16. Penghambat

10.6K 983 92
                                    

"Kamu yakin mau ganti jadi full time?" Suara tegas namun tersirat nada ragu menggetarkan gendang telinga Latisha. Gadis berparas ayu itu mengangguk singkat.

"Bagaimana dengan sekolah kamu, Latisha?" Pak Dawin bertumpu tangan. Tatapan matanya yang tajam bak elang mencari mangsa memperhatikan seluruh gerak-gerik Latisha.

"Saya bisa bagi waktu, Pak." Ruang tak terlalu besar itu diselimuti rasa menegangkan. Selama bekerja di sini, Latisha tidak pernah sedikit pun merasa canggung di depan atasannya ini. Kini, entah mengapa, hal itu terjadi.

"Kamu masih pelajar. Tugas utama kamu tentu belajar bukan bekerja."

"Tapi, saya butuh uang, Pak, untuk bayar uang sekolah saya," ceplos Latisha tanpa memikirkan reaksi Pak Dawin.

Jawaban Latisha menyentuh tepat di hati Pak Dawin. Pria berparas tampan itu mendesah berat. Dia merapikan jas yang melekat ditubuh atletisnya. Kepalanya terasa sakit karena memikirkan solusi yang terbaik untuk gadis di hadapannya. Tentu dia tidak ingin sekolah Latisha terganggu dengan bekerja di tempatnya.

"Saya akan bicarakan kepada pemilik kafe. Saya akan mengajukan kenaikan gaji untuk kamu." Latisha membulatkan kedua matanya.

"Jangan berharap lebih, Latisha. Karena semua keputusan bukan berada di tangan saya. Kamu lebih baik bekerja lebih giat serta berdoa supaya pengajuan kenaikan gaji diterima oleh pimpinan." Latisha berkali-kali mengucapkan terima kasih kepada Pak Dawin karena ingin membantunya. Dia akhirnya pamit untuk lanjut bekerja.

***

Latisha merasakan kakinya kesemutan. Pusing melanda kepalanya. Keringat dingin menyerang tubuhnya.

"Tish?" Panggilan bernada lembut menyadarkan Latisha. Latisha menoleh ke arah Rere yang tampak khawatir dengan keadaannya.

"Lo sakit?" Latisha bergeleng kecil. Dia tidak ingin Rere mengetahui keadaannya.

"Nggak, kok. Kayaknya kecapekan aja." Rere hendak membantah. Namun, ketika dering lonceng terdengar, Latisha bergegas melayani pelanggan yang baru datang sehingga membuat Rere menyimpan kembali bantahannya.

Dengan sisa tenaga yang ada, Latisha tersenyum menyembunyikan rasa sakit di kepalanya.

Latisha menyerahkan pesanan yang dipinta supaya lekas dimasak. Dia beristirahat sejenak dengan duduk di kursi dekat meja kasir. Gadis berparas ayu itu memejamkan matanya karena rasa kantuk menyerang dirinya.

Suara pesan masuk menginterupsi dirinya yang baru saja hendak menyelam ke alam mimpi. Latisha membaca pesan singkat dari Asyra.

Lo di mana?

Jari-jari Latisha menari-nari di atas layar ponselnya. Huruf demi huruf ia hingga membentuklah rajutan kata. Tak berselang lama, Asyra membalas kembali pesannya.

Oke.

Latisha mengerutkan keningnya. Dia menyimpan kembali benda pipih berharga itu ke dalam kantungnya. Ketika merasa sudah cukup untuk beristirahat, Latisha bersiap-siap bekerja. Dia terbelalak saat melihat lima orang yang baru saja masuk.

"Kalian ngapain ke sini?" tanya Latisha, tetapi tak diacuhkan.

"Wah, selama ini lo kerja, Tish? Gila-gila keren banget lo!" ucap Raffa penuh kekaguman.

"Kita mau ngajak lo main, Tish."

"Yah, gue nggak bisa." Latisha menunduk sedih. Dia ingin, tetapi harus memendam keinginannya itu untuk melaksanakan tanggung jawabnya. Tentu gadis beriris mata cokelat gelap itu tidak ingin mengecewakan Pak Dawin.

"Kenapa, Tish?" Rere yang baru keluar dari toilet penasaran dengan Latisha yang dikelilingi. Dia takut Latisha membuat kesalahan.

"Eh? Rere." Asyra datang menghampiri Rere, menyapa layaknya sahabat lama yang baru bertemu kembali.

"Loh? Ada Asyra?" Rere memandang bingung Latisha seolah menuntut penjelasan.

"Ini temen-temen gue. Nah, ini namanya--" Latisha memperkenalkan satu per satu orang yang telah dia anggap sebagai sahabatnya. Setelah selesai memperkenalkan diri, Rere ber-oh ria.

"Gue kirain ada apa. Terus, lo mau main?" Latisha bergeleng kecil. Dia tidak ingin menelantarkan pekerjaannya.

"Yah, Tish. Ya udah kalau gitu kita mau main di sini aja deh!" Garson memberikan ide yang cemerlang. Mereka lekas memilih tempat duduk yang kosong.

Latisha tersenyum melihat sahabat-sahabatnya yang dapat memahami dirinya. Dia kembali bekerja supaya dapat selesai lebih cepat.

Dari tempat duduknya, Farrel mengamati Latisha dengan matanya yang tajam. Getaran di hatinya semakin membesar ketika mengetahui fakta yang tak pernah terpikirkan olehnya.

***

Langit jingga berubah menjadi gelap. Masih di tempat yang sama, Farrel dan yang lainnya setia menanti Latisha selesai bekerja. Ketika waktu gadis itu sedang kosong, Latisha ikut bergabung dengan sahabat-sahabatnya.

Senyum menghiasi wajah Latisha saat pekerjaannya telah selesai. Dia menghampiri sahabat-sahabatnya yang tampak tak lelah menunggunya.

"Maaf, ya, gara-gara gue kalian nggak jadi main." Latisha menunduk sedih karena menjadi penghambat kebahagiaan yang lain.

"Loh? Ini kita main. Santai aja, Tish." Garson tersenyum menyemangati.

"Yaudah, yuk, pulang!" Suara semangat Ara menginterupsinya.

"Ara, lo pulang sama gue sama Farrel aja. Biar Garson yang antar Latisha."

"Nggak. Latisha gue yang antar."

***
Jeng jengg!!!
Kira kira siapa yaa yang mau antar Latisha??
Next??

Behind The Smile [NEW VERSION]Where stories live. Discover now