Pemulihan (Part 4)

214 22 2
                                    

"Jadi... sebenarnya hal apa yang bikin lu sampai kena penyakit darting?" tanya Reynata yang kini mengisi bangku tempat semula Miki duduk.

Luna mengendikkan dua bahunya, "Faktor utamanya yang pasti kecapekan." jawabnya. 

"Hmm, sebelum sakit gua emang udah sering dapat laporan dari Miki... katanya lu sering banget keluar dan ngakunya buat ketemu paman Agung atau paman dan bibi lu."

"Miki laporan?"

Reynata mengangguk, "Dia kayaknya laporan setiap lagi sendirian. Mungkin niatnya buat ngilangin bosan karena sering ditinggal sama lu." ia tertawa kecil. "Dia juga bilang enggak diizinin ikut sama lu.

Luna mendengus, "Gua cuma baru-baru ini kok sering keluar, itu pun karena memang harus."

"Lu sampai sering banget ketemu Paman Agung, apa ada masalah sama warisan dan saudara-saudara yang lain?" tanya Reynata. Kali ini ia memasang wajah serius. 

"Yahh, you know lah.. masalah warisan emang yang paling rumit." jawab Luna. 

Reynata terus memerhatikan setiap gerakan yang dilakukan Luna. "Serumit apa? Lu enggak mau cerita ke gua kah?" tanyanya. 

Luna memandangi saudaranya itu, "Bukannya enggak mau. Tapi, bayangin bakal cerita aja kayaknya udah capek. Karena harus dari awal."

"Gua mau kok dengerin dari awal." 

Luna tersenyum lemah, "Nanti aja, ya Rey." tolaknya secara halus. 

Reynata menghembuskan nafas panjang. Sekeras apapun dirinya berusaha supaya Luna mau menceritakan hal yang sebenarnya, tetap tidak akan berhasil. "Lun... saat ini lu adalah satu-satunya orang yang tahu kenyataan gua udah enggak ikut pelatihan pramugari. Lu tahu gua berbohong sama Karin dan Miki ,tapi gua bicara yang sejujurnya sama lu. Kira-kira lu tahu enggak alasan gua milih lu buat ngasih tahu hal yang sebenarnya dibanding yang lain?" tanyanya. 

Luna mengerutkan dahinya mendengar perkataan dan pertanyaan dari Reynata. "Karena lu percaya sama gua... karena lu tahu, gua akan pegang janji buat jaga rahasia lu ini sampai lu sendiri yang nyampein ke Miki dan Karin." 

Reynata mengangguk. "Tepat." 

"Terus, maksud lu nanya kayak gini,apa? Gua enggak ngerti." 

"Sorry kalau gua ngasih lu pertanyaan yang mungkin malah memberatkan keadaan lu sekarang." katanya, "Tapi... apa diantara gua, Miki dan Karin... enggak ada satu pun orang yang bisa lu percaya. Buat berbagi cerita tentang apa yang terjadi sama lu atau apa yang lagi lu pikirin?" 

Pertanyaan itu seolah langsung menusuk hati Luna. Dia memang belum berniat untuk menceritakan hal yang sebenarnya sampai dirinya menemukan bukti yang cukup kuat kalau mamanya dibunuh karena campur tangan keluarga Karin, tapi bukan berarti dia tidak mau cerita. Luna hanya menunggu waktu yang tepat... tapi pertanyaan yang dilontarkan oleh Reynata justru membuatnya bertanya pada diri sendiri. Mengulik alasan sebenarnya atas keputusan yang telah dibuat. 

Kenapa dirinya sangat menutup rapat tindakannya selama ini? Lalu, satu persatu alasan berputar didalam kepalanya. Pertama, karena dirinya ingin mengetahui alasan kematian mamanya tanpa diganggu oleh siapapun. Kedua, jika dia menceritakan hal yang sebenarnya, pasti akan menimbulkan kemarahan Karin yang merasa tak terima ibunya dituduh telah campur tangan atas kehancuran keluarganya. Luna tak akan memiliki waktu dan cara untuk meredam masalah seperti itu. Ketiga, selain Karin.. ia memikirkan kondisi Miki dan Reynata yang saat ini terlihat baik-baik saja. Apa yang terjadi kalau ia membuka tragedi orangtuanya. Mungkin itu seperti mengorek lagi ingatan menyakitkan yang hampir hilang . Sebenarnya... ada lagi alasan lainnya. Ia tidak merasa yakin masalah ini akan cepat selesai kalau terlalu banyak tangan yang ikut campur. Luna termenung dan meresapi tiap alasannya. Ia mencapai kesimpulan, apa yang dikatakan oleh Reynata benar. Dirinya memang tidak percaya pada saudara-saudaranya yang lain. 

Ia takut jika saudara-saudaranya tahu, justru akan menghambat pergerakannya. Mereka pasti tidak akan membiarkannya bergerak sendirian. Ia tidak percaya kalau Karin bisa menerima kenyataan kalau ibunya menjadi salah satu kandidat yang masuk dalam kasus pembunuhan orangtua mereka. Luna tidak percaya saudara-saudaranya bisa menerima jalan pikiran dan tindakannya untuk mencari tahu kenyataan yang sebenarnya. 

Luna menghela nafas panjang. Merasa dirinya sangat bodoh dan jahat. Saudara-saudaranya begitu percaya pada dirinya dengan memercayakan rahasia mereka meskipun pada akhirnya dirinya tidak akan membiarkan rahasia itu terpendam terlalu lama. Apalagi kalau ia tahu, rahasia itu akan mengancam keselamatan atau ikatan persaudaran mereka. 

"Lun? Kok malah diam?" tanya Reynata yang merasa saudaranya terdiam terlalu lama. 

"Dibanding enggak percaya, kayaknya lebih cocok ada rasa ketakutan yang besar kalau gua cerita hal yang sebenarnya ke kalian." 

"Ketakutan akan apa?" tanya Reynata.

"Ketakutan kalian akan mengkhawatirkan gua setelah ini. Ketakutan kalian yang nantinya enggak akan terima dengan apa yang gua katakan. Ketakutan kalau ikatan persaudaraan kita jadi terpecah karena hal yang sekarang gua lakukan." 

Reynata menyentuh tangan Luna yang tergenggam. "Lu enggak sadar atau emang enggak tahu?" tanyanya, "ketakutan lu udah terwujud sekarang karena lu  selalu diam dan nyembunyiin semua hal dari kita." 

"Maksud lu?" Luna mengernyit bingung dengan pernyataan Reynata. 

"Lu takut kita khawatir sama lu... kenyataannya ada didepan mata sekarang. Karena, lu yang enggak mau cerita sama kondisi lu  dan malah memilih mengunci kamar.. bikin kita semua khawatir setengah mati. Sekarang lu sakit, terus enggak sadarkan diri selama dua hari... buat kita, lu jatuh sakit tuh ngagetin dan nakutin banget tahu. Gimana kalau kenapa-kenapa sama lu? Kayak akhirnya lu harus dioperasi karena ada pembuluh darah yang pecah. Kedua.. lu takut kita enggak terima dengan apa yang lu katakan. Darimana lu tahu, kalau enggak lu bicarakan? Kalau masalah itu berkaitan dengan orang lain, apalagi ada diantara gua, Miki atau Karin, harus tetap lu omongin kalau lu enggak mau segala sesuatunya semakin berkembang menjadi lebih buruk." 

Luna terdiam. Mendengarkan semua pendapat Reynata tanpa memberikan sanggahan. 

"Ketiga... lu takut ikatan kita terpecah kalau lu ngasih tahu yang sebenarnya. Justru, kalau lu terus menutup diri, kita semakin yakin lu enggak pernah percaya sama kita. Kenyataannya, yang terpecah adalah ikatan lu dengan gua, Miki dan Karin. Lu yang berusaha menjauh bukan kita." 

Perkataan terakhir Reynata terasa tepat menghujam hatinya. Semua yang dikatakannya benar. Saat Luna merasa tidak percaya dan ketakutan akan apa yang terjadi nanti kalau dirinya memberitahu hal yang sebenarnya, jusrtu ketakutannya sudah terjadi saat ini karena tindakan dan keputusannya. 

"Lun, menurut gua... disini yang bermasalah bukan gua, Miki atau Karin tapi lu. Karena, menutup diri dan merasa keputusan buat diam adalah yang terbaik buat diri lu. Padahal, tindakan lu salah, lho." Reynata melanjutkan perkataannya. 

Luna memejamkan kedua matanya. Semakin menyandarkan punggungnya kebantal di belakang. Pikirannya berkecamuk karena perkataan saudaranya. Hatinya merasa sedih, kesal sekaligus merasa bersalah karena telah mengambil tindakan yang salah.

"Lun?" panggil Reynata yang khawatir dengan sikap Luna saat ini. Luna tak menjawab. Reynata langsung mengerti dan tak lagi memanggil atau memaksa saudaranya itu untuk bicara. 

My Lovely Sisters 2Donde viven las historias. Descúbrelo ahora