05 :. Gagal .:

2.9K 346 36
                                    

∷ BAB 05 ∷
∷ GAGAL ∷


Setelah dua hari mangkir dari kelas tanpa ada kabar, Arjuna kembali hadir di hari Kamis. Tepat pelajaran pak Candra di jam pelajaran pertamanya. Ketika tengah mengabsen satu per satu siswa, tentu perhatian pak Candra tertuju kepada nama di nomor absen delapan, “Arjuna Dafin Pranatha, mau berapa kali bolos kamu dalam seminggu?”

Itu tidak terdengar seperti tengah mengabsen, memang. Lebih terdengar seperti pertanyaan sarkastik untuk Arjuna. “Kemarin jagain adik di rumah sakit, Pak,” itu lagi alasan yang keluar dari mulut Arjuna: Jaga adik.

Arjuna memang tidak berbohong, tapi guru-guru tidak pernah memercayainya. Semuanya meminta bukti, tapi Arjuna selalu tidak bisa memberikan bukti. Jelas, Arjuna lebih baik menyembunyikannya sebelum kelak pertanyaan-pertanyaan serta keheranan lainnya berkembang.

“Jagain adik terus alasanmu dari tahun kemarin. Emangnya orangtua kamu kemana? Adikmu itu umur berapa sih, sampai harus dijagain terus,” pak Candra menggeleng-geleng, lalu melanjutkan absensi.

Sepertiga kelas memandang ke arah Arjuna. Ada sorot mata kasihan, ada yang berpihak pada pak Candra, dan ada yang hanya sekadar melihatnya tanpa ada arti tertentu.

Kabar soal Arjuna yang tidak naik kelas memang sudah bukan lagi sebuah fakta yang asing di dalam kelas ini. Minggu lalu, pak Candra dan bu Aisyah menyinggungnya soal itu. Katanya Arjuna harus berubah lah, harus lebih giat belajar lah, harus ini dan harus itu. Berkata seolah-olah merekalah yang mengatur hidup Arjuna.

Setelah menyelesaikan absensi, pak Candra mengeluarkan buku bahasa Inggrisnya, kemudian mulai menerangkan materi di depan kelas.

+ + +

“Jun, lo enggak sebodoh itu kan, sampai bertahun-tahun nyebutin kebohongan yang sama buat alasan bolos sekolah,” tegur Abimanyu sambil terus berjalan dengan santai di belakang Arjuna dan Janice. Arjuna yang sedang menikmati siomaynya bersama Janice, sekonyong-konyong berhenti melangkah, dan berbalik ke arah Abimanyu. “Gue denger dari banyak guru SMP, lo juga pake alasan kayak gitu dulu.”

Arjuna merangkul Abimanyu, dan tertawa pelan, “Gue enggak pernah bohong soal itu ke guru, Bi,” katanya, “cuma merekanya aja yang enggak mau percayaan sama gue.”

Abimanyu kelihatannya berpihak pada pak Candra.

“Kenapa lo enggak jelasin aja? Kalau lo kayak gitu terus, enggak akan ada gunanya, Jun. Mereka udah enggak percaya, kalau terus-terusan lo gituin, mereka yang ada kesel. Percaya deh.”

Arjuna melepas rangkulannya, kemudian menepuk-nepuk bahu Abimanyu, “Tapi masalahnya, gue enggak bohong sama mereka, Bi.”

Langkah Janice yang tiba-tiba terhenti membuat keduanya refleks berhenti juga. “Jane, kalau berhenti jangan ngerem mendadak,” ujar Abimanyu kemudian bergeser. “By the way lo pulang sama gue lagi apa dijemput?”

Janice menggeleng, “Lo berdua duluan aja. Kayaknya gue ada urusan,” Janice tersenyum, kemudian berlari ke gerbang sekolah. Sebuah mobil sedan hitam yang terparkir tak jauh dari gerbang sekolah menyita perhatiannya. Kabar buruk.

Belum Janice benar-benar melalui mobil hitam tersebut, pengemudinya sudah keluar, menghadang jalan Janice, dan menyambutnya dengan senyuman merekah, “Ayo pulang,” katanya. “Mau duduk di depan atau di belakang?” ia bertanya lagi sambil membukakan pintu belakang mobilnya.

Janice membuang muka, “Ngapain sih di sini?”

“Jemput kamu,” dengan senyum menawan yang terkembang di wajah, laki-laki itu menjawab. “Apa sih salahku sampai kamu enggak mau ngomong sama aku berhari-hari? Biasanya kamu selalu butuh aku. Kenapa? Sekarang kamu punya orang lain yang udah gantiin posisiku?” tanyanya bertubi-tubi.

Juna & JaneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang