5. Pindah

57.2K 2.9K 35
                                    

Zia segera melepaskan rangkulan tangannya di leher Ardi saat sadar dengan ucapannya sendiri. Terlebih karena tatapan Ardi kini terlihat menantang. Ketegangan pria itu dalam sekejap mampu ia sembunyikan, berganti seringaian yang entah dalam arti apa.

"Tunggu! Kenapa aku jadi agresif gini sih?" Zia mengomel pada dirinya sendiri.

Ardi masih tidak jengah menatap Zia, membuat gadis itu risih dan segera ingin enyah dari pangkuan suaminya. Tapi kalau terang-terangan meminta lepas dari Ardi--yang sudah pasti sengaja mempertahankan posisi ini--pasti tetua yang ada di ruangan itu akan aneh melihat mereka.

Melihat satu persatu keluarganha yang berkumpul di sana, Zia kembali teringat tentang penyakit Ayah. Mengingat hal itu membuat hati Zia perih, aor matanya tentu akan jatuh jika Zia tidak berusaha menahannya sekuat tenaga. Ardi menyadari perubahan raut wajah gadis itu ketika pandangannya jatuh pada Ayah. Ia eratkan pelukan di pinggang Zia hingga gadis itu menoleh pada Ardi.

"Kenapa?" tanya Ardi lembut.

Zia menggeleng, kembali melingkarkan kedua tangannya dan  menenggelamkan wajahnya di leher Ardi, tubuh pria itu menegang saat dirasakannya nafas Zia di lehernya. Namun segera ia kendalikan perasaan itu dan menenangkan istrinya.

"Nggak apa-apa... Semua akan baik-baik aja, Zi.." bisik Ardi seraya mencium pucuk kepala Zia.

Zia tidak tahu apa yang dilakukanya ini benar atau salah. Meski beberapa detik yang lalu dirinya merasa risih dengan kehadiran Ardi, tapi sekarang gadis itu malah menikmati ada dalam pelukan pria itu. Seperti saat di kamar tadi. Rasanya tubuh dan pelukan Ardi sungguh membuat nyaman dirinya. Terlebih aroma tubuh Ardi yang begitu menenangkan, seolah dalam sekejap dapat membuat Zia terlelap di pelukannya, seperti saat ini.

Ardi menyadari perubahan Zia, nafasnya mulai teratur dan tubuhnya rileks di pelukan Ardi. Ardi mencuri pandang pada Zia yang masih menyembunyikan wajahnya di leher pria itu. Dan benar saja dugaannya. Zia tertidur.

"Ardi pamit ke atas dulu Yah, Pa. Zia ketiduran."

Ardi tersenyum meninggalkan keluarganya dan menggendong Zia kembali ke kamar. Sebenarnya ini baru jam delapan malam, tapi mungkin karena terlalu lelah acara kemarin membuat Zia ingin istirahat ekstra lebih.

Membaringkan Zia di tempat tidur, pria itu berusaha melepaskan kedua tangan Zia yang masih melingkari lehernya, namun bukannya terlepas Zia malah makin mengeratkan dekapannya pada Ardi membuat Ardi jatuh tidur di sampinya. Ardi mengeram frustrasi.

"Disangka aku guling kali ya?" sungutnya di telinga Zia. Namun gadis itu bergeming, dan nafasnya masih teratur naik turun, menandakan tidurnya amat lelap.

Akhirnya Ardi pasrah dari usahanya melepaskan diri dari Zia. Karena setiap kali ia ingin melepaskan diri, Zia semakin mendekapnya erat membuat macan yang tertidur dalam diri Ardi bisa jadi bangun kapan saja.

***

Mengerjap menyaring cahaya yang menerobos masuk ke sepasang mata coklatnya, Zia akhirnya bangun dari tidurnya yang lebih dari delapan jam itu.

"Kamu udah bangun?" Suara Ardi membuat Zia sadar sepenuhnya. Gadis itu segera duduk, melemparkan tatapan tanya memandangi pria itu kini sibuk dengan kopernya.

"Semalam kamu ketiduran di ruang keluarga, jadi aku bawa aja ke kamar. Tahunya baru bangun sekarang."

Zia mengabaikan ucapan pria itu. Tatapannya malah lebih tertarik pada apa yang sedang Ardi kerjakan.

"Kamu mau kemana? Kok pakaiannya dimasukin ke koper?" tanya Zia setelah lama terdiam sambil mengamati Ardi.

Ardi tersenyum, menutup kopernya dan berjalan ke arah Zia yang langsung menegakkan duduknya. Ardi duduk di tepi tempat tidur mengelus rambut lalu mencubit pipi gadis itu.

"Kita pulang ke rumah kita," jawab Ardi pendek.

Zia mengernyit, sedikit memiringkan kepalanya berpikir.

"Rumah kita? Ini kan rumah kita."

"Bukan istriku, ini rumah Ayah. Dan kita nggak mungkin tinggal di sini terus."

Tubuh Zia sempat membeku beberapa detik saat Ardi memanggilnya "istriku" namun segera ia kendalikan keadaan itu ketika merasa keputusan yang diambil Ardi tidak tepat untuk saat ini. Gadis itu lantas melayangkan aksi protesnya.

"Jadi kita mau pindah? Ninggalin Ayah? Aku nggak mau!" tolak Zia mentah-mentah, memalingkan wajahnya. Kedua tangannya kini ia lipat di depan dada, tanda protes.

Ardi mengambil napas dalam-dalam, mencoba sabar dengan sifat kekanakan Zia yang mulai terlihat. Sifat inilah yang membuat Ayah khawatir, hingga memutuskan untuk menikahkan putri bungsunya itu agar bisa lebih dewasa.

"Aku nggak mau mempermasalahkan hal ini sama kamu. Cepat atau lambat kita akan pindah, dan nggak ada toleransi untuk itu," kata Ardi final seraya bangkit dan mengacuhkan Zia.

"Tapi, Di..." Zia mengejar langkah Ardi yang kini keluar dari kamarnya dan turun ke lantai bawah dengan 2 koper di tangan.

"Di... tunggu dulu sih, aku kan lagi ngomong!" gerutu Zia hingga Ardi berhenti di ruang tamu.

Ayah sudah duduk di sana dengan tetua yang lain.

"Sudah beres-beresnya?" sapa Ayah disertai senyum.

Ardi mengangguk, melepaskan genggaman pada kedua koper itu dan duduk di sofa. Sementra itu Zia yang mendengar pertanyaan Ayah langsung cemberut dibuatnya.

"Ayah tau kalau kita mau pindah hari ini juga? Ayah setuju gitu?" sungutnya langsung mendapat perhatian semua yang ada di sana.

"Zia, kamu kan sudah jadi istri. Memang seharusnya ikut suamimu, Nak. Lalu di mana salahnya?"

"Tapi Zia masih ingin di sini yah... Bahkan Kak Veli aja belum pulang, masa Zia pergi duluan," rengek Zia tak menyerah.

"Ardi ada operasi besok pagi-pagi sekali, Zi. Dan jarak apartemennya ke rumah sakit lebih dekat dibandingkan rumah ini. Dia nggak mau mengacaukan jadwal operasi hanya karena terkena macet," jelas Om Markus yang rupanya sedang berkujung.

"Ya udah, kalau gitu biar Ardi aja yang pulang, Zia di sini."

"Semua keputusan ada di tangan suamimu. Ayah sudah tidak punya hak apa-apa lagi atasmu, Sayang. Kalau Ardi mengizinkan..." Ayah melirik Ardi, namun akhirnya urung melanjutkan kata-katanya.

Zia menoleh pada Ardi sebal, lalu duduk divsisinya.

"Di, aku di sini dulu deh... 1 bulan aja ya?" rajuknya sambil memegang pergelangan tangan Ardi.

Ardi melotot ke arahnya, lalu menggeleng.

"Satu minggu?" bujuk Zia lagi kini menggoyangkan tangan Ardi.

"Nggak Zia..." Ardi menatap tajam Zia membuat istrinya itu makin memanyunkan bibirnya.

Sebenarnya Ardi bisa saja langsung luluh dengan sikap manja Zia yang merayunya. Namun rasanya Ardi tidak bisa melepaskan gadis itu saat ini, terlalu sepi jika tidak melihat Zia sehari saja. Meski itu baru terpikirkan olehnya pagi ini.

"Ya udah sehari aja lagi deh, besok aku nyusul kamu ke apartemen. Lagi pula aku kan belum beresin baju-bajuku."

"Nggak boleh, Sayang.... aku butuh kamu dan kamu harus ikut aku pulang hari ini. Soal pakaian, aku udah beresim ke kopermu tuh!" tunjuk Ardi pada koper yang ia bawa.

Zia menggigit bibir, baru sadar kalau salah satu koper yang tadi dibawa Ardi adalah miliknya. Zia semakin merengut sebal memalingkan wajahnya.

"Heh, kamu tuh udah nikah masih aja manja gini. Turutin kata-kata suami, itu pahala tau," cibir Satria melihat kelakuan adik bungsunya.

"Iya, Zi. Kakak juga nanti sore udah mau pulang kok," tambah Kak Veli membujuk.

"Terus aja! Terus aja belain Ardi.. lupa kali siapa yang adeknya!" gerutu Zia dalam hati, matanya melirik Ardi yang kini tersenyum penuh kemenangan.

_____________

Cerita lengkap bisa dibaca di applikasi KUBACA, bisa cari akun sa_saki di sana. Thank you :D

Disguise... [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang