Bab III

183 28 4
                                    

Kuncup-kuncup merah Flamboyan itu menyadarkanku, bahwa aku tak bisa tanpamu. Aku merindumu.

🍃🍃🍃

"Mau ke mana, Mas Galung?" tanya Inah, seorang wanita paruh baya yang menjadi salah satu pembantu di rumah Galung. Beliau bermaksud memanggil Galung untuk makan malam ketika tuannya tersebut keluar dari kamar dan bermaksud pergi.

"Cari angin, Bi," jawab Galung.

"Nggak makan malam dulu, Mas? Makanannya sudah siap dan sebentar lagi pak Puguh datang."

"Nanti aja, Bi. Aku masih ada urusan," jawab Galung lalu melanjutkan langkah. Ia justru berharap bisa keluar sebelum ayahnya datang. Namun, keinginannya sama sekali tidak terkabul. Ayahnya sudah ada di ruang tamu ketika Galung berjalan menuju pintu depan. Sementara Inah yang mengikutinya hanya diam dan tidak berani berkata apa-apa.

"Mau ke mana kamu?" tanya ayah Galung. Tanpa menoleh atau menghentikan langkah, Galung menjawab dengan datar dan terkesan tidak peduli.

"Aku rasa Ayah tidak ingin tahu."

"Berhentilah membuang waktu dengan hal-hal tidak berguna seperti sekarang. Tugas kamu adalah belajar agar bisa meneruskan perusahaan ayah. Mau jadi apa kamu dengan kegiatan yang tidak jelas macam sekarang?" Tiba-tiba saja beliau meradang dan berbicara dengan nada keras yang Galung benci.

"Aku sudah belajar, tapi bukan untuk menjadi seperti yang Ayah mau."

"Kamu! Tidakkah ibu kamu mengajari kamu untuk menghormati ayah?"

Giliran Galung yang meradang mendengar ayahnya membawa nama sang ibu dalam ketegangan mereka. Akan tetapi, ia tidak ingin memperpanjang pembicaraan yang ujung-ujungnya adalah pertengkaran tanpa hasil. Jadi, ia hanya menjawab dengan singkat lalu tetap pergi meski ayahnya melihat dengan tatapan marah.

"Jangan bawa-bawa ibu atas apa yang aku lakukan. Semuanya karena Ayah sendiri. Dan, mengenai akan jadi apa aku nanti, itu bukan kuasa Ayah untuk menentukannya."

Dengan menahan emosi, Galung keluar menuju garasi dan pergi mengendarai motornya meninggalkan rumah. Ia melaju dengan kencang melewati jalanan malam yang masih cukup ramai, seolah tidak peduli dengan berapa nyawa yang ia punya. Isi otaknya hanya dipenuhi dengan kebencian terhadap sang ayah.

Mereka memang tidak pernah akur, terutama sejak kematian ibu Galung. Galung hanya ingin hubungan yang baik antara ayah dan anak, tetapi ayahnya menginginkan lebih dari sekadar hal sederhana macam itu.

Ayah Galung adalah Puguh Wicaksono, salah satu pengusaha terkenal di Malang yang berharap sang putra semata wayang akan meneruskan jejaknya. Namun, Galung tidak suka dipaksa untuk menjadi apa pun. Ia hanya ingin mengikuti kata hatinya untuk melakukan apa yang ia mau.

Harusnya Puguh Wicaksono percaya kalau putranya juga tahu tentang batasan dan tidak mungkin melakukan hal-hal yang keterlaluan. Sayang, beliau selalu membenarkan pandangannya sendiri dan mengira apa yang selama ini Galung lakukan adalah hal buruk. Seperti menghabiskan uang untuk bersenang-senang, balapan liar atau keluyuran dengan orang-orang yang tidak jelas.

Pada akhirnya Galung memilih untuk tidak peduli dengan semua itu. Ia hanya ingin melakukan apa yang ingin ia lakukan. Jika satu hari nanti ia benar-benar menjadi penerus perusahaan sang ayah, maka itu berarti karena ia memang menginginkannya. Bukan berdasarkan paksaan siapa pun, termasuk ayahnya sendiri. Akan tetapi, untuk saat ini sama sekali tidak terlintas keinginan itu di hatinya.

Galung terus melaju kencang seiring begitu banyak hal yang bertumpuk di otaknya. Ia juga tidak bisa fokus berkendara sehingga harus menghentikan motornya secara mendadak ketika seorang gadis tiba-tiba muncul di jalanan yang ia lewati. Baik Galung maupun gadis itu sama-sama terkejut, tapi beruntung ia berhasil menghentikan motornya tepat waktu. Gadis itu sama sekali tak tersentuh oleh motornya.

"Hei! Kalau nyebrang itu lihat-lihat. Jangan sembarangan! Bikin bahaya orang lain aja." Alih-alih menanyakan keadaan gadis yang hampir ditabraknya tersebut, Galung justru menghampiri dan memarahinya. Padahal gadis itu kelihatan sangat shock dan hanya mengangguk mengiakan setiap kata kemarahan yang Galung lontarkan.

Puas memaki gadis tadi habis-habisan, Galung kembali melanjutkan perjalanan menuju rumah Andro. Masih dengan mood yang buruk. Begitu tiba, Andro yang menyambutnya tahu betul kalau suasana hati sahabatnya itu sedang tidak bagus.

"Belakangan kamu jadi labil banget, Lung. Sebentar keliatan happy, sebentar keliatan suntuk. Nggak sekalian galau juga?" goda Andro sembari tersenyum.

"Aah, bikin bete Ndro. Nggak di rumah, nggak di jalan."

"Memang jalanannya kenapa? Macet?"

"Tadi aku hampir nabrak cewek."

"Terus?"

"Ya aku omelinlah itu cewek. Gara-gara dia, aku bisa aja masuk penjara karena nabrak orang."

"Tapi dia nggak apa-apa?"

"Mana aku tahu. Lagian aku juga nggak peduli."

Andro hanya tersenyum mendengar ocehan Galung yang mudah ditebak. Ketidaksukaannya pada perempuan memang terkadang berlebihan, seperti yang baru saja ia ceritakan. Andro cuma berharap kalau semua sikap Galung selama ini hanya karena ia belum menemukan gadis yang tepat untuk bisa membuatnya bersikap lebih baik. Bukan karena ia benar-benar tidak menyukai perempuan.

"Harusnya kamu tanyakan keadaannya, bukannya memarahinya, Lung. Cewek itu pasti shock karena hampir kamu tabrak."

"Peduli amat," jawab Galung tak acuh. "Oh ya, kamu pernah tahu murid kelas sosial bernama Diandra, nggak?" tanya Galung yang mendadak teringat akan Diandra.

"Kok, kayanya aku nggak pernah dengar. Memangnya siapa dia? Cewek yang hampir kamu tabrak tadi?" tanya Andro balik.

"Bukan. Bukan siapa-siapa," jawab Galung lalu berjalan ke dalam rumah Andro setelah memarkir motornya di teras depan. Andro kemudian menunjukkan selembar kertas tentang lomba film pendek untuk pelajar padanya dan mengatakan sesuatu yang langsung membuat wajah Galung berbinar.

"Hadiahnya uang tunai, lumayan besar," ujar Andro.

"Baguslah, jadi tambah semangat untuk mulai," jawab Galung dengan senyuman menghiasi bibirnya.

Setidaknya masih ada hal yang membuat mood Galung menjadi lebih baik.

***

"Hei, Lung. Sudah lama kita nggak makan di kantin sama-sama," ujar Andro menjelang waktu istirahat.

"Benarkah?" tanya Galung. Tak begitu peduli.

"Ya. Akhir-akhir ini kamu sering menghilang begitu jam istirahat tiba. Memangnya kamu pergi ke mana?"

"Ke suatu tempat," jawab Galung berteka-teki.

"Jangan bilang kamu punya sahabat baru. Tiba-tiba saja aku takut terdepak," canda Andro.

"Nggak. Hanya saja aku mulai menyukai tempat baru itu. Bisa dibilang itu istana rahasiaku sekarang."

"Rahasia? Itu artinya kamu nggak mau kasih tahu aku?"

"Mungkin nggak sekarang."

Bunyi bel yang menandakan waktu istirahat menghentikan percakapan Galung dan Andro. Lalu, seperti yang belakangan Andro lihat, Galung akan segera menghilang entah ke mana.

Bukit belakang sekolah. Tempat itulah yang sebenarnya Galung tuju. Sejak ia memergoki Diandra datang ke sana, ia pun mulai suka melakukan hal yang sama. Dua pohon Flamboyan yang menaungi tempatnya memejamkan mata adalah tempat favoritnya. Galung bahkan tak keberatan meski harus berbagi salah satu pohon itu dengan Diandra.

Galung akan menghabiskan beberapa menit waktu istirahatnya dengan tidur di bawah satu pohon Flamboyan, sementara Diandra duduk menggambar di bawah satu pohon yang lain. Hal itu sudah berlangsung beberapa kali, tanpa ada pembicaraan berarti di antara mereka berdua. Keduanya sibuk dengan diri mereka masing-masing, tanpa tahu sampai kapan.

***
Halo!
Ditunggu kritik dan sarannya, ya

Salam Baca 😉
25072017

Angin Padang Rumput (Sudah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang