35. Leicester sq

5.6K 572 94
                                    

"Oh iya Ra, aku baru buka IG, ada live Erlan bareng Serhan, kayanya Erlan udah sampai deh di London, duh Serhan ganteng ya, cowo idaman banget" Maura terlihat menggeleng seperti memohon Kak Vievi mengubah pembicaraan.

[❣]

Viena Pov

Strawberry and Ginger salsa stack white chocolat kini menjadi menu pilihan aku dan Maura, Kak Vievi memilih meja outdor, dengan Leicester sq yang semarak dengan berbagai kafe dan bioskop, aku seperti baru merasakan keluar dari rumah tahanan membosankan. Setidaknya interior restoran yang benar-benar bertema bali sangat cozy untuk restoran dari owner Indonesia yang kini berada di London

"Bisa ya kamu nggak keluar kamar berminggu-minggu, apa itu nggak ngebosenin" Kak Vievi yang memaksa untuk ikut tak berhenti untuk berbicara, tidak sedingin awal pertama kali kami bertemu setelah sekian lama ia tinggal bareng Mama di sini, setidaknya aku menemukan bawelnya kembali.

"Lagian aku kalo mau keluar tujuannya ke mana, kan nggak lucu kalo seandainya aku keluar tapi malah nyasar" Maura tersenyum ke arah ku

"Nanti nggak nyasar lagi" menyambung kalimat ku barusan, aku yang duduk bersebelahan dengannya menyatukan genggaman tangan kami dari bawah meja. Aku sangat merindukannya, rindu sekali, berharap Maura tahu dari apa yang tunjukan padanya. Sesaat dari samping ia menghapus cream coklat yang menempel dari bawah bibir, aku menoleh memperhatikan ia yang masih saja fokus membersihkan wajahku agar tidak terlihat cemong.

"Sudah mau kuliah, tapi masih saja cemotan" Kebiasaan Maura masih saja sama, dari sekian banyak waktu yang terbuang, aku tak ingin lagi ia hilang. Kak Vievi terus memperhatikan kami, sadar dengan apa yang barusan ia lihat sontak membuatnya bingung, aku menurunkan tangan Maura dan menggantikan tugasnya barusan, yaitu membersihkan bibirku sendiri dengan wajah memerah, kak Vievi terlihat tersenyum.

"Kalian lucu, seperti saudara kembar" aku menatap kak Vievi lekat, yang kini bergantian menatap Maura.

"Habis ini Maura temenin Viena tidur di rumah sakit ya kak" Mintaku sambil memperlihatkan wajah memelas, Kak Vievi melesap white coffe dari atas meja.

"Kamu saja yang nemenin Maura di apartemennya, temenin dia sampei lulus kuliah" Mataku berbinar menatap Kak Vievi atas apa yang aku dengar barusan

"Kami?, berdua?" Tak dapat menyembunyikan bahagia aku menoleh ke arah Maura yang tak kalah keget memperhatikan Kak Vievi, tidak seperti aku, ia justru terlihat kaget tanpa ekspresi.

"Diluar planing sih Ra, tapi setelah kakak pikir-pikir, kamu nggak butuh kakak jagain kamu, dan Viena hanya butuh kamu untuk bisa jaga dia" Seharusnya kak Vievi tidak harus berbicara seperti itu pada Maura, seperti keyakinan ku, Maura tentu akan sama bahagianya seperti aku.

"Berarti selama kuliah, aku tinggal bareng Maura?" aku memberikan isyarat gerak bahagia, tanpa membalas kata, Maura terlihat menghabiskan makanan disambut anggukan Kak Vievi yang menjawab pertanyaanku barusan.

"Ya sesekali mama atau papa , kakak atau Andre pasti lah sekali-kali nginep di sana, kalian itu masih punya keluarga"

"Mama nggak mungkin" Potongku tegas

"Lho kenapa?"

"Ya mama nggak maulah tidur bareng kami, apa lagi aku?"

"Aneh, ngomong apa sih, kamu itu anaknya, Maura aja Mama perdulian banget, apa lagi kamu, terlebih-lebih lagi papa, sesibuk-sibuknya papa, dia selalu punya waktu buat jengukin anaknya, contohnya waktu aku masih kuliah, dia selalu punya waktu luang buat mampir jengukin aku di Canada, atau Andre di Kairo . Do not think badly to parents who have given birth you, inget itu" Seperti berpidato, aku tak suka jika kak Vievi harus berkhotbah membela mama.

"Segitu amat sih Vien kamu ke Mama, ada hikmahnya kita diuji dengan ujian kaya gini, jadinya kita bisa kumpul bareng, Papa Mamapun bisa istirahat total, dan kamu juga akhirnya bisa punya banyak waktu untuk cerita apa aja ke mamakan, dan so, hampir sebulan terisolasi di rumah sakit, kalian saling tukar cerita apa aja" Terlihat kak Vievi menautkan jari-jarinya dan meletakkannya di atas meja.

Sambil menautkan kening, dengan melebarkan pipi, aku bergidik mendengar pertanyaan kak Vievi.

"Cerita apa, sejak kapan aku jadi pendongeng"

"Viena..!" kali ini suara Maura yang terdengar sengaja ia tekan memperhatikanku seolah membelalakkan mata, dia tidak cocok jika sedang marah

"Kamu bisakan ya, ngomongnya nggak usah ketus gitu sama kakak kamu sendiri"

Aku tahu kak Vievi tak terlalu mempermasalahkan intonasi nada bicaraku, tapi yang aku tahu, ia pasti menunggu penjelasan ku akan tanyanya barusan.

"Niya kalau kakak mau tahu, mama itu nggak akan ada bedanya, dulu dan sekarang sama aja, means Monster"

"Vienaa!!" Dengan nada tinggi, Maura kembali membentakku, aku melepaskan jemari tanganku darinya yang sedari tadi saling bergenggaman.

Mengapa suhu seketika menjadi hangat, padahal aku berada di ruangan yang memiliki pendingin dari setiap sudut-sudut cafe.

"Ya aku nggak ada ngomong apa-apa sama mama, selain jadi pelayan pribadinya, dan sumpah itu ngebosenin banget"

"Pelayan, pelayan gimana maksud kamu?"

"Ya kakak pikir aja sendiri, selama di rumkit mama nggak bisa masukin asistennya ke kamar, dan dampak itu ngenyusahin aku banget, harus ngebikin susu teh sekaligus nyalain water heater setiap pagi untuk mama mandi, dan itu setiap hari, dan lagi harus dengan suhu yang ukuran bener-bener pas, nggak boleh kepanesan, dan nggak juga boleh dingin, pegel tangan aku ngurutin kaki dan malemnya ngebikinin aneka lulurnya buat perawatan wajah, itu baru urusan perawatan ya kak, belum terkait kerjaan, kakak bayangin aja kamar papa di sulap mama jadi ruangan kerja, sampe -sampe meja makan keluarga harus jadi tempat semua perlengkapan kerja dan kosmetiknya, jelas banget kalau ada yang nelfon aku harus jadi yang pertama nganterin yang entah di mana-mana mama lupa ngeletakin handphonenya, giliran bunyi dan dia nggak bisa nyari, lagi-lagi minta aku yang di suruh nyariin, apa banget dehh, untung aja ada bang Andre yang mau disuruh bolak-balik ambil obat" Dengan kalimat yang ku buat cepat, kak Vievi hanya menahan perutnya dengan tawanya yang tertahan.

"Itu bukan monster, itu namanya manja Viena, mama lagi minta dimanjain kamu" aku membuang tatapan ke sisi kiri mendapati bayangan Maura yang jelas sekali terlihat menertawakanku, padahal aku sedang kesal bahkan jauh dari kesan melucu.

"Memang kapan sih terakhir kali mama nyuruh ini itu sama kamu?" aku memutar mata seraya berpikir, dan seingatku, mama tak pernah menyuruh dan memerintahkan apapun padaku terkait membantunya selain mengikuti seluruh aturan dan perintahnya, itu saja.

Aku mengangkat bahu memperhatikan kak Vievi

"Seinget aku kayanya nggak pernah deh" 

Sambil memutar tatapanku ke arah Maura yang kini sibuk meraih handphonenya yang terus berbunyi sedari tadi.

"Siapa Ra" Tanya kak Vievi

"Om Niko kak"

"Gimana yang kamu minta kemaren, udah selesai?"

Maura terlihat mengangguk, aku tidak mengerti apa yang sedang mereka bicarakan, tentu saja berhasil membuat aku penasaran kali ini, apa lagi jika itu berhubungan dengan Maura, entah selalu saja ada rasa ingin tahu, selalu saja aku harus menjadi yang paling pertama untuk ia berbagi apapun cerita tentang dirinya, heran saja jika kenapa harus kak Vievi yang terlihat seperti lebih banyak tahu tentangnya.

"Oh iya Ra, aku baru buka IG, ada live Erlan bareng Serhan, kayanya Erlan udah sampei deh di London, duh Serhan ganteng ya, cowo idaman banget" Maura terlihat menggeleng seperti memohon Kak Vievi mengubah pembicaraan.

Aku kembali membetulkan posisi duduk dari posisi yang berhadapan tepat di hadapan Maura, kini lebih memilih membuang tatapan jauh ke seluruh sudut ruangan. Tak menjadi hal aneh jika Erlan akan tiba di Inggris, toh memang bisnisnya ada di sini. Rival satu ku itu sepertinya tak akan pernah berhenti untuk mendekati Maura, sementara aku, yang belum mendapatkan kejelasan pasti pilihan hati Maura memangnya bisa apa.

Tbc

Buat yang ngikutin cerita aku selain PBG, after cerita ini selesai, kamu mau aku lanjutin story apa?

Revenge and Love [Completed]Where stories live. Discover now