Mua : Bagian Sebelas

127 6 0
                                    

Sejak dua puluh menit yang lalu Arinda tak bisa untuk tidak melirik pada ponselnya yang tergeletak di meja belajar. Padahal dia memiliki PR Fisika sebanyak lima soal yang belum terjawab satupun. Selain karena kemampuan otak Arinda yang di bawah rata-rata, perkataan Rian tadi siang juga berputar dan bernyanyi di dalam kepalanya, membuat Arinda sama sekali tidak bisa berkonsentrasi. Tak lama pintu kamarnya diketuk, Bi Ani masuk dengan membawa segelas susu hangat.

"Nih Non, bibi bawain susu biar Non Ririn semangat," kata Bi Ani penuh perhatian.

"Makasih ya, Bi. By the way, Aran belum pulang, Bi?"

"Tadi sih Den Aran pesen kalo dia pulang malem tapi gak malem. Opo piye toh? Anu, ya pokoknya gak malem banget."

"Gitu. Ya udah deh, makasih ya, Bi." Arinda tersenyum lebar. Bi Ani mengangguk lalu beranjak keluar. Arinda meminum susu hangat yang rasanya sudah sesuai dengan lidah Arinda, tidak terlalu manis itu.

Setelah lima menit berusaha berjuang dengan satu soal, Arinda menyerah, dia melempar penanya ke atas meja lalu meraih ponselnya. Dilihatnya grup WhatsApp kelas yang sudah ramai membahas masalah PR Fisika itu, bahkan Geon sudah membagikan jawaban nomor satu dan dua. Arinda berdecak senang lalu segera menyalin jawaban itu, tak peduli salah ataupun benar. Setidaknya dia mengerjakan dan bukunya tidak hanya putih polos.

Setelah selesai menyalin, Arinda meletakkan penanya dan bermain dengan ponselnya. Jemarinya membuka kontak nomor di ponsel, satu nama baru terpampang di sana. Rian. Cowok yang penuh dengan rahasia dan kejutan. Ginjal Arinda rasanya seperti disetrum begitu cowok itu memasukkan nomor ke dalam kontak ponselnya, bukan nomor rumah ataupun nomor togel melainkan nomor ponsel. Sayang sekali, padahal Arinda berharap nomor togel yang dimasukkan.

Arinda menghembuskan nafasnya panjang. Dagunya tersandar pada meja belajarnya, kenapa dia jadi menunggu untuk ditelepon Rian? Bukannya bagus jika cowok itu tidak menelponnya, seperti Eza yang waktu itu juga berkata ingin meneleponnya namun sampai sekarang tak pernah ada satu panggilan masuk darinya. Anehnya, Arinda tak pernah menunggu Eza untuk menelponnya seperti yang dilakukannya sekarang.

"Lo kenapa sih, Rin?" tanya Arinda pada diri sendiri.

Baru saja Arinda hendak meletakkan ponselnya, dering panggilan masuk membuat Arinda harus kembali menatap ponselnya yang kini menampilkan nomor baru. Arinda ragu ingin menjawab.

"Halo." Arinda akhirnya mengangkat panggilan itu cukup lama.

"Oh, good. Gue kira lo gak bakal ngangkat telpon gue," terdengar helaan lega dari seberang sana. "Ini gue Eza."

Arinda mengernyit sejenak sebelum akhirnya mulutnya membentuk huruf O. "Oh elo. Ada apaan nelpon?"

"Mau buang pulsa, kebanyakan soalnya."

Arinda tertawa pelan. "Wah anda ini sangat rendah hati sekali, ya."

Kini gantian Eza yang tertawa. "Lagi apa, Arinda?"

"Telponan."

"Selain itu?"

"Ngerjain PR."

"PR apa by the way?"

"Fisika."

Di seberang sana, Eza mengurut pangkal hidungnya mendengar jawaban singkat yang keluar dari mulut Arinda. "Gue yakin pasti soalnya baru kejawab dua, kan?" tebaknya kemudian.

Arinda menaikkan satu kakinya ke atas kursi yang dia duduki. "Ih gila, kok tau?"

"Apa yang gak gue tau tentang lo, Arinda," ujar Eza manis, bibirnya bahkan membentuk senyum. "Gak ada yang marah kan kalo gue nelpon lo?"

Matahari untuk Arinda ✔️Where stories live. Discover now