Painful Love

2.9K 281 18
                                    

Cambria melintasi lorong panjang istana yang terdiri dari pilar-pilar besar berwarna abu-abu yang diukir dengan langit-langit melengkung yang dilukis bak lukisan indah di atas sebuah kanfas putih. Tiap langkahnya dipenuhi deret mata memandang yang kemudian menundukkan pandangan ketika ia lalu dengan langkah tergesa dan wajah marah setelah pertemuan tadi dengan Hazal. Ketika ia melintas jauh dari kerumunan pekerja istana, banyak bibir kemudian berbisik tentangnya dan menertawakan dirinya diam-diam. Cambria tahu betul pandangan menyedihkan orang lain padanya, namun ia tak bisa berbuat banyak, karena keadaan memang membuatnya harus banyak mengunci mulut.

Pintu berwarna merah di depan kamarnya dibuka dua pelayan. Setelah melintas masuk ia menghambur ke arah meja yang diipenuhi guci hias berwarna keemasan. Mulutnya mendesis kesal berulang kali lalu lantas menyapu deret guci di hadapannya dalam satu gerakan tangan hingga terdengar suara berdentum dan pecahan kaca memenuhi seluruh ruangan. Salah satu pecahan kaca itu bahkan menggores kakinya hingga berdarah namun ia abaikan begitu saja karena ia masih belum puas mengentaskan kemarahannya.

Cambria menarik selimut sutera yang menutup tempat tidur dan membuangnya ke atas lantai bersama bantal bulu di hadapannya. Ia menendang tempat tidur berulang kali lalu berteriak dengan nada lantang penuh rasa sakit sebelum kemudian jatuh ke atas lantai dengan rasa sedih yang membuatnya menangis tersedu seperti seorang anak yang tak berdaya. Dibalik pintu para pelayan mendengar tangisnya, namun tak ada bergeming mereka hanya menunjukkan wajah dingin seolah hal itu memang telah biasa terdengar tiap hari.

Ketika masih terisak dengan air mata menggantung di mata hijaunya, seorang pelayan berusia 45 tahunan yang telah mengabdi padanya selama beberapa tahun membranikan diri mendekat. Ia menatap wanita muda 30 an tahun namun yang masih nampak berusia 20 tahunan di depannya dengan penuh belas kasihan.

"Yang mulia ..." panggilnya lirih sedikit takut untuk mendekat. "Apa Anda tidak apa-apa?" setelah diam beberapa detik, Cambria berteriak lantang dengan nada memerintah.

"Panggil perdana menteri kemari. Cepat panggil dia ke mari!" pelayan itu memberi hormat kemudian berlalu dengan langkah terburu-buru, sementara dirinya diam terpaku memeluk kedua lututnya dengan bibir mengerut ditimpa air mata berguguran.

Pelayan wanita Cambria menyuruh seorang penjaga pintu masuk paviliun ratu untuk mencari perdana menteri ke kantor pemerintahan yang berada beberapa komplek jauhnya dari istana kerajaan Humington. Namun Arez sedang tak ada di sana, ia sedang bersama dengan Hazal di halaman belakang istana sambil menikmati segelas teh sore dengan pemandangan danau hijau yang dikelilingi tanaman bunga dan beberapa ekor angsa sedang berenang di permukaan air danau yang jerniah.

Angin sore berembus sepoi. Hazal duduk dengan kaki melintang dan gelas teh di tangannya. Ia menyeruput minuman hangat berbau melati di tangannya dengan hanti-hati. Sesekali mata hijau Arez melihatnya sedikit waspada, menunggu apa yang akan dikatakan kaisar muda itu padanya.

Gelas berdenting lirih, membuat Arez terbangun dari lamunannya. Hazal diam-diam tersenyum tipis melihatnya.

"Kurasa Ayah sudah mendengar mengenai mengenai petisi fraksi timur 'kan?" lelaki berambut gelap dengan hidung tinggi dan rambut yang disisr rapi ke belakang itu nampak sedikit terkejut ketika Hazal menyebutnya sebagai Ayah.

"Itu ..." gumamnya dengan nada panjang sedikit bimbang.

"Hanya ada kita berdua, bagaimana pun akan penting bagiku meminta pertimbangan Ayah mertua sekaligus perdana manteriku"Arez menelan ludah. Ia tahu arah pembicaraan yang ditujukan Hazel tak sesederhana apa yang ia utarakan.

"Saya sudah mendenarnya sejak lama" jemari Hazal yang bertaut tiga buah cincin permata di tangannya meletup beberapa kali. Masing-masing cincin mewakilkan satu gelarnya sebagai pemimpin negara, simbol negara dan pemimpin tertinggi kemiliteran.

The QueenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang