KADO TERAKHIR (PART 2)

1K 127 8
                                    


Kado terakhir... (part 2)

Aku tidak menyadari berapa lama aku meringkuk sampai kurasakan getar di dadaku, aku memang sengaja memasang silent mode pada ponselku dan hanya memasang alarm getar untuk jaga-jaga. Langsung kurenggut ponselku dan menempatkannya di telinga.

"Mae, aku baru saja masuk ke jalan Sersan Bajuri. Kamu nggak apa-apa kan?" Suara Ryu membuatku mendesah, lega luar biasa.

"Aku nggak apa-apa kok," bisikku, berharap suara angin menyamarkan suaraku walau aku tahu, tak mungkin Jose mendengarku.

"Kamu di mana, Mae?"

"Ngg, kamu jalan terus aja. Pelan-pelan ya. Aku tunggu...."

Ryu terdengar gelisah. "Oke, oke, hati-hati ya, Mae. Aku segera ke sana."

Aku menutup ponsel, menarik napas panjang. Mataku kunyalangkan ke arah gulitanya malam. Ini persis seperti mimpi buruk. Apa yang sebenarnya terjadi? Aku mengorek otakku yang lelah, mencari logika di antara kegilaan ini. Ternyata, Jose bukan sekadar mencintai Laura. Dia tergila-gila pada Laura. Astaga, dia benar-benar sakit!

Aku lagi-lagi mendesah, seringai Jose yang mengerikan membuatku menggeleng keras. Apa yang dilihat Laura dari Jose? Dan, apa yang membuat Jose nekat jungkir-balik mencintai keponakannya sendiri? Apa hanya karena Laura cantik dan lihai memikat hati orang?

Aku tidak percaya Laura tak pernah menyinggung soal ini padaku. Padahal, selama bertahun-tahun ia hidup dalam benakku, ia selalu mengungkit semua masa lalu kami, tak lelah-lelahnya mengingatkanku pada keberadaan dirinya. Membuatku sadar bahwa aku tak mungkin jadi begini tanpa dirinya.

Pikiranku begitu ruwet dengan berbagai pertanyaan saat tiba-tiba saja sinar menyilaukan nyaris membutakan mataku. Ah! Itu pasti Ryu! Aku nyaris berdiri saat suara Laura berbisik, memperingatiku

Hati-hati, lihat dulu dari sini, nanti malah Jose lagi!

Aku menuruti sarannya dan mengintip dari sela-sela semak. Kubiarkan mobil itu berlalu perlahan. Hatiku langsung lega saat melihat Hardtop hitam yang melintas. Itu memang mobil Ryu! Aku pun langsung berdiri dan mengejar mobil itu.

Untung saja mobil Ryu melaju pelan. Saat aku sudah menjajarinya, ia menghentikan mobil dan membuka pintu. "Mae? Ayo, cepat masuk!"

Tanpa membuang waktu lagi, aku pun melompat masuk dan menutup pintu mobil. Kesunyian melanda kami. Aku sibuk mengatur napasku yang tersengal-sengal.

"Kamu pasti kedinginan. Nih, pakai jaketku." Ryu membuka jaket dan menyodorkannya padaku.

"Ryu, thanks ya." Aku menatap Ryu yang kembali fokus pada jalanan. Somehow, wajah tenang Ryu membuat gelisahku sedikit memudar.

"Kamu nggak papa, Mae?" Tiba-tiba Ryu menoleh, senyumnya terlihat cemas.

Aku membalas senyumnya. Ingin rasanya aku menceritakan semuanya dan menangis sejadi-jadinya. Namun, aku tidak bisa. Semua yang terjadi seperti mimpi buruk yang tak ingin kuingat. Bahkan, kalau bisa, aku ingin menghapusnya sampai tak bersisa.

"Aku nggak papa. Thanks for everything...." Aku berhenti. Tatapan Ryu penuh tanda-tanya. Jelas. Ia pasti menahan diri tidak bertanya apa-apa karena tak ingin membuatku terbebani.

"Ryu..." Aku mendesah pelan. "Maaf, aku belum bisa cerita apa-apa. Not now... Sorry."

Ryu memandangku lama sekali, dengan dahi mengernyit dan wajah khawatir. Aku berusaha terus tersenyum, berharap ia tidak dapat mengendus rasa takutku.

DEVIL IN MEWhere stories live. Discover now