16. New Family, Partner in Crime

3.9K 415 134
                                    

"Liam kita mau kemana? Liam!" panggil Caroline saat laki-laki itu tetap berjalan tanpa menghiraukan Caroline yang setengah berlari mengikutinya. Hei, bukankah seharusnya Caroline kabur saat mendapat kesempatan seperti ini. Ia hanya perlu berbalik dan tidak pernah kembali lagi?

Tidak! Caroline segera menggeleng untuk mengenyahkan pikiran gilanya itu. Rasa cinta Caroline pada Rangga sangat besar sehingga memberinya kekuatan untuk bertahan bersama mahluk-mahluk menjijikan ini.

"Jangan coba-coba! Aku memiliki alamat lengkap rumahmu beserta nomor telepon ibumu dan alamat tempatmu bekerja!" ancam Liam seperti mengetahui isi kepala Caroline dengan jelas.

Caroline memutar bola matanya, laki-laki ini sombong. Menyombongkan semua data yang ia miliki. Tapi tidak satupun data itu valid. Ia bisa kabur kapan saja ia mau, lagipula walaupun laki-laki itu pada akhirnya bisa menemukan keberadaannya. Tidak seorangpun yang bisa menyentuh putri seorang menteri kesehatan sepertinya.

Namun, walaupun ia memiliki banyak kesempatan untuk kabur, ia tidak bisa kabur, lebih tepatnya tidak ingin kabur. Semua demi Rangga, masa depan yang sedang ia perjuangkan.

"Ya-ya terserah padamu saja tuan Liam," sindir Caroline.

"Hei," Liam berbalik menatap Caroline sambil menyipitkan matanya. Laki-laki itu melangkah mendekati Caroline, membuat gadis itu mundur beberapa langkah.

"Aku suka panggilan itu, helly," sahut Liam tersenyum. Meninggalkan Caroline termenung sendiri. Mencerna kalimat laki-laki itu.

Helly? Namaku bukan helly, tapi Caroline. Tunggu! Selly terdengar sangat familiar di telinga. Tidak mungkin! Jangan bilang Selly yang itu? Caroline membatin.

Helly.... guk..guk...guk
Kemari...guk...guk...guk
Ayo lari-lari?

Sekeras apapun Caroline mencoba mengenyahkan lagu itu dari kepalanya, namun tetap saja berputar tanpa henti.

"Helly? HELLY? KAU PIKIR AKU HEWAN PELIHARAANMU!" Caroline melempar sebelah sepatunya kencang. Namun tidak cukup kencang untuk mencapai Liam yang sudah meninggalkannya jauh.

Entah sejak kapan Caroline jadi sering naik pitam seperti ini, sebelumnya Caroline adalah gadis yang tidak suka memperlihatkan perasaannya. Sedih, senang, marah, kecewa selalu ia sembunyikan. Hanya orang-orang tertentulah yang ia tunjukan perasaannya yang sesungguhnya. Tapi kenapa ia tidak bisa mengatur emosisnya di depan Liam?

"Arrrggghhh terserah!" Caroline mengacak-acak rambutnya kesal.

"Dasar iblis!" makinya sekali lagi, cukup pelan agar tidak didengar oleh Liam.

"Lamban!" ejek Liam saat melihat jarak mereka tidak berkurang sedikitpun. Caroline mendesah kemudian berlari mendekati Liam yang menunggunya.

"Memangnya kita mau kemana?" tanya Caroline lagi.

"Ikut saja!" perintah Liam.

"Tapi kita mau kemana?" Caroline tidak mau menyerah.

"Kenapa kau jadi cerewet sekali?"

"Kau mau membawaku kemana?"

"Huuhhh, gadis yang sangat keras kepala!" Liam mendesah menyerah.

"Tangan!" Liam mengulurkan tangannya kearah Caroline.

"Aku mengikuti perintahmu bukan gara-gara takut padamu! Aku hanya tidak ingin berdebat dengan laki-laki sepertimu!" Caroline mengulurkan kedua tangannya.

"Menggong-gong!"

"Liam, kau pikir perintahmu masuk akal?"

"Bagaimana kalau Sean tahu kau tidak hanya berbohong tentang kejadian tadi. Tapi juga penampilanmu?" ancam Liam.

49 Days Live In Hell [On Going]Where stories live. Discover now