Private Tutor

21.9K 1.7K 505
                                    

Kakinya melangkah dengan cepat. Dia berlari, berlari secepat yang dia bisa karena waktunya benar-benar hampir habis.

Dia yakin waktunya yang tersisa hanya tinggal beberapa detik lagi.

Astaga.

Cepat, cepat.

Astaga.

Astaga, Tuhan bantu dia.

Senyumnya terkembang saat akhirnya kompleks apartemen mewah itu terlihat di matanya, dia semakin mempercepat ayunan langkah kakinya, tidak mempedulikan bagaimana otot-otot di kakinya terasa pegal karena dia berlari sekuat tenaga.

Dia merutuk dalam hati. Dia yakin malam ini dia akan menghabiskan waktunya dengan memijat kakinya dengan krim pereda nyeri otot.

Sialan.

Kenapa sih dia harus berurusan dengan makhluk satu itu?

Astaga, apa dosanya di masa lalu, Tuhan?

Dia berhenti di depan kompleks apartemen mewah itu, mengatur napasnya sebentar, kemudian melompati dua anak tangga sekaligus menuju pintu otomatis. Dia tersenyum ramah pada security di sebelah pintu.

"Selamat sore," sapa security itu ramah.

"S-sore.." dia menjawab dengan suara nyaris menghilang.

Sialan, paru-parunya terasa sempit setelah berlari mati-matian, dan ketika dia berada di dalam apartemen mewah ini, berlari bukanlah sebuah pilihan yang baik atau mungkin saja dia akan diusir karena mengganggu ketertiban umum.

Oh. Shit.

Dia melangkah dengan secepat mungkin menuju lift, semua penjaga di bagian depan apartemen ini sudah mengenalinya, makanya dia akan langsung diizinkan naik ke lantai yang dia tuju.

Ketika lift akhirnya terbuka di hadapannya, dia melompat masuk dengan tidak sabar, menekan lantai 34 dengan sekuat tenaga dan membisikkan kata-kata seperti, 'Oh, astaga, cepatlah.', 'Cepat tutup pintumu, lift sialan.', 'Astaga, aku akan mati.', 'Ah, sudahlah, aku tidak akan selamat.'

Pintu lift tertutup, dan dia mengucapkan 'Thank God', dengan suara keras. Dia memperhatikan bagaimana angka di panel lift terus bergerak menuju lantai yang dia tuju. Ketika dia melirik arlojinya dengan takut-takut, dia tahu dia tidak akan selamat.

"Oh, bagus. Aku akan mati." Dia mendesah lelah, memutuskan untuk bersandar di dinding lift dan memperhatikan bagaimana angka terus bergulir, hingga akhirnya berhenti di angka 34 dengan suara dentingan pelan.

Kakinya bergerak keluar dari lift dengan malas, sudah tidak ada harapan. Dia tidak perlu bersusah payah berusaha mendobrak pintu lift ataupun berlarian lagi.

Lift ini hanya menuju ke satu kamar, kamar yang dia tuju. Dan ketika dia keluar dari lift, dia langsung disambut dengan pintu coklat yang tertutup, dia mengulurkan tangannya menuju bell, namun gerakannya terhenti.

Tidak, makhluk itu tidak pernah suka jika dia menekan bell.

Karena itu dia menggerakkan jarinya menuju panel untuk memasukkan kata sandi agar pintu terbuka. Dia menghela napas pelan kemudian memasukkan enam digit angka yang sudah dihapal mati olehnya dan ketika terdengar suara 'bip' pelan tanda pintu sudah terbuka, dia tahu nasib buruknya dimulai sekarang.

Private TutorWo Geschichten leben. Entdecke jetzt