6 - Ketika Cinta Menolak untuk Disalahkan

5.1K 446 43
                                    

Lelaki itu ... aku selalu tidak mengerti bagaimana caranya mencintaiku.

---

Aku bangun, mengikuti ritual sarapan bersama mereka. Aku tak yakin benar-benar tidur tadi. Setelah puas menemani Ruwanta menikmati bintang, aku memang kembali ke kamar menjelang pagi, memaksakan untuk tidur. Sepertinya memang berhasil tidur sebentar, meski bayangan senyum si pemilik mata elang itu tak pernah beranjak.

Sarapan pun ada aturannya, tidak boleh makan seenaknya. Sesuatu yang dimakan harus seragam dan serentak, sesuai urutan yang telah ditentukan. Pertama-tama makan buah, minum susu, dan diakhiri sepotong roti bakar tanpa selai. Selainya menyusul setelah rotinya tandas. Gila. Lama-lama liburan ini tak ubahnya sebuah pelatihan militer. Tapi ide yang tercetus entah dari kepala siapa ini, kami berhasil menikmatinya. Ini benar-benar bukan liburan biasa.

Aku mengecek ponsel setelah menghabiskan makananku. Aku hanya menemukan ucapan selamat pagi dari Yudit di WA. Mama benar-benar tidak mencariku.

Agenda hari ini outbound. Karena lokasinya tidak terlalu jauh, kami memilih berangkat menggunakan motor sewaan. Aku berharap bisa berangkat bareng teman berkudaku kemarin. Tapi Tio-si lelaki kribo-sudah lebih dulu meloncat ke boncengan Ruwanta. Aku lekas mengambil alih salah satu sepeda motor yang masih nganggur, alih-alih meredam kekecewaan. Nila serta-merta meloncat ke boncenganku dengan girang. Tangannya langsung melingkar di pinggang, meminta segera berangkat.

"Yuk!" ucapnya, kemudian nyengir.

Kami menyusuri hamparan kebun teh sebelum tiba di jalan raya yang cukup padat. Kami sengaja memilih pusat outbound yang ramai agar bisa berbaur dengan pengunjung lain. Setibanya, kami menyewa pondok berkamar satu untuk sekadar mengamankan barang-barang berharga. Setelahnya, kami langsung berbaur, mencoba berbagai wahana yang ditawarkan. Nila sibuk mengambil gambar dari berbagai sudut, nyaris mengabadikan setiap langkah kami.

Aku tidak begitu suka aktivitas luar ruangan semacam ini. Namun, kali ini mereka berhasil membuatku menikmatinya. Setelah ketagihan dengan beberapa wahana sebelumnya, kecelakaan ringan pun terjadi saat mencoba wahana sky run. Keseimbanganku tidak begitu bagus ketika meniti balok besi yang dipasang setinggi delapan meter. Aku pun terpeleset. Untunglah, tali pengaman yang dipasang oleh instruktur tadi benar-benar berguna.

Meski demikian, sepertinya ada sedikit masalah di kaki kiriku. Kurasakan pergelangannya berdenyut-denyut. Sakit. Ternyata benar, setelah diturunkan, aku kepayahan untuk berjalan. Kakiku terkilir.

"Kamu nggak apa-apa? Bagian mana yang sakit?" telisik Nila saat melihat mimik tak beres di wajahku. Ia memang selalu menyimpan rasa khawatir berlebih terhadap segala hal.

Aku hanya menggeleng, kemudian memintanya memapahku kembali ke pondok penyimpanan barang-barang kami. Sebisa mungkin aku tidak ingin merusak kesenangan teman-teman yang lain.

Melihat tubuh mungil Nila agak kewalahan, Ruwanta berinisiatif menggantikannya. Ia meraih tangan yang kutumpangkan di pundak Nila.

"Sini, biar aku saja," ucapnya kemudian.

Bukannya memapah, Ruwanta malah menggendongku.

"Mau aku temani?" tanya Nila sebelum Ruwanta mengawali langkah, masih dengan ekspresi sekhawatir tadi.

"Nggak usah. Kamu sama yang lain lanjut aja. Setelah baikan, aku gabung lagi, kok."

"Kalau butuh apa-apa, langsung telepon, ya."

Aku mengangguk. Ruwanta mulai melangkah.

Ruwanta menggendongku hingga ke dalam kamar. Kemudian perlahan-lahan mendudukkanku di tepi ranjang. Ia keluar sebentar. Sekembalinya, ia membawa segelas air putih dan kotak P3K. Setelah menyodorkan segelas air tadi, ia langsung beraksi dengan kotak berwarna putih yang entah di mana menemukannya. Barangkali memang sengaja dipersiapkan oleh pihak pengelola.

Benih TerlarangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang