33(2)

4.3K 486 57
                                    

•| Sebuah Cerita yang Tak Bisa Kukatakan Padamu

...

Beberapa hari sebelumnya.

Sebelum semua itu terjadi....

"Pak Witoto memberi kita pinjaman uang." Joko membuka pembicaraan. Matanya mengedar menatap dua pasang mata yang menatapnya pegun. Namun di balik itu, ada satu tubuh yang menegak. Mendengar nama yang disebut pria dewasa itu.

"Bapak ndak minta sama Pak Witoto kan, Pak?" Teo penasaran. Tapi sedikit hati-hati.

"Bapak bertemu beliau di koperasi desa. Bapak sebetulnya sama sekali ndak ada niatan ke situ. Pak Witoto sendiri yang menanyakan ke Bapak. Bapak sebetulnya ndak enak, tapi Pak Witoto bilang beliau ikhlas membantu. Beliau juga bilang kalau bapak ndak perlu cemas soal pengembalian uang itu, ndak harus tepat waktu, yang penting Pak Witoto bilang uang itu bisa berguna buat kita." Joko menjelaskan dengan penuh ketenangan. Namun tangannya meremas sesekali. "Lagi pula uang pemberian Pak Witoto lebih besar dari pinjaman koperasi. Bapak sebetulnya ingin menolak, tapi melihat niat baik beliau, Bapak ndak mau menyulitkan pahala orang. Ini sudah rejeki, Teo."

Jujur, Teo tidak bisa menyangkal. Ia merasa ada yang aneh. Perasaan tak enak menyelimuti tubuhnya sekarang. Bagaimana tidak, sejak kapan Pak Witoto peduli dengan keadaan keluarganya? Mereka tidak pernah dekat. Bahkan bertemu karena perundingan singkat yang membawanya pada renggangnya hubungan Tampan-Teo kini. Pasti ada alasan. Pak Witoto tidak mungkin memberikan uang dalam jumlah banyak secara cuma-cuma. Namun selanjutnya Bapak Teo tidak membahas apapun. Meraih jaket motornya dan berpamitan untuk kembali bekerja. Di sana Teo di rundung tanda tanya. Besar. Melayang di atas kepalanya.

Sampai pada suatu siang,

pertanyaan itu pun terjawab.

"Jadi kamu tidak ingin meninggalkan anak saya?" Pak Witoto menatap Teo lurus. Tanpa ekspresi. Namun tatapan itu berbicara. Bahwa ucapannya itu baru sebuah awal di mana dirinya bisa saja merasa murka. Namun Teo tak gentar. Koridor Lab. Kimia menjadi saksi bisu perbincangan mereka berdua. "Saya bisa melakukan apa yang seorang ayah lakukan kepada kamu, Teo. Bukan lagi sebagai kepala sekolah."

"Saya berani sumpah kalau saya benar-benar mencintai Tampan. Saya kenal Tampan. Saya mengerti Tampan. Bahkan saya mempercayai Tampan melebihi siapapun. Jika yang Bapak pikirkan hanya soal napsu, Bapak salah besar."

Witoto tertawa singkat. Entah kenapa. Meraup wajahnya pelan. Namun itu justru membuat Teo berkerut halus.

"Sesuci apapun hubungan kalian, percintaan sesama lelaki tetaplah SALAH! Ingat ini baik-baik, Teo. Saya tidak pernah pusing soal LGBT selagi keluarga saya aman dalam perlindungan saya. Namun jika sudah seperti ini, saya tidak tinggal diam. Silahkan saja kalau itu orang lain, namun yang kamu racuni itu anak saya. Anak semata wayang saya!"

"Ini soal takdir, Bapak tidak bisa menolak itu."

"Saya tidak percaya takdir. Itu hanya soal bagaimana kalian menyikapi kekeliruan dalam diri kalian."

"Bapak salah. Bapak seperti itu karena bapak bukan kami. Bapak tidak merasakan sakitnya kami karena berbeda. Jika di kehidupan ini hanya soal laki-laki menyukai perempuan, lalu kami ini apa?? Sebuah penciptaan yang salah??"

"Saya tidak peduli. Sekarang, jauhi Tampan! Atau keluarga kamu akan menatap kamu malu suatu saat nanti. Dan lagi," Pak Witoto menengakkan tubuhnya. Mengatur emosi yang tadi sempat meluap. "Bapak kamu sudah menerima uang itu, bukan? Jangan sampai amarah saya datang melalui ayah kamu. Ingat itu."

Witoto mengambil langkah. Mengakhiri sepihak. Meninggalkan Teo yang membeku di tempatnya. Matanya mengekor pada punggung pria dewasa itu. Batinnya sakit. Perih. Harus sekeras ini, kah? Jujur, Teo sudah tak kuat.

TAMPANTEOWhere stories live. Discover now