The Zombie's 2

12.1K 1.4K 68
                                    

12 Januari xxxx. 08.34 a.m

Darahku berdesir. Keringat pun mulai mengucur dengan deras dari pelipisku. Sungguh, aku lebih baik mendengar kabar mengenai tidak lulusnya aku dari sekolah dibandingkan dengan satu kata keramat yang hanya kudengar melalui film-film Amerika.

Aku menggenggam kuat tangan ibuku yang kini mulai dingin. Kami semua menjadi sangat takut kali ini. Rencana liburan berantakan, hari-hari menyenangkan pun sirna, dan ketakutanlah yang menggantikan semuanya.

"Aku takut, bu." Aku berucap pelan. Mataku kini sudah berkaca-kaca. Memang aku belum melihat sosok mayat hidup yang berjalan dengan darah kental di mana-mana secara nyata, tetapi kabar yang kudengar dari bibiku sudah cukup membuat jantungku berpacu sangat cepat.

"Kita akan baik-baik saja, Valerie. Jangan takut." Ibuku berucap sembari menyeka keringat yang ada di dahiku. Kata-kata ibuku barusan lebih terdengar seperti pengharapan. Aku yakin ibuku juga takut, semuanya terlihat dari tangan dinginnya yang bergetar ketika menyeka keringatku.

Mobil yang kami naiki berjalan menyusuri komplek desa yang sunyi. Memang, jarak antara desaku dan pusat kota jauh dan itu membuat jantungku kembali berpacu cepat karna takut. Desa yang kami masuki bagai desa yang terisolasi. Seperti tak berpenghuni.

Baru saja kakakku ingin menghentikan mobilnya untuk memeriksa, aku berseru cepat, "Jangan berhenti! Kita harus tetap berada di mobil sampai di bandara jika ingin selamat."

Mereka mendengarkanku dan tetap melanjutkan perjalanan. Sungguh, desa ini terlihat sangat menyeramkan, melihat beberapa kendaraan yang terparkir di jalanan dengan keadaan lecet (Kaca pecah, bola kempes, bahkan ada yang terbalik).

"Apakah seluruh penduduk desa ini sudah mengungsi dan pergi ke bandara?" Ibuku bertanya dengan nada yang sedikit cemas.

"Sepertinya ya. Mungkin desa kita saja yang belum mendengar kabar buruk ini." Ayahku menanggapi.

Aku seketika teringat sesuatu. Jika desaku belum mendengar kabar buruk ini berarti teman-temanku, bahkan seluruh penduduk desaku akan mati disantap zombie. Aku membuka ponselku dan menelpon seseorang.

Aku menggigit bawah bibirku, cemas karna telponku belum tersambung. Mataku membulat ketika suara gaduh kini menyapa indra pendengaranku.

"Tolong aku Valerie! Zombie berada di mana-mana!" Teriakan Joshua sudah mampu melumpuhkan syaraf di tubuhku.

"Kau di mana Josh?!"

"Dasar zombie sialan! Jangan mengejarku bodoh!"

"Cepat kabur dari sana dan pergi ke pusat kota, Josh! Jangan sampai kau digi--"

"Argghh! Kenapa kau menggigitku jelek! Arghh!"

Terlambat. Joshua sudah terinveksi virus itu dan kuyakini ia akan berubah menjadi sama seperti zombie itu. Telingaku mendengar seluruh teriakan Joshua tanpa menanggapinya lagi. Air mataku bahkan sudah luruh mendengar jeritan sakitnya. Semakin lama nada teriakannya menjadi semakin berat hingga akhirnya berakhir menjadi desisan menakutkan yang sering dilakukan para zombie.

"Mereka bahkan sudah terinveksi tanpa bisa menyelamatkan diri terlebih dahulu." Aku bergumam di sela tangisku.

Ibuku mendekapku erat, membiarkanku menangis sejadi-jadinya. Ia mengelus rambut coklatku dengan lembut, "Lebih baik kau berdoa dan meminta agar Tuhan menyelamatkan jiwa mereka, Valerie."

Kenapa semua ini terjadi? Dadaku terasa sangat sesak. Mendengar suara Joshua berubah menjadi sangat menakutkan itu sangat membuatku sesak. Dia sahabatku, aku sudah berjanji akan memberikan jawaban mengenai jurusan yang akan kumasuki sepulangku dari liburan. Belum sempat se-jam aku berjanji, dia sudah lebih dahulu meninggalkanku dengan cara yang keji.

Ibuku melepas pelukannya dan menghapus air mataku dengan ibu jarinya. Ia menuntun kepalaku untuk berbaring di atas pahanya. Tangannya bergerak untuk mengelus pelan kepalaku.

"Ibu tahu kau ketakutan, Val. Sekarang tidurlah, dan ketika kau bangun kita sudah sampai di bandara dengan selamat."

Aku mengamini semua perkataannya. Semoga saja kami selamat sampai di sana. Aku menutup kedua mataku dan menikmati sentuhan-sentuhan lembut dari ibuku. Yah, Ibuku memang sering melakukan hal ini padaku jika aku dilanda rasa gugup maupun takut.

Lama-kelamaan aku terlelap dengan harapan ketika aku bangun nanti aku akan selamat dari bahaya besar ini.

---

Aku terbangun dari tidurku ketika mobil yang kunaiki berhenti secara mendadak. Mataku berhenti pada sesosok pria yang berlari dari dalam rumahnya dengan sesosok....zombie yang mengejarnya.

Tubuhnya hancur dan sangat pucat. Darah berada di mana-mana. Pembuluh daranya bahkan terlihat sangat jelas di area wajahnya. Pria itu berlari melewati mobil kami, tentu dengan zombie itu di belakangnya. Zombie itu sempat berhenti di samping mobil dan melirik ke arahku dengan tatapan ganasnya. Kontan membuatku terjungkal pada ibuku karna takut melihat tatapannya.

Zombie itu hanya melirikku sekilas lalu kembali mengejar pria tadi yang sudah di cap sebagai mangsanya. Kedua mataku mengikuti arah langkah zombie itu. Pria itu nampak terjatuh membuatku berteriak takut.

"Dia akan menjadi korban zombie itu, bu."

Ucapanku pun terjadi. Zombie itu segera menyerbu tubuh tak berdaya pria itu. Ia menggigit leher pria itu yang kini menjerit kesakitan. Darah pun mulai mengalir dari sana. Gigi zombie itu benar-benar tajam hingga berhasil menembus lehernya sampai ke dalamnya.

Tok, tok, tok. Sebuah ketukan di jendela membuatku tersentak kaget. Awalnya kupikir dia adalah zombie, tetapi melihat wajahnya yang terlihat ketakutan serta warna kulitnya masih sama seperti kami kuyakini ia manusia.

Aku menurunkan jendelanya, "Kau belum terinveksi?"

"Belum. Cepat buka pintunya sebelum zombie itu melihat kemari!" Perintahnya.

Mataku melirik ke arah zombie di belakang dan aku terkejut karna matanya menatap ke arahku. Zombie itu mengaum keras. Sial! Dia akan menyerang kemari! Lelaki itu masuk dengan sangat cepat ketika aku membukakan pintu. Ia segera menaikan kembali kaca jendelanya tepat ketika zombie itu datang dan mencoba masuk dengan cara mendorong jendelanya.

Darah yang mengalir dari mulutnya menempel di kaca jendela membuatku ingin sekali muntah detik itu juga.

"Kau benar-benar belum terinveksi kan?" Suara kakaku kini terdengar.

Aku melirik ke arah lelaki yang duduk di sampingku. Keringat mengucur di mana-mana. Mataku menyelidik ke seluruh tubuhnya mengecek apakah ia terinveksi atau tidak.

"Aku belum terkena gigitan manusia jelek iu." Ucapnya seakan mengerti tatapan menyidikku.

Aku terdiam.

"Mereka hanya akan memangsa ketika melihat manusia seperti kita. Mereka tidak bisa berbuat apa-apa selain menejar dan menggigit. Dia tidak bisa membuka pintu ini."

Mendengarnya aku sedikit terkejut. Tahu dari mana dia tentang zombie? Tapi, ucapannya memang benar. Aku terpikir sesuatu. Sosok zombie yang ada di film dan sekarang berbeda. Tubuh zombie tidak terlalu aneh seperti yang ada di film. Tubub mereka hampir sama dengan manusia, hanya saja yang membedakan ialah warna kulitnya yang pucat, manik matanya memudar dan menjadi putih. Pembuluh darahnya pun akan muncul ke permukaan kulit. (Jangan lupa dengan luka-luka bekas gigitan zombie padanya sebelum ia menjadi zombie)

Seperti itulah sosok zombie yang sebenarnya. Tapi, jika melihatnya secara langsung, mereka terlihat lebih jauh menyeramkan daripada di film-film.

Journey To The AirportKde žijí příběhy. Začni objevovat