∷ BAB 28 ∷
∷ BIOSKOP ∷∷
Janice tahu ini hanya menyakiti dirinya sendiri. Sudah satu pekan Janice tidak menempati kursi di belakang Arjuna. Laki-laki itu juga sudah tidak pernah memulakan pembicaraan dengannya. Setiap kali keduanya berpapasan, Janice selalu lebih dulu membuang muka sehingga Arjuna langsung mengurungkan niatnya untuk menyapa.
Hampa rasanya tidak ada Arjuna. Tapi Janice sudah bertekad ingin memaafkan, kemudian melupakannya. Janice akan move on dari Arjuna, melupakan segala ingatannya tentang laki-laki itu, melupakan apa-apa saja yang pernah dilaluinya bersama Arjuna, juga melupakan betapa baiknya laki-laki itu untuknya.
Tiap malam Janice mengecek ponselnya. Tidak pernah ada pesan dan telepon dari Arjuna. Laki-laki itu ... sungguh-sungguh menghapus nomor telepon Janice dari ponselnya?
Sudahlah.
“Ayah, Janice mau pergi, ya,” Janice mengambil sepatunya di rak, kemudian berteriak ke arah ruang tengah. “cuma mau nonton ke bioskop, kok.” Lanjutnya kemudian menghampiri ayahnya di ruang tengah.
Pak Candra diam memandanginya sejenak, “Sama Arjuna?”
“Ya enggaklah. Ngapain amat Janice pergi sama Arjuna,” balas Janice ketus. “Udah ya, Yah, Janice berangkat.”
Janice dan Lita—teman SMPnya—berjanjian pukul dua lebih tiga puluh di salah satu mal, dan ini baru pukul dua kurang seperempat. Sengaja Janice naik ke lantai teratas mal untuk membeli dua tiket, kemudian ia berjalan-jalan sebentar di mal, sampai jam di ponselnya sudah menunjukkan pukul dua lebih empat puluh.
Lita tak kunjung memberi kabar. Ketika Janice meneleponnya, tidak ada jawaban. Sial, Janice sudah membeli dua tiket, dan Lita malah tidak ada kabar sekarang. Gadis itu sudah duduk di kursi depan loket pembelian tiket. Ia masih mengulang-ulang telepon ke Lita, tapi hasilnya tetap saja nihil, Lita tidak sama sekali mengangkatnya!
“Eh, elo,” sapaan seseorang membuat Janice menyingkirkan ponselnya beberapa saat. Janice menengadah, melihat seorang lelaki dengan kaus putih dan kemeja merah kotak-kotak. Janice tersenyum sekilas, sambil berpikir, sampai akhirnya rambutnya yang ditata ke arah kanan itu membuatnya sadar, ini adalah Nakula. “sendirian?”
Janice mengangkat bahunya, “Harusnya gue berdua. Tapi temen gue enggak ada kabar sampai sekarang. Filmnya mulai sebentar lagi, dan sialnya gue udah beli tiket.” Janice menunjukkan dua tiket di tangannya begitu Nakula duduk di sebelahnya.
“Wih, gue juga mau nonton Koala Kumal. Buat gue aja tiketnya,” Nakula mengeluarkan dompet dari sakunya, kemudian mengeluarkan selembar seratus ribu, “gue gantiin.”
Janice merogoh tasnya, mengeluarkan selembar lima puluh ribuan untuk kembalian. Namun, dengan halus Nakula menolak, “Udah, enggak usah diganti, sekali-sekali enggak apa-apa kan,” katanya. “Ya udah, ayo langsung masuk aja. Studionya udah dibuka.” Nakula beranjak, kemudian memimpin jalan Janice menuju ke studio tiga.
Keduanya tidak bicara apapun selama film berlangsung. Sama-sama menikmati tanpa komentar sedikit pun. Janice tak sama sekali memalingkan pandangannya ke laki-laki yang duduk di sebelah kirinya. Filmnya sudah terlalu membuatnya bawa perasaan.
“Jane,” panggil Nakula. Janice terdiam. Pandangannya masih terarah ke layar lebar di depan. Telinganya masih setia mendengarkan soundtrack yang baru saja diputar. Lagu dengan judul Kedua Kalinya yang dinyanyikan oleh Sheryl Sheinafia itu membuat Janice lagi-lagi teringat jelas akan sosok Arjuna.
Sebuah lagu tentang patah hati. Janice merasa sangat salah menonton sebuah film yang memiliki subjudul Sebuah Komedi Patah Hati ini. Dua kata terakhirnya membuat Janice ingin menangis sesegera mungkin. Lagu yang terdengar ke telinganya lebih membuatnya ingin menangis, lagi.

YOU ARE READING
Juna & Jane
Teen FictionSebuah cerita tentang Arjuna dan Janice. Tentang Arjuna yang mengejar mimpinya, Tentang Janice yang membantu Arjuna dalam tiap langkahnya, Tentang Janice yang cintanya berakhir kandas, Tentang Arjuna yang bersedia mengisi hati yang kosong, Tentang A...