15

9.2K 917 190
                                    

Teo nggak bisa menyembunyikan senyuman itu akhir-akhir ini, harinya berubah, entah kenapa ada sebuah rasa berbeda ketika cowok itu melewati hari seperti biasanya. Teo senang mengamati jam tangan coklat yang ada di tangannya. Teo suka, suka sekali. Terlebih karena itu adalah kado ulang tahun dari orang terspesialnya, Tampan. Cowok itu sudah memakainya satu minggu ini. Merawatnya baik-baik.

Teo bahagia, pada akhirnya cintanya terbalas, rasa ketidakpastian yang membuat nuansa semu di hatinya pada akhirnya berbuah kepastian.

Teo dibuat jantungan dua kali, alasan pertama, karena Teo kira Tampan nggak akan memaafkannya. Ucapannya saat itu membuatnya putus asa. Alasan kedua, ya itu, karena Tampan menembaknya.

Sebenarnya, Teo hampir jantungan tiga kali.

Ketiga kalinya terjadi ketika…
… Tampan menciumnya.

Menempelkan bibir lembut itu di bibir Teo. Aroma khas mulut Tampan menyeruak di langit-langit hidung Teo. Menanamkan bibirnya dalam-dalam. Yang Teo lakukan hanya bisa membalas, memagut lembut bibir ranum manis itu. Nggak ada tarian lidah, hanya sentuhan bibir-bibir lembut itu yang bergerak secara bergantian.

Teo nggak bisa melupakan ciuman itu, ciuman yang mendadak dan tiba-tiba. Tampan berhasil membuatnya merona malam itu. Dinginnya angin di ketinggian gedung mendadak sirna ketika bibir itu menyambut bibirnya.

Sejak saat itu, mereka lebih sering menyapa, tatapan mereka jelas berbeda, menatap penuh makna. Kadang, mereka hanya bisa melempar senyum. Bersikap biasa di depan yang lainnya. Tentu mereka merahasiakan ini. Hanya saja, mereka akan tetap terlihat lebih dekat dari biasanya.

Karena hal itu, Rara mencium sesuatu, seperti ada yang di sembunyikan dari Teo pada Rara. Cewek tomboy itu nggak mudah di bohongi. Sekali mengubur bangkai, cewek itu masih bisa menciumnya.

“Kayaknya kamu lebih deket sama Tampan akhir-akhir ini? Udah akur ceritanya?” Rara berkata dengan hati-hati.

Teo hanya membalas cengiran lebar. Rara jelas mengerutkan kening. Seolah paham, cewek itu ikut-ikutan tersenyum. “Cieeeee… paham,  kok, pahamm. Udah lah! Jadian aja menurut aku. Kalian cocok, kok!”

“Udah jalan seminggu padahal.” Teo membalas lirih.

“WHAT????” Rara melotot. Teo tersenyum lebar, memamerkan deretan gigi putihnya. Bibir Rara berkedut.

“Apa? Mau PJ? Ogah! Aku bokek gegara di utangin mulu sama kamu!”

“Kok kamu nggak bilang, hah? Hah?! Hah?!” Rara menonjok bahu Teo tiga kali. Cowok itu mendesis. Rara yang awalnya tampak kesal akhirnya menyungging senyum lebar. “Jahat banget lu jadi sohib! Pokoknya nggak mau tahu! Kudu PJ!” Rara menuntut.

“Nggak janji, ah! Minta sonoh ke orangnya. Lagian dia yang nyatain duluan. Aku mah tinggal nerima aja.”

“Ih bangke! Aku ikutan baper, njir!”

Meninggalkan kehebosan Rara, Teo segera mengecek ponselnya yang sempat bergetar. Pesan singkat dari Tampan. Cowok itu mengajak ketemuan di suatu tempat. Dengan berdusta ingin pergi ke toilet, Teo pergi meninggalkan Rara dengan aman.

Kamu dimana?

Teo mengetik sembari berjalan. Berhenti di anak tangga dekat aula persis di samping tembok mading.

Taman belakang.

Oke, Teo langsung kesana. Kebetulan saat ini jam kosong. Ada rapat mendadak oleh kepala sekolah yang melibatkan semua anggota dewan guru. Selangkah menyembul di dinding tembok, pandangan Teo mengedar. Mencari cowok yang katanya sedang menunggunya di taman belakang.

TAMPANTEOWhere stories live. Discover now