50. Pertemuan

6.6K 599 145
                                    

Jakarta, Indonesia

Maura membuka mata perlahan , mengerjap, menyesuaikan pupil pada cahaya yang kian menyilaukan, samar menghambur ke dalam ruangan, tatapannya tandus saat tepat di hadapannya Kenny berdiri dengan matanya yang kian menajam, duduk diantara mereka Vievi dan Sonia, atas permintaan dan permohonan Sonia, ia diminta untuk dapat menemui Kenny di rumah Prayoga.

"Saya datang sendiri tanpa pengawalan, jika ada yang belum selesai diantara kita, mari kita selesaikan." Gadis itu tampak terlihat dewasa, dengan makeup senada , duduk bersejajar bak batari durga, dagu jenjang indah mempesona, menatap Kenny dengan tatapan tak kalah tajam menusuk pada rangkaian kalimat yang ia atur setenang mungkin, mata amber yang dulu sempat menjadi keraguan Kenny akan kewibawaan seorang wanita yang baru pertama kali ia temui, mata amber teduh pada penyambutan makan malam itu telah membawa sejuta rencana bahkan dengan persiapan yang cukup matang mampu memporak porandakan bisnisnya yang tak hanya bernilai kecil, bahkan perpindahan alih kuasa dapat dengan mudah ia lakukan, memang nilai tak dapat diukur dari angka tertinggi, tepat disaat Maura hadir dengan membawa wajah polos keluguan, maka di situ Kenny merasa, ia adalah aktor terbaik dari alur nyata cerita kehidupan yang sedang ia mainkan.

Kenny telah mengetahui anjloknya saham dari perusahaan Garlan Aquilla Company, bahkan saat inipun ia masih bisa mengusahakan pinjaman dana untuk membeli keseluruhan aset Aquino yang masih tersisa. Ia bisa memulai kembali membangun kejayaan bisnis yang telah hancur dikarenakan Maura, ia juga seharusnya yakin dapat bersaing secara bersih pada perusahaan yang saat ini Maura kelola. Ia sangat yakin dan mampu mensejajarkan perusahaannya dengan apa yang telah dimiliki Maura saat ini.

"Kamu sangat mirip dengan Arumi, tekad dan kesungguhanmu adalah genetik yang melekat dari genetik Devito Arumi, seharusnya Vievi dan Viena memiliki kecerdasan seperti kamu" Vievi menoleh ke arah Kenny, telinganya berdenging merasa terusik disaat dirinya menjadi bahan perbandingan.

"Sejatinya saya bangga dapat berelasi denganmu, kamu cerdas, pintar, juga bertekad kuat, wibawa yang kamu bangun tidak  serta merta menjadikan kamu jemawa, namun sayang, kamu hanya tidak beretika, wanita tidak akan menjadi apa-apa tanpa kesantunan, jika memungkinkan ia menjadi orang yang benar, tidak seharusnya kamu menjadi pembohong, menutupi manis parasmu dengan berkedok menjadi seorang penipu, berapa milyar prayoga membayarmu untuk menutupi sekandal perzinaanya nya dengan mamamu, berlagak lugu dihadapan kami sementara ia yang kamu panggil papa di belakang kami ikut bermain drama picik untuk membodohi saya dan anak-anak, terlepas dari apa yang telah kamu lakukan terhadap perusahaan kami, meskipun bagi saya itu sama saja, daun yang terbang jatuh tak jauh di atas tanah, jika tidak air ia akan jatuh ke dalam lumpur, maka tidak jauh dari itu semua, apa yang kamu lakukan semua itu sungguh tidak memiliki nilai tata krama, bukan ingin menguliahi kamu pada nilai budi perkerti, tapi memang sepertinya kamu tidak memiliki itu, dan itu seharusnya penting untuk seorang pemimpin seperti kamu"

Kenny seperti kehilangan jati diri saat sedang tersulut amarah, hilang sudah segala status, deretan gelar , pangkat, yang dimiliki, ia tak ubahnya seperti supir angkot ugal-ugalan berebut penumpang, mengamuk, meradang, mengumpat tanpa sempat memikirkan kalimat lain selain mencaci, menghardik dan menghina. Maura memilih membisu, tak jauh dari ia duduk secara tiba-tiba Prayoga datang mendekat, Maura bisa saja mengatakan bahwa Prayogalah yang meminta ia untuk merahasiakan semua, bahkan ia sendiri tak pernah mengetahui siapa Prayoga saat menikahi sang Mama. Maura menatap Prayoga yang masih menggunakan kursi roda, pada lesu wajahnya yang tertunduk pasrah, lelah sudah hati, energi dan fikirannya yang berhari-hari mendapati sindiran halus, dan amukan Kenny, jika bukan karena masih adanya cinta, sepatutnya memang ia seharusnya memilih pergi.

Suasana rumah yang pernah menjadi tempat singgah sekalipun kenangan awal munculnya bunga-bunga pada bilah hatinya yang mengkupu-kupu pada putri bungsu wanita yang kini berada di hadapannya, Maura lebih memilih bungkam, tersenyum menatap kehadiran Prayoga menggerek kursi roda duduk tak jauh dari pojok kursi . Saat rumah besar terasa senyap dan sepi, Maura memberanikan diri menjumpai Kenny, ia tak pernah melupakan rasa hormat ataupun lupa caranya berterima kasih seperti apa yang sering dilontarkan Vievi. Rasa hangat keluarga sekalipun memiliki niat meraup keuntungan tak pernah sedikitpun terlintas dalam fikiran, baginya Prayoga saat ini adalah Prayoga yang pertama kali ia kenal, sebagai Papa tiri dari pernikahannya bersama Irene sempat membawa dunia yang berbeda bagi dirinya. Prayoga tulus dalam menjadi sosok seorang papa dan memberikan banyak kasih sayang padanya, begitupun ketika ia menjaga dan mencintai Irene, sekalipun kini ia tahu atas apa yang Prayoga lakukan telah membuat luka begitu dalam membekas.  Ia tahu bagaimana rasanya menjadi Vievi, Viena dan juga Andre, tak ada anak yang mampu menerima tatkala pemimpin dalam biduk rumah mereka mencari lahan yang lain untuk membagi cinta, sebagaimana anak akan memilih membela siapapun yang telah terluka, dalam hal ini Kenny. Namun sayangnya, Kenny pintar membangun relasi tapi tak mampu mambangun ikatan hati antara ia dan anak-anaknya, hingga pada saat ketiga anaknya mengetahui skandal perselingkuhan sang Papa, Mereka justru tak perduli sebagaimana lukanya hati sang Mama.

Revenge and Love [Completed]Where stories live. Discover now