23 :. Perpecahan .:

1.9K 238 13
                                    

∷ BAB 23 ∷
∷ PERPECAHAN ∷

Pak Candra menghela napasnya. Ia duduk di sofa yang ditempati Janice dan Ringgo. “Maaf, Janice,” ucap pak Candra halus. Janice hanya mengangguk pelan. Pandangannya masih terarah ke ujung sepatunya. Janice bahkan tidak tahu ia mesti bahagia atau justru sebaliknya. “Maaf buat dua belas tahun terakhir ini.”

Janice mengangguk lagi, kemudian menghela napasnya. Janice berusaha tidak menangis, tapi berat juga rasanya. Bukan, ini bukan sebuah perasaan sedih, melainkan haru. Memang Tuhan terkadang memiliki banyak hal mengejutkan, juga mengemasnya dengan sangat baik sehingga ditunjukkannya sering dalam waktu-waktu terduga.

Rupa-rupanya yang membuat pak Candra berpikir kalau Janice itu putrinya adalah karena fotokopi kartu keluarga yang pernah ia pinta. Di hari ketika Arjuna dan Janice terlambat dan berpapasan dengannya itu, pak Candra melihat nama lengkap Janice yang selama beberapa bulan ini tak pernah ia perhatikan di kelas.

“Pak Ringgo,” pak Candra bangkit dari sofa tersebut, membuat Ringgo turut bangkit, dan menjabat tangan pak Candra yang sudah terulur. “saya harus banyak terima kasih. Dua belas tahun itu bukan waktu yang singkat. Saya mohon maaf yang sebesar-besarnya barangkali selama dua belas tahun itu Janice udah bikin repot.”

Ringgo tersenyum, “Enggak apa-apa. Malahan Janice udah saya anggap kayak anak kandung saya sendiri. Saya bersyukur Tuhan udah ngasih saya kesempatan buat ngerawat, dan membesarkan Janice sampai dia masuk SMA gini.”

Janice ingin menangis. Sungguh ingin menumpahkan air matanya sesegera mungkin.

Percakapan antara Ringgo dan pak Candra tidak berlangsung begitu lama. Ringgo segera pamit karena harus kembali ke kantor. Dan sekarang, giliran pak Candra bicara secara empat mata dengan Janice yang sudah larut dalam kesedihan bercampur harunya.

“Maafin Ayah, Janice,” tutur pak Candra. Janice mengangguk. Air berlinang di pelupuk matanya yang semakin banyak itu membuatnya enggan bicara barang sekata. “kamu boleh ikut sama pak Ringgo kalau kamu mau.”

Janice mengangkat kepalanya, memandang pak Candra. Senyumnya mengembang, kemudian kepalanya menggeleng, “Enggak, Yah. Janice bakalan pulang secepatnya.” Sangkalnya. Rasanya canggung sekali memanggilnya dengan sebutan ayah.

Pak Candra ikut tersenyum, “Ayah enggak maksa, tapi ayah berharap banyak,” katanya. “It’s enough. Jam pelajaran siapa sekarang?”

“Pak Adnan, ekonomi. Dan ... free.” jawab Janice sambil mengedikkan bahunya.

Pak Candra mengangguk-angguk, “Sebentar lagi udah bel pulang. Kamu kembali aja ke kelas,” ia melirik ke arloji di tangan kanannya. Yap, lima menit lagi bel pulang akan dibunyikan. Janice mengangguk dengan nurut, kemudian segera beranjak dari ruangan tersebut. “Oh iya, Janice!” Gadis itu berhenti sejenak, dan menoleh kembali. “Kamu pulang sama siapa hari ini?”

“Sebenernya sih sama kak Yudi, tapi hari ini sama ayah juga enggak apa-apa,” jawabnya. Yah, sepertinya, niatnya mengunjungi Arjuna sore ini juga gagal.

Pak Candra tersenyum menahan tawanya. “Enggak apa-apa, Jane. Kamu pulang sama Yudistira aja hari ini,” katanya. “He is your boy, right?” Janice mengangguk ragu-ragu, senyumnya kikuk. Mengakui bahwa Yudistira adalah kekasihnya tidak membuatnya sebegitu bangga.

Lagi pula, bagaimana bisa Janice berbangga akan hal tersebut? Karena Yudistira adalah keyboardist populer di sekolah? Tidak, itu bukanlah sebuah alasan yang menarik dalam pandangan Janice. Bahkan mengingat bahwa Yudistira adalah kekasihnya saja sudah membuat perasaannya merasa sakit sendiri.

Juna & JaneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang