06. Bahagia Beda Rasa

17.3K 2.1K 60
                                    


Raka seperti tertarik oleh sebuah magnet. Berkedip tidak bisa, berucap tidak sanggup. Jantungnya menggedor-gedor dada. Bukannya sakit, alih-alih terasa menyenangkan. Raka kaku. Sebagian dari inderanya bahkan mengalami disfungsi tanpa sebab. Ruangan ini riuh oleh suara—dari tepukan tangan hingga lantunan suara piano, namun yang terdengar oleh Raka hanya desau angin lalu. Ruangan besar ini penuh sesak oleh manusia, namun yang terjaring sempurna oleh mata itu hanya sosok gadis dihadapannya.

Dibalut dengan sebuah gaun putih mengembang, dengan tiara cantik di atas rambut hitam legamnya, wanita ini menjelma jadi seorang putri raja impian semua pangeran. Wajahnya tampak bersinar, semakin cerah diterpa puluhan lampu yang benderang. Bibir merahnya membentuk sebuah bulan sabit, sepertinya gadis itu sengaja ingin memerangkap Raka hingga tak lagi bisa menemukan jalan keluar. Entahlah.

Kaki berbalut sepatu penuh kristal itu berjalan dengan perlahan di atas gelaran karpet putih. Ketukannya membentuk sebuah musik indah di pendengaran Raka. Satu dua pun kecil-kecil hingga membuat Raka tidak sabar menunggu. Dua kakinya sudah melemas, haruskah gadis itu menyiksanya dengan senyuman itu berulang kali? Ataukah perlu Raka berlari sekarang? Menjemput lalu menyeret gadis cantik itu hingga ke pelaminan.

Oh, tidak perlu memalukan diri seperti itu Raka. Kini gadis itu tepat satu depa depannya. Mata yang biasa menantangnya tanpa takut, malam ini menyorot begitu pemalu. Menyaksikan itu, sebagian otak Raka lekas lumpuh. Aduh, harus apa Raka sekarang?

"Berikan bungamu. Jangan bikin drama di sini."

Sepertinya suara Dewa. Raka mengembuskan napas. Menyerahkan sebuket bunga pada gadis cantik dihadapannya. Masih dengan senyum malu-malu gadis itu meraih bunga itu, mendekapnya erat. Dan lalu apa?

"Mendekat. Berdiri di sisinya. Balik badan. Serahkan lenganmu. Lalu ajak dia jalan ke pelaminan, bodoh."

Di dunia ini, sepertinya tidak ada adik sekurang ajar Dewa. Tapi Raka bersyukur, ucapan tajam pria itu menyadarkannya dari linglung. Melemparkan Raka pada hal-hal yang seharusnya dilakukan mempelai pria.

Baiklah. Lengan Raka hangat sekarang. Dililit oleh tangan putih berlapis jaring-jaring lembut menghasilkan sesuatu yang berbeda untuk kali pertama. Bukannya makin membaik, kerja jantung Raka makin menggila. Riuh tepuk tangan makin membuat jantung itu kebat-kebit. Menikah apakah bisa membunuh?

Beruntunglah, Raka bisa mengendalikan diri. Kakinya tetap melangkah, satu dua mengimbangi langkah anggun istri jahilnya. Matanya berbinar, menatap sekeliling yang penuh dengan senyum. Hingga singgsana mereka tepat di depan mata, Raka bisa mempertahankan harga dirinya sebagai seorang pria—pun sebagai seorang suami yang patut dihormati.

Ayolah. Raka punya istri yang ajaib sekarang. Yang bersemangat menggodanya. Yang paling bahagia jika bisa melihat Raka kaku terpesona. Seperti kali ini. Istri bersenyum jahil itu sudah terkikik geli. Sesekali menyimpan kikikannya di balik pundak Raka.

"Wajah Mas Raka pucat." Ejek Flora kemudian terkikik lagi, "perlu minum Mas? atau perlu ciuman dari istrimu yang cantik ini?"

Raka bisa apa selain diam. Ia tertakap basah. Membalas juga hanya akan memperkeruh suasana. Jadi Raka pasang saja sebuah senyum ramah di dua ujung bibirnya. Ia terima dengan sukacita lampiran restu yang seluruh tamu haturkan. Flora? Gadis itu bisa mengendalikan diri dengan baik. Tersenyum manis, wajah kocaknya entah lenyap terbawa apa. Raka dibuat kagum oleh cara gadis itu bersikap. Tenang, seolah permukaan danau yang menyembunyikan jurang dalam.

Jangan pula menyipitkan mata pada kekuatan hati seorang Alka Flora. Mungkin hanya dia gadis yang tak menangis tersedu-sedan di hari pernikahannya sendiri. Hanya setitik bening lalu terhapus cepat oleh jemari Raka. Katanya ia menangis karena merasa sendirian, tanpa orang tua dan kakak, hanya ditemani sepasang Om dan Tante yang bermuka palsu. Tangis itu hanya karena Flora merasa sebatang kara. Itu saja.

ALKAWhere stories live. Discover now