BAB 50 Pengakuan Sang Putri

7.2K 661 6
                                    


Aku duduk dengan diam, menatap ke sekeliling ruangan ini dengan perasaan berkecamuk. Ini pertama kalinya aku berada di ruangan ini, tapi anehnya aku bisa merasakan suasana yang familiar dari tempat ini—mungkin lebih tepatnya dari pemiliknya.

Suara pintu terbuka muncul dan aku sama sekali tidak perlu mendongak untuk memastikan siapa yang baru saja memasuki ruangan ini.

"Aku benar-benar tidak menyangka kau datang ke sini menemuiku."

Aku hanya tersenyum datar, memandangi Sarah yang kini berjalan melewatiku menuju kursi di balik meja kayu besar di hadapanku. Begitu ia duduk, tatapannya kini mulai terpaku padaku dengan sorot datar.

"Kau tidak perlu terburu-buru. Aku sudah meminta sekretarisku untuk membatalkan janji siang ini, jadi aku punya banyak waktu untukmu," ujarnya sambil tersenyum.

Aku menatapnya beberapa saat, kemudian memberikannya senyum yang sama. "Thanks."

"Kau mau minum?"

"Aku datang ke sini bukan untuk berbincang-bincang sebagai teman. Kau sadar itu, kan, Sarah?" Aku menatapnya sejenak. "Kurasa kita memang tidak pernah benar-benar berteman selama ini," sambungku sambil mendengus.

Sarah mengerutkan dahinya. "Dan kau membenciku sejak masalah Hilda muncul?"

"Tidak, tapi sejak aku mengetahui kalau kau menyembunyikan kebenaran tentang ledakan pabrik ayahmu yang membunuh keluargaku sejak bertahun-tahun lalu dariku."

Sarah terdiam beberapa saat, tapi ia masih tidak melepaskan tatapannya dariku.

"Dan jangan coba-coba memberi alasan bahwa kau menyembunyikan hal ini dariku karena masalah kesehatan mentalku. Aku cukup mengenalmu dan tau kalau tidak melakukannya karena itu, Sarah," sambungku lagi.

Wajahnya kini berubah datar, menatapku dengan tajam.

"Kau melindungi ayahmu, tentu saja," ujarku. Aku mendengus. "Dan merahasiakan hal ini dari orang-orang yang menurutmu akan berbuat ulah dan mengungkit masalah ini lagi ke publik."

Aku menyadari wajahnya kini mulai kaku, tapi senyum itu masih bertengger di wajahnya. Selama beberapa saat ia tidak bersuara dan aku membiarkan suasana hening selama beberapa saat, menunggunya berkata sesuatu tentang hal yang baru saja kukatakan padanya.

"Darimana kau tau soal ini?" tanyanya akhirnya. Suaranya terdengar begitu tenang, sangat bertolak belakang dengan wajahnya yang mulai mengeras.

"Kenapa? Kau ingin membungkam mereka kembali?" Rasa jengkel mulai menyelip keluar dari dalam diriku. "Bungkam aku dulu, kalau begitu," sambungku.

Sarah menggeleng. "Kau tau aku tidak akan melakukan hal itu padamu—"

"Kau pikir aku tidak tau bahwa selama ini kaulah yang menyuruh anak buahmu untuk menerorku?"

Ia kembali diam, dahinya berkerut.

"Kaulah yang memaksa Pak Wira untuk menerorku. Berkali-kali menelponku setiap tengah malam, dan bangkai itu—" Tawa sinis menyelip keluar dari mulutku. "Anak buahmu yang memasukkan bangkai anjing itu ke dalam bagasiku saat aku keluar dari mobil," sambungku dengan nada tajam.

Sorot matanya kini berubah datar dan aku sama sekali tidak melihat sedikit pun rasa menyesal di mata itu. Dan itu sudah cukup bisa membangkitkan kembali rasa marah yang sejak tadi terpendam dalam diriku setiap kali melihat wajahnya.

Silent GirlDonde viven las historias. Descúbrelo ahora