BAB VIII

113 22 6
                                    

Terkadang, kata suka dan cinta tak pernah cukup mewakili rasa hatiku padamu.

🍃🍃🍃

Diandra, bolehkah aku menyukaimu?

Kalimat itu terus terngiang di telinga Galung. Mengingatkannya pada pertanyaan terbodoh yang pernah ia ucapkan pada seorang gadis. Namun, anehnya ia justru tersenyum dengan kebodohannya tersebut.

Diandra, aku menyukaimu. Maukah kamu jadi kekasihku?

Harusnya pertanyaan itulah yang muncul. Namun, rasa gugup membuat Galung lupa akan semua hal yang ia niatkan. Harus ia akui, cinta memang mengalahkan banyak hal. Pertama keangkuhannya dan sekarang keberaniannya. Akan tetapi, masa bodoh dengannya. Diandra memberikan jawaban iya. Itu sudah cukup. Bahkan melebihi cukup.

"Mas, Pak Puguh sudah datang. Apa mas Galung mau makanannya saya bawa ke kamar mas Galung?" Inah yang tahu betul dengan kebiasaan kedua tuannya menawarkan bantuan.

"Nggak usah, Bi. Aku lagi mau makan malam sama Ayah, kok," jawab Galung sembari tersenyum.

Inah heran mendengarnya, tetapi tak bertanya lebih jauh. Hanya berharap tidak lagi terjadi pertengkaran.

"Ya sudah, Mas. Kalau begitu saya permisi ke dapur dulu," pamit Inah.
Galung mengangguk mengiyakan. Ia tetap duduk menunggu di meja makan. Sengaja bertahan di sana hingga ayahnya datang dan ikut bergabung.

Tak berapa lama kemudian ayah Galung muncul. Raut wajahnya sedikit terkejut melihat putranya berada di meja makan, tak beranjak meski beliau mengarah ke sana.
Kamu sudah makan? tanya beliau seraya duduk di seberang Galung.
Belum. Kalau ayah belum makan kita bisa makan sama-sama, jawab Galung.

Ayah Galung masih diliputi tanda tanya yang besar mengenai sikap putranya. Namun, beliau memilih bersikap wajar dan menunggu.

"Bagaimana sekolah kamu?"

"Baik-baik saja."

"Sebentar lagi ujian kelulusan, bukan? Bagaimana persiapan kamu?"

"Jangan khawatir, Yah. Aku bisa menghadapinya dengan baik."

"Baguslah. Lalu apa rencana kamu selanjutnya?"

"Kuliah, tentu saja."

"Apa yang akan kamu ambil?"

"Mungkin aku akan mencoba saran ayah. Manajemen bisnis juga bukan hal yang buruk untuk dipelajari," jawab Galung yang sontak membuat ayahnya kembali terkejut.

Selama ini Galung selalu menghindari hal itu, bahkan hingga membuat mereka bertengkar. Namun, sekarang putranya itu malah dengan senang hati mengatakannya. Beliau benar-benar tak habis pikir apa yang tengah terjadi. Meski ada rasa syukur pula dalam hatinya.

"Kamu yakin?"

"Kenapa tidak? Bukankah aku satu-satunya putra Puguh Wicaksono."

Ayah Galung tersenyum lega. Akhirnya ada titik terang dalam hubungannya dengan Galung. Hubungan yang telah merenggang semenjak kematian sang istri. Untuk pertama kalinya setelah lima tahun, beliau memandang putranya dengan bangga.

"Galung, kamu ada acara sabtu besok?"

"Sepertinya tidak ada. Kenapa, Yah?"

"Bagaimana kalau kita pergi memancing? Sudah lama kita tidak melakukannya."

Galung melihat ayahnya dan balas tersenyum. Sebuah perubahan kecil ini ternyata memberinya sebuah kebahagiaan sederhana yang telah lama ia lupakan. Diandra benar. Dia masih memilik kesempatan untuk melakukannya.

Angin Padang Rumput (Sudah Terbit)Where stories live. Discover now