dua belas

5.4K 653 53
                                    

Gadis kecil itu pergi dengan panik, meninggalkan ibunya yang mungkin sudah mati, dan ayahnya yang terkapar karena mabuk.

Saat itu sudah gelap, satu-satu tempat yang dia tau adalah rumah bibinya. Letaknya tidak begitu jauh, sekitar 13 blok dari rumahnya.

Okay, itu lumayan jauh.

Lampu jalan juga tidak terlalu banyak membantunya melangkah, banyak yang mati. Udara yang dingin juga sangat tidak mendukung. Parahnya, dia lupa membawa jaketnya karena tadi terburu-buru saking takutnya. Takut kalau ayahnya terbangun dan kembali menghajarnya.

Kakinya mulai sakit ketika dia tiba di rumah si bibi dan mengetuk pintu tiga kali.

Seorang perempuan muda muncul membuka pintu. Matanya cekung dan rambutnya berantakkan. Kulitnya pucat pasi, dia terlihat tidak sehat dan setengah sadar.

Hmmm sebenarnya memang dia selalu terlihat seperti itu.

Itu bibinya.

"Ada apa kamu kesini malam-malam, heh?" tanyanya melihat gadis kecil yang dia kenal itu berdiri menggigil di depan pintu rumahnya.

"Aku rasa, Mommy meninggal, Bi." Si gadis kecil berbicara tersedak-sedak, dia mulai menangis. Tangisnya yang tertahan sepanjang jalan.

"Apa ayahmu si sialan itu yang melakukannya? Brengsek!" Bibinya memaki.

Gadis itu tidak menjawab, pandangan ketakutan, tangis yang masih juga belum selesai, dan wajah memelasnya sudah bisa menjadi jawaban. Dia yakin bibinya paham akan hal itu.

Wanita yang dipanggilnya bibi itu menatap sinis sekaligus iba ke arahnya. Sepertinya dia berpikir apa yang harus dilakukannya kepada mahluk kecil di depannya.

"Kau masuklah!" perintahnya -akhirnya- kepada anak itu. Si gadis kecil masuk tanpa membantah. Hatinya terasa lega sekaligus hancur pada saat bersamaan.

***

Akhirnya setelah hampir tiga tahun aku tidak pernah mengambil cuti, hari ini aku mengajukan cuti juga. Annisa menatapku cemberut, ketika dengan ragu dan tidak iklas dia mengapprove permohonan cutiku.

"Aku sangat lelah dan butuh refreshing, Ann." Alasanku tadi pada saat mengajukan cutiku. "Aku juga butuh menghindar sejenak dari adikmu. Aku tidak ingin terlibat konflik lebih panjang," jelasku.

Annisa mendesah. Menatapku mengiba dan penuh ke khawatiran, "Tapi kau tau kan masalahku dengan Daniel ...."

"Dia akan datang siang ini," potongku, paham akan maksudnya.

"Jangan khawatir. Dia akan menemui mu, itu sudah kuatur." Aku meyakinkannya.

Annisa terlihat menarik napas lega. Tatapan matanya terlihat lebih bersahabat sekarang.

"Baiklah." Dia tersenyum sekedarnya.

"Aku ijin pulang sekarang ya, Ann ... see you next week," pamitku yang disambut dengan ringisannya. Aku rasa dia masih tidak iklas dengan cutiku.

Who cares!

***

Aku bergegas ke lobi, Alessandria menungguku di sana. Aku sudah berjanji mengajaknya ke taman hiburan di pusat kota siang ini. Dia sangat bersemangat sekali. Ini pertama kalinya aku mengajaknya jalan-jalan.

Alessandria, aku menilainya sebagai anak yang sangat aktif. Dia sangat tidak bisa diam. Aku rasa aku dulu juga begitu dengan ibuku. Sesekali, saat ayahku tidak pulang.

My Beautiful Alessandria (completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang