1. Dari Mata

6.8K 617 45
                                    

Cerita ini fiktif, murni dari imajinasi aku. Maafkan bila terdapat informasi/sumber yang tidak sesuai kabari aja ya karena apalah dayaku.

:D :D :D

Keraton Mataram. 1788

Bagiku melihat secara langsung penari keraton berlatih menyelaraskan gerakan biar terintegrasi dengan irama adalah salah satu bentuk kuasa Gusti Pengeran Yang Maha Agung. Ini pertama kali Wira mengajakku merasakan menjejak kaki di wilayah keraton Kasunanan sebab keluarganya diundang menghadiri momen sakral penobatan sang raja Pakubuwana IV. Wira terbilang masih terkorelasi saudara jauh dengan sang raja. Hubungan kekerabatannya mengalir dari darah ibunya yang sepupu jauh GKR Kencana ibunda sang raja, permaisuri keturunan kerajaan Demak*.

Para undangan adalah orang pilihan sedangkan aku hanya masyarakat biasa yang beruntung lantaran diakui anak angkat dari Arya Dipati Prawoto dan Dyah Ajeng Ranupatma, orang tua Wira. Menjelang perayaan besar berlangsung dan segalanya tampak sibuk menyiapkannya termasuk para penari ini.

Duduk bersila di bawah pohon sambil tangan kananku menopang dagu mengagumi setiap liukan tubuh yang mereka ciptakan. Mataku tertawan pada salah satu diantara sembilan penari itu. Tanganku lemas, sedikit mengangkat dagu memperjelas objek yang telah membuat nafasku tercekat. Dia, perempuan paling memikat yang pernah aku temukan. Wajahnya cerah bahkan sinar matahari tak sepadan menyandingnya. Bahunya terbuka mulus tanpa cacat, bersinar kuning gading berkat cahaya matahari. Oh, bibirnya paling kusuka. Penuh berwarna oranye seperti pepaya matang. Siapa gerangan ia?

"Hei!" seseorang menepuk pundakku kuyakini dia adalah Wira.

Aku menoleh dengan bibir memberengut sebal sebab ia mengacaukan fantasiku. Wira tertawa puas merasa sukses hampir menyopot jantungku. Aku tak menghiraukannya lantas memusatkan pandangan kembali pada kembang mekar di depan sana. Wira bergantian menoleh ke arahku lalu kepada barisan penari yang tengah memantapkan gerak tubuhnya itu. Berkali-kali ia melakukannya sampai aku jengah.

"Semoga lehermu tidak terpelintir kalau kau terus menerus melakukan itu," ucapku. Kali ini aku patut berbangga membuatnya terkejut padahal volume suaraku tidak sekeras letusan meriam. Hampir saja badannya tersungkur.

"Kau sedang mengincar penari yang mana, Kumara?" tanyanya beringsut mendekatiku seraya mencolek perutku.

"Mengagumi keindahan tarian bukan berarti mengincar penarinya. Mereka adalah bagian keindahan yang tidak terkatakan. Bentuk tubuhnya begitu indah, lihat bulu matanya yang lentik itu menyerupai daun pinus yang tertiup angin. Bibir oranyenya ranum dan penuh," aku menggumam tak sadar menciptakan senyuman simpul.

"Gayatri? Itukah penari yang kamu maksud?" pertanyaan Wira membuatku menengok ke arahnya menusuk titik pusat matanya mengintimidasi kata-katanya bukanlah dusta.

"Gayatri?" bahkan mengucap nama itu bibirku sedikit bergetar.

"Diantara penari disana hanya Gayatri yang memiliki warna bibir oranye. Semua orang mengakui kecantikan gadis itu tiada pernah menyangkalnya," Wira merangkul pundakku.

Aku tidak berkata. Mataku terus saja mengikuti gerakan kembang mekar disana. Meneguk ludahku sendiri ketika mata kembang mekar itu mengerling ke arahku. Sedikit namun tubuhku bagai tersengat rombongan lebah yang sarangnya terganggu. Tanganku bergerak menuju dada memastikan dentuman itu tidak menyeruak. Tak salahkah penglihatanku? Tadi Gayatri sempat mengirim senyuman meski samar?

Prambanan, Kereta Api, dan Manuskrip (Pending)Where stories live. Discover now