalah salah satu jenis kertas yang permukaannya tembus. banyak desainer yang menggunakan kertas ini untuk pekerjaan mereka. Sekilas kertas kalkir hampir menyerupai kertas HVS yang terkena tumpahan minyak.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Oct 08, 2022 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Mapan, Tampan, SalmanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang