Tough (2 - end)

41 6 6
                                    


yoey silakan melanjutkan bacaan anda, readers tertjinta :v

habis baca jangan lupa voment ya~

aku menunggu :v


--Jangan menunda-nunda. Nanti terlambat.--


Esoknya aku mengundangnya ke rumah.

Hanya dia, untuk pertemanan.

"Nah, gini dong. Berguna dikit lu jadi orang." Katanya sadis sambil duduk model ratu di salahsatu kursi meja makan rumahku. Ya, rumahku yang biasa, yang hampir sama luas dengan rumahnya. Namun rumahku sepi. Orangtuaku seringkali tak ada di rumah. "Mana kue tart dan es krim jumbo yang lu janjiin untuk gue tadi di sekolah? Lu mau temenan ama gue kan?"

"Oh... iya, ku ambil dulu eskrim dan tartnya di dapur." Bergegas aku menuju dapur. Membawakan tart strawberry kesukaannya dan es krim vanilla yang sudah kuhias dengan susah payah dengan coklat bermacam jenis. Kusajikan di depannya dalam porsi besar dan sangat indah. Okta tertegun dan bersorak seperti anak kecil.

"Wooaaah! Kesukaanku nih! Ini modelnya pasti dari Ro***-Bakery, kan? Yang terbatas itu? OMG!" katanya sambil lagsung memotong dan memakannya. Cukup rakus untuk ukuran anak orang kaya dan tubuh yang langsing begitu. Hal yang sama ia lakukan pada es krim vanilla. "Perpaduan dua makanan ini sesuatu banget. Hebat kan selera gue?!"

Haha. dia masih bisa memuji dirinya sendiri. Menyebalkan sekali.

"Omong-omong kenapa kamu nggak bareng rekan satu geng-mu?" tanyaku hati-hati sambil menyeruput jus jeruk. Ia mendecak tidak senang.

"Buat apa aku mengajak mereka kalau ini bisa kuhabiskan seorang diri?"

Oh. Sangat individualis.

"Lahipula..." lanjutnya dengan mulut penuh, "mereka bukan levelku. Mereka hanya segerombol fans yang tidak punya selera dan bodoh."

Aku tertawa dalam hati. "Bagaimana tentang pertemanan? Kau mau jadi temanku?" tanyaku dengan nada keraguan. Tahu-tahu ia tertawa lebar.

"HAHAHAHA! Entar, deh gua pikirin. Habis pelayanan lu hebat sih." Ujarnya sok. "Dan juga, jangan terlalu berharap, ya, culun."

Aku tersenyum saja. Kau tahu kata yang sering diucapkan orangtua? Orangtuaku sering berkata, 'Jangan menunda-nunda. Nanti terlambat.'

Orangtuamu juga, bukan?

###

Beberapa hari kemudian...

"Pagi, pak Edi..." sapa pak Najib, wali kelas 9-A. Ia memutuskan menghabiskan waktu jam kosongnya di kantor BK, karena ruangan itu sejuk dan luas. TV layar lebar dan mesin pembuat kopi otomatis juga tersedia di sana. Jadi kantor BK lah yang menjadi primadona para guru yang sedang kosong jam mengajar.

"Pagi juga." Sahut pak Edi dari balik tumpukan berkas di atas mejanya.

Hari ini kelas 9-A menjadi perwakilan upacara provinsi untuk Hari Sumpah Pemuda sehingga pelajaran kosong hingga pukul 10.00 dan tak ada lagi yang menurut pak Najib lebih baik dari ngopi sambil menonton berita.

"Ada kabar apa, pak Edi?" tanya pak Najib sambil menunggu kopinya. Pak Edi diam sesaat.

"Kemarin ada anak yang kepergok merokok di kamar mandi."

"Oh... anak 8-E?"

"Iya. Lalu kepala sekolah hari minggu kemarin menang pertandingan tenis." Pak Najib hanya ber-oh saja. "Selain itu, Okta Arina anak 9-A katanya belum pulang sejak hari sabtu."

"Ha?!" pak Najib terlonjak kaget. "Benar, pak?! Saya belum mendapat surat atau kabar apapun! Setahu saya memang hari ini Okta tidak masuk tapi..."

"Suratnya ada di lemari kaca. Bapak kan wali kelasnya. Bapak harus melihatnya sekarang. Nanti mungkin ada polisi yang akan datang memeriksa." Seloroh pak Edi berat. Sepertinya itu juga beban untuknya sebagai seorang guru konseling.

"Memangnya kabar terakhirnya ia pergi ke mana?"

"Tidak ada yang tahu. Tidak ada informasi tentang itu."

"... kasihan." Ujar pak Najib.

###

"Bagaimana, Okta? Kuenya enak?"

"Nggak! Nggak!" pekiknya nyaring. "Tolong! Maafkan aku... MAAFKAN AKU!! Aku memang berlebihan. Tolong lepaskan aku!!" ia meronta dengan suara yang melengking. Menyakiti telingaku. "Aku janji akan baik padamu, AKU JANJI!! Aku bersumpah! Aku tak akan lagi menyakitimu! Aku mohon.. lepaskan aku!"

"Bodo..." tanggapku acuh "Padahal kau tak pernah peduli padaku. Bahkan kau tidak tahu kalau tart itu kubuat sendiri, dengan dosis obat tidur tinggi. Siapa yang bodoh sekarang?"

Iapun diam dan mulai menangis sementara aku berjalan berputar di sekitarnya sambil membawa semangkuk es krim yang kumakan dengan sebuah pisau buah. Ya. Sebenarnya sejak lama aku suka makan dengan cara seperti ini.

Ia terikat erat di sebuah kursi. Kurasa ini lebih dari cukup.

... atau belum.

"Tolong lepaskan akuu..." ratapnya sambil terisak. Kulitnya mulai memerah setelah begitu lama mencoba kabur dari kursi jati itu. "Aku janji akan jadi anak baik!! Aku menyesal!!"

"Tidak mungkin. Dengan kepribadianmu mungkin kau hanya akan melaporkanku ke polisi. Aku sangat tidak diuntungkan pada akhirnya. Lagipula aku bisa punya teman dengan lebih mudah tanpamu di kelas sial itu." Jawabku logis. Ia meraung putus asa namun tak akan ada yang mungkin mendengarnya dari ruang bawah tanah kedap suara ini.

Kemudian ia tenang sedikit. Aku lega, meski kemudian ia kembali meratap dengan suara melengking. "Hei! Kauingin jadi temanku, bukan?? Kau ingin hidup damai dan punya teman kan?! Aku... aku bisa jadi teman baikmu! Aku akan memberikan apapun yang kau mau, aku janji! Apapun! Ya?? Yaa..? jadi, bisa lepaskan aku? Ya..?"

"EITS, sorry.." seruku seketika, dengan pisau buah yang sudah terarah lurus di depan mata kanannya dan senyum manis yang kubuat selebar mungkin.

"DAH TELAAAT~!!"

.

.

.

Aku terdiam menatapnya dengan kasihan di hadapanku. Namun sambil tersenyum.

Ya... mungkin inilah 'keajaiban' yang dimaksud pak Edi.

'Keajaiban' setelah membuat 'teman'ku tersenyum dengan tart buatanku sendiri.


-- The END :v


yoo minna

terima kasih sudah membaca~

author akan secepatnya upload cerita baru

jangan lupa voment ya~ \ >o< / I love u all <3 <3

DARKNESS side of the QUOTESWhere stories live. Discover now