Chapter 6 : 'Tragedi' 1994

986 90 10
                                    

Ada satu hal yang tak akan pernah menciptakan kedamaian dalam hidupmu; keserakahan.

1994

Bunyi pecahan gelas nyaring memenuhi ruangan. Seolah dihantam dengan seluruh kekuatan. Seorang halmoni muda berpakaian gemerlap dengan perhiasan menghias hampir seluruh tangan dan leher itu mendekat ke ruang kerja suaminya. Benar saja... ia terkejut melihat serpihan gelas menyebar ke seluruh lantai. Pria yang duduk di hadapan meja itu mengacak rambut. Kasar. Wajahnya begitu kusut. Sepasang mata tuanya memerah.

"Lee keparaaaaat!!!" pekiknya kembali memandang monitor komputer yang masih menyala.

Sesaat yang lalu, darahnya mendidih melihat berita di internet. Perusahaannya terancam bangkrut. Pemilik perusahaan saingan, Presdir Lee, telah mengekspos seluruh dana gelap perusahaannya. Bahkan, pria yang beberapa tahun lebih muda darinya itu mendapat bukti-bukti kongkrit. Ia benar-benar cerdik. Kali ini, diakuinya pria itu begitu licik dan tak mudah ditandingi.

Lagi, ia menuntaskan membaca berita yang belum sempat terbaca seluruhnya. Napasnya memburu. Usai menuntaskan artikel serupa bom hiroshima itu, dadanya terasa hancur lebur.

"Yeobo... yeobo... apa yang terjadi?" tanya sang istri cemas, dengan hati-hati mendekat ke arah suaminya.

"Arrrrgghhhhh!!!" Erangannya itu disusul bunyi terhempasnya komputer ke lantai.

Tapi setelah itu... seluruh tubuh terasa mengejang. Kedua matanya melotot. Disentuhnya dada yang terasa begitu sesak. Napasnya memburu, kembang kempis. Hingga...

"Yeobo...!" pekik sang istri ketika suaminya terjerembab.

***

"Abojiiiii! Abojiiii!!!!" Seorang pria kira-kira usia 30-an berlari menghambur jenazah sang ayah yang tertutupi kain putih. Para dokter dan perawat menjauh. Ruangan itu mendadak dipenuhi isak tangis. Serta jeritan si bungsu seraya memeluk erat sang ayah. Gemetar jemarinya menyingkap kain putih itu. Hatinya hancur. Sakit. Wajah pria yang paling dicintainya telah pucat pasi, membisu.

Halmoni muda itu tersedu di sisi ranjang pasien. Di sebelahnya, berdiri si sulung dengan wajah sembab, menangis sesenggukan. Dan menantunya yang menggendong seorang putra berusia 2 tahun.

Si bungsu masih mengguncang tubuh ayahnya. Berharap sang ayah hanya bercanda. Ia lah yang paling dekat dengan sang ayah, dan tentu tak terima dengan kenyataan ini. Ayahnya meninggal hanya dengan kata-kata seseorang. Belakangan ini, penyakit jantung sang ayah begitu sensitif. Keluarga selalu menjaga agar tak ada hal-hal yang membuatnya terkejut. Dan tadi... seseorang tanpa perasaan begitu membuatnya terpukul. Hingga berakhir meregang nyawa.

Setelah beberapa menit mengguncangnya... tetap tak ada tanda-tanda kehidupan. Wajah sang ayah dingin memucat. Ayahnya telah pergi. Selamanya.

"Abojiiiii!!!!!" pekiknya dengan suara yang lebih keras dari sebelumnya. Hal itu mengakibatkan tubuhnya kian lemas. Pria itu terjatuh di lantai. Terduduk dengan wajah merah, sembab. Tangisnya membanjiri. Pedihnya... tak lagi mampu diungkapkan dengan kata-kata.

Sang kakak meraih bahunya, memeluk erat. Mengusap kepala si bungsu dengan lembut. Tak berbeda dangan adiknya, ia pun terpukul. Ayah adalah sosok yang berharga baginya. Yang mendidik dengan sangat baik. Namun, ia masih mampu mengontrol diri. Tak seperti si bungsu yang masih labil, meski usianya telah terbilang matang. Si bungsu yang manja. Yang kadang masih merengek pada sang ayah hanya karena meminta mobil baru. Padahal tiga mobilnya hanya menjadi penghias garasi.

"Hyong, ini tidak bisa dibiarkan!"

Setelah pemakaman, si bungsu menghampiri kakaknya dengan gurat api amarah di wajahnya.

The Genius Killer (SUDAH TERBIT) Where stories live. Discover now