SATU

21.4K 1.6K 30
                                    

Menunggu kebahagiaan menjemput.

|•|

Dalam satu tujuan, Alona ingin sekali mendapat apa yang menjadi dasar kebahagiaannya secara utuh. Tapi sepertinya, sang kebahagiaan belum siap memberi apa yang Alona ingini.

Sejak bertemu dan menjalin kebersamaan, Lona selalu menuruti kemauan apa pun dari kebahagiaannya—sekecil apa pun. 

Dia tahu, dia sadar, bahwa Lona tidak menjadi seutuhnya yang utama. Lelakinya memiliki banyak mimpi untuk dicapai, lelakinya memiliki banyak rencana yang harus terpenuhi. Dan Alona tidak mau menuntut banyak, agar lelakinya selalu disisi... itu tidak adil.

Alona terlalu berlebihan memang, tapi itu lah kenyataannya. Apa saja boleh dimiliki lelakinya, asal dirinya bahagia di dekat Lona.

Hari ini Lona menyiapkan menu makan siang. Tapi ternyata lelakinya tidak datang. Di rumah yang cukup mewah—bagi Lona—dia harus menghabiskan waktunya dengan pintar-pintar membuat kesibukan. Ya, Lona sudah selayaknya burung dalam sangkar emas. Ada beberapa pelayan: tukang kebun, tukang bersih-bersih rumah, dan supir. Semua itu Awan berikan pada Lona. Tapi meski begitu, Lona tidak mau membiarkan pekerjaan rumah dilakukan oleh pembantu seutuhnya. Alona akan membatasi daerah mana saja yang boleh dan tidak boleh disentuh oleh para pelayan.

"Nyonya makanannya mau saya apakan? Ini sudah jam 8, Nyonya. Saya sudah harus kembali ke rumah."

Mbok Nah, dia akan selalu mengurusi makanan yang tidak dikonsumsi lagi. Entah untuk ia bawa, atau dibagikan ke pelayan lain untuk dibawa oleh masing-masing dari mereka. Mbok Nah memang bertugas di dapur.

"Yaudah, Mbok bawa pulang aja. Kayaknya Mas Awan nggak akan pulang malam ini."

Akhirnya Lona pasrah. Meski sudah menggebu-gebu untuk memasak setiap harinya, berharap Awan akan segera datang, tapi sudah menjadi rutinitas yang biasa jika Awan tidak pernah ada sesuai harapan Alona. 

"Baik, Nyonya."

Meski Lona tidak suka dipanggil dengan sebutan itu, tapi titah Awan adalah yang utama dalam kediaman itu. Orang lain boleh saja tidak suka dan memutuskan agar panggilannya diganti, tapi Lona memang akan selalu menjadi apa saja yang Awan inginkan.

Alona yang masih duduk di kursi makan, mengamati Mbok Nah saja yang sibuk mengatur lauk pauk, sayur dan pendamping makanan yang lain untuk dimasukkan dalam wadah dan dibawa pulang oleh Mbok Nah. Saking tidak ada kerjaan, yang bisa Lona lakukan untuk menghibur rasa bosannya harus seperti itu, dan Mbok Nah juga tidak masalah dengan hal itu. Karena sudah hampir enam tahun ini menjadi kebiasaan bagi Lona.

"Makasih, ya, Mbok hari ini udah mau bantu-bantu saya." Lona beringsut bangun dari kursi, dan mengantar kepulangan Mbok Nah lewat pintu belakang. Para pelayan memang biasanya kembali ke rumah lewat pintu belakang, sedangkan gerbang utama hanya untuk kedatangan Awan atau Lona yang siap pergi bersama supir khusus atas titah Awan tentunya.

"Nyonya ini, udah kayak apa aja. Kan udah jadi tugas saya, bantu-bantu. Lagian Tuan juga bayar saya nggak sedikit, masa mau nyantai. Saya nggak dibayar buat itu, kok."

Ya, karena selain digaji untuk menjadi pembantu, Mbok Nah juga sudah diwanti-wanti oleh Awan agar tidak mengatakan siapa majikan yang selama ini dia ikuti. Karena keberadaan Lona memang sengaja Awan tutupi.

EVERY ROSE HAS A THORNWhere stories live. Discover now