- 3 -

23.7K 3.1K 356
                                    

Benar kata Kafka, cinta itu bego. Membuatku bego. Meski aku tahu persis pria yang sedang menatapku penuh harap ini sama sekali tidak mencintaiku, tapi aku menyanggupi permintaannya untuk menjadi kekasih yang mencintai dia sendiri saja.
- Kanaya


||
||
||

Pada akhirnya aku tidak bisa menolak kesempatan untuk tinggal berlama-lama dengan mas Prima. Maka ikutlah aku ke pertandingan futsal bang Tegar dan teman-temannya. Termasuk Kafka. Tapi si bocah tengil itu memilih membawa Kabayan-nya, dengan dalih akan langsung pulang ke apartement sehabis futsal nanti. Dan dengan kerling mesumnya, ia berbisik pelan padaku, cukup membuat sekujur tubuhku meremang.

"Manfaatkan waktu yang kau miliki, anak muda."

Katanya tadi, yang membuat tanganku secara otomatis menoyor kepala penuh ide-ide kotor dan pikiran mesum nan nista itu.

Dan disinilah aku sekarang, dalam benda kotak yang bergerak membelah jalanan Jakarta. Bersama pria yang paling aku impikan selama lima tahun belakangan, mas Prima. Tidak ada radio atau musik yang menjadi latar kebisuan kami kali ini. Sepertinya mas Prima tidak dalam mood ingin mendengarkan musik. Aku maklum dan memilih memainkan anakku, Pou, memberinya makan dan mengajaknya bermain.

"Ayah gimana kabarnya?"

Suara mas Prima? Iyalah siapa lagi. Aku menoleh ke arahnya, mas Prima sedang menunggu jawabanku.

"Baik, alhamdulillah." Jawabku kemudian.

Basa-basi. Mas Prima hanya sekedar basa-basi padaku, kan? Aku tidak pernah punya nyali untuk mengajaknya bicara lebih. Bersama mas Prima selalu lebih dingin, menegangkan dan canggung. Meski telah mengenalnya bertahun-tahun, entah mengapa rasa itu sulit hilang. Dan untuk alasan yang tidak dapat kumengerti, hatiku terus saja mengharapkannya. Menginginkan mas Prima. Bahagia saat di dekatnya.

Mas Prima memarkirkan mobilnya di halaman Gung's Futsal, kulihat Kafka sedang berdiri di samping Kabayan sambil memainkan ponsel.

Kabayan Kafka itu adalah motor CBR berwarna merah hitam yang terlihat sangat besar bersanding dengan Kafka yang kurus seperti lidi. Kepalanya menoleh saat menyadari kedatangan kami.

"Udah ada siapa aja?" Mas Prima menghampiri Kafka.

"Agung, Dino, Tegar tuh mobilnya." Kafka memalingkan wajahnya ke arah mobil sport berwarna hitam milik abangku.

Aku pamit dan berjalan masuk mendahului mereka yang masih sempat merokok sebelum berolah raga, aneh kan? Aku melihat Winda sedang menelpon di luar pintu masuk, ia melambaikan tangan begitu melihatku. Winda adalah tunangan bang Tegar, mereka akan menikah setelah Lebaran ini. Dan ia menolak kupanggil kakak, karena usianya hanya terpaut satu tahun di atasku.

"Sama siapa?" Winda memasukkan ponselnya ke dalam tas dan memelukku.

"Mas Prima." Jawabku dan mengajaknya masuk untuk duduk.

Semangkuk mie ayam diantarkan untuk Winda, "kamu udah makan? Mau pesen mie ayam juga?"

"Sudah kok, kamu aja. Eh aku mau minum aja deh." Kemudian aku memesan teh botol dingin.

Aku melihat mas Prima, Kafka, bang Tegar, Farhan, Teddi, Agung, Dino dan beberapa teman mereka yang aku lupa namanya berkumpul. Aku tidak tertarik mengikuti pertandingan ini, karena makhluk berjenis kelamin perempuannya hanya Winda dan aku. Jadi aku memilih bergosip ria dengan Winda, sambil membuka instagram dan sesekali memposting ke-alay-an kami.

DilemaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang