Chapter 1

371 19 0
                                    

Hari ini pertandingan basket antar universitas sudah memasuki tahap semifinal. Berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, pada tahun ini beberapa tim baru dengan kekuatan tidak terduga bermunculan, berhasil mengukuhkan posisinya sebagai semifinalis mengalahkan sejumlah tim lain yang biasa menjadi langganan kandidat pemenang.

Di antara riuh rendah suara penonton di lapangan indoor tersebut, seorang gadis berambut panjang kecoklatan dengan jaket hoodie merah marun dan name tag panitia tampak sibuk mondar-mandir di sekeliling lapangan. Di tangannya tergenggam sebuah clipboard berisi beberapa lembar kertas, sesekali menulis sesuatu dan menghampiri beberapa pemain yang sedang menikmati waktu istirahat di pertengahan quarter kedua dan ketiga. Paras cantik, kulit putih, langsing, dan tinggi semampai membuat siapa saja yang melihatnya—terutama kaum lelaki—kehilangan konsentrasi sesaat. Bukan hal baru jika penonton pertandingan basket pada setiap tahunnya selalu terbagi menjadi tiga golongan; dua golongan pendukung masing-masing tim dan satu golongan pengamat para pemandu sorak serta gadis-gadis yang berlalu-lalang disana.

Soojung—gadis berambut panjang itu—terus melanjutkan langkahnya, tidak peduli pada suara decitan sepatu yang beradu dengan lantai lapangan, suara dentuman bola karet, seruan para pemain yang meminta operan bola, sorak-sorai penonton, maupun berpuluh pasang mata yang mengikuti kemana pun ia pergi. Ia yang hari ini sudah kena teguran karena datang terlambat di hari pentingnya sebagai penanggung jawab acara merasa harus melakukan semua tugasnya sebaik mungkin. Sejak hampir tiga jam yang lalu ia tiba di tempat tersebut, belum sekali pun ia menyempatkan diri untuk minum apalagi duduk. Masih banyak hal yang harus ia kerjakan dan ia ingin melakukan yang terbaik.

"Sudah hampir jam lima, Soojung. Kau sudah menemui tim Universitas Kyunghee? Bilang pada mereka jadwal pertandingan diundur sepuluh menit," ujar Lee Taemin, koordinator bidang acara, setelah melirik arlojinya.

Soojung, yang saat itu baru saja kembali ke pinggir lapangan setelah membagikan konsumsi pada para pemain, pelatih, dan official tim, terpaksa membatalkan niatnya untuk beristirahat sejenak. Dengan napas yang masih tersengal ia mengangguk pasrah, "Aku akan segera menemui mereka."

Seolah tidak peduli dengan keadaan Soojung, Taemin merespon dingin, "Pastikan tidak ada pemain yang keluar-masuk aula sampai pertandingan dimulai. Jadwal hari ini sudah cukup terlambat dan kita tidak mau mengulur waktu lagi untuk mencari pemain yang hilang."

Diam-diam Soojung menggerutu. Awalnya ia memang bersemangat, namun lama-kelamaan ia merasa hari ini Taemin memperlakukannya seperti budak. Hampir semua pekerjaan ia yang mengerjakan, sementara beberapa panitia lain dengan santainya duduk di pinggir lapangan, sesekali tertawa dan larut dalam euforia penonton. Inikah konsekuensi yang diterimanya hanya karena keterlambatan tiga puluh menit? Ia bahkan harus berargumen dulu dengan dosen ketika meminta izin untuk keluar kelas tadi.

Sesuai dengan kata-kata Taemin, Soojung langsung menuju ruang ganti para pemain basket dari Universitas Kyunghee untuk memberitahukan bahwa pertandingan diundur sepuluh menit lagi. Selesai dengan tugasnya, gadis itu pun segera beranjak dari ruangan tersebut. Namun baru saja ia membuka pintu, sebuah suara memanggil namanya.

"Jung Soojung?"

Gadis itu menoleh. Matanya membulat begitu mengetahui siapa pemilik suara tersebut. Orang yang sudah lama tidak ditemuinya. Orang yang tidak pernah ia sangka akan bertemu lagi setelah sekian lama.

"Kau Jung Soojung, 'kan?" pria itu bertanya lagi, memastikan ia tidak mempermalukan diri di depan umum dengan memanggil orang yang salah karena saat ini gadis di hadapannya hanya diam membatu.

"Kau..." Soojung menemukan kembali suaranya setelah beberapa detik jantungnya serasa berhenti berdetak, "... Kang Minhyuk?"

Pria itu tersenyum—yang bukan membuat keadaan menjadi lebih baik, malah justru membuat Soojung semakin sulit bernapas. Ia benci dengan segala respon dari saraf motoriknya saat ini, membuatnya tampak bodoh. Ia benci karena ternyata perasaannya masih bisa kembali seperti dulu tiap kali ia melihat pria itu. Pria yang ia kira sudah berhasil dilupakan.

Blue Medley Series: ReunionWhere stories live. Discover now