1 - Cinta Laki-Laki Tangguh

15.6K 749 106
                                    

Cinta lelaki tangguh itu sudah klimaks. Perkara aku mau menerima atau tidak, baginya sudah tidak terlalu penting. Membahagiakanku adalah caranya membahagiakan diri sendiri.

---

Apa yang kamu tahu dari senja? Ketika warna jingga transit di langit sore untuk menyambut malam? Indah dan menenangkan? Setahuku begitu. Namun, lebih dari pada itu, akulah Senja. Entah sebab apa orangtuaku memberikan nama itu. Awalnya kupikir karena aku lahir di waktu senja. Nyatanya tidak. Aku pernah tak menyukai nama yang kusandang sejak lahir ini. Menurutku, senja berarti sesaat. Apa yang bisa dibanggakan dari sesaat?

Waktu itu umurku sepuluh tahun, ketika kami sekeluarga berlibur ke pantai. Tangan lembut Mama mendarat di pundakku, ketika aku lena mengamati hamparan laut yang seolah bergandengan tangan dengan langit. Tengadah, kutemukan senyum Mama yang selalu menenangkan.

"Kamu tahu, pertemuan Mama dan Papa terjadi ketika senja." Senyum Mama merekah. "Senja selalu membawa getar halus pada hati yang bahagia, serta sekuntum damai untuk hati yang gelisah. Kami menamaimu "Senja" karena kamu adalah anugerah terindah dari Tuhan. Sama seperti senja yang mempertemukan kami." Suara Mama pelan, tapi berbobot.

Sejak saat itu kutemukan hal ajaib di balik namaku. Persis ketika jingga keemasan berlaga di langit. Senja.

Selain nama, aku juga pernah mempertanyakan perihal kecintaanku pada bunga petunia. Seingatku, tidak ada momen sakral di masa lalu yang melibatkan petunia, tahu-tahu aku begitu mendewakannya. Padahal jelas-jelas umur bunganya pendek, tidak bisa berlama-lama menemaniku.

Orang-orang dengan mudah akan tahu bahwa aku penyuka petunia, sekali pun baru kenal. Termasuk Ruwanta, lelaki bermata elang yang berhasil menabur rindu di hati sejak percakapan pertama kami.

"Kenapa kamu suka petunia?" tanyanya ketika menghampiriku yang sedang menyendiri di taman. Waktu itu kami sedang menjalani masa ospek, jadi belum banyak yang kukenal.

"Kok, tahu?" Setelah pertanyaan itu terlontar, aku disadarkan oleh notebook, pulpen, hingga jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan kiri, semuanya bermotif petunia ungu. Selain memelihara petunia di beranda, mengoleksi benda-benda bermotif bunga kecil itu memang salah satu kesenangan.

Ruwanta entah orang keberapa yang langsung menebak kesukaanku pada bunga petunia di perjumpaan pertama. Sudah terlalu banyak. Alih-alih menakar jumlah tak penting itu, diam-diam aku tertawan sesuatu dari Ruwanta, senyumnya. Lengkungan manis itu serupa kelopak petunia diterpa cahaya sore. Lebih dari sekadar indah. Menenangkan.

"Kamu tahu, apa yang kupikirkan sebelum menemukanmu di sini?"

Aku mengernyit. Penting, ya? Kurang kerjaan banget aku harus meramal isi pikirannya. Aku hanya menggeleng kemudian ketika tatapan lekatnya seolah memintaku lekas bersuara.

"Memutuskan kuliah di sini berarti siap menghabiskan sebagian besar waktu kita di tempat ini selama bertahun-tahun. Tentu sangat membosankan jika tidak diselingi hal-hal menarik. Beruntung, satu menit sebelumnya aku telah menemukannya."

"Apa?" Sial. Kenapa juga aku harus sedemikian penasaran? Tanpa sengaja aku menimpali ucapannya tanpa jeda.

"Petunia berjalan. Kamu!"

Ini mungkin konyol. Tapi anehnya, tampang Ruwanta teramat serius. Bahkan bisa kurasakan tatapannya lebih hangat dari sebelumnya.

Berawal dari percakapan singkat yang terkesan sok kenal sok dekat itu, otakku mulai berproses mencari tahu lebih jauh apa pun tentang Ruwanta. Sekadar ingin tahu, selain mata elang dan senyum manis, apa lagi yang ia punya?

Benih TerlarangWhere stories live. Discover now