02. Teresa's Doll

30.5K 3.3K 268
                                    

"Pecus benci wangi-wangian dan cahaya. Tapi mereka punya reaksi yang berbeda. Mereka tidak tahan dengan bau wangi, jadi mereka lebih memilih untuk menjauhi tempat dengan bau wangi. Sedangkan cahaya, mereka merasa terganggu. Itulah kenapa Departemen Keamanan selalu menghimbau untuk setiap rumah di malam hari menutup tirainya dan seminimal mungkin menyalakan lampu, karena pecus bisa menyerang. Pecus akan sangat marah."

Aku mendengarkan dengan seksama penjelasan Mr. Adren tentang Pecus. Aku menatap diriku dari bayangan di jendela. Aku menghela napas panjang. Entah serajin apa pun aku mendengarkan, pada kenyataannya ini berbeda dengan mendengarkan penjelasan guru tentang teori kinematika gerak atau yang lain. Yang jika aku tidak mengerti, aku bisa membuka buku atau bertanya guru. Ini tidak. Aku bahkan tidak harus menggunakan pensil untuk menjawab ujiannya. Tapi dengan panah dan busur di pundak. Aku tidak butuh kertas untuk menghitung. Aku harus membayangkan sendiri berapa sudut tembakan yang harus kulepaskan. Hampir sembilan bulan kotaku berubah seperti ini, sekali pun aku belum pernah melawan pecus.

Seseorang mengetuk pintu.

"Masuk!"

Pintu terbuka. Seorang pria tua yang memakai jubah putih muncul dari balik pintu. Aku mengusap wajah. Beberapa anak yang lain mendesah pelan. Beberapa saling berbisik. Pria tua itu hanya mengangguk sejenak kepada Mr. Adren sebelum akhirnya pergi kembali. Tanpa disuruh, kami semua langsung berdiri. Keluar dari kelas dan berjalan beriringan menuju aula. Di sana, lilin-lilin terpasang di sepanjang jalan menuju panggung. Tepat di atas panggung, terdapat dua bingkai foto cukup besar. Aku menahan napas.

Pria tua itu selalu muncul setiap akhir bulan, meminta setiap anak untuk berkumpul di aula. Entah sesibuk apa pun pelajarannya saat itu, kami semua diminta untuk berkumpul di aula. Tidak lama, hanya sembilan menit. Karena setiap bulan, satu atau dua orang dari kelas petarung pasti ada yang meninggal.

Memasuki kelas petarung berarti siap mati. Setiap awal bulan akan dipilih melalui undian sepasang murid, laki-laki dan perempuan, untuk menjadi petugas keamanan di malam hari selama satu bulan, membantu Departemen Keamanan. Mereka bekerja bersama petugas keamanan yang setiap malam bertugas memburu pecus. Ini seperti tugas magang. Tapi apa yang terjadi? Setiap bulan, justru mereka yang menjadi korban. Selama sembilan bulan ini, baru tiga orang dari kelas petarung yang benar-benar selamat menjalankan tugasnya selama satu bulan. Sisanya meninggal dan sisanya sudah cukup jelas mereka menjadi apa.

Aku menatap bergantian dua bingkai foto itu dengan tatapan kosong. Suatu saat, aku yakin, aku juga akan berada di panggung itu. Entah sebagai foto atau aku masih bisa berdiri tegak, aku akan sangat sabar menunggu masa itu datang.

***

"Aku pulang."

Aku meletakkan bungkusan berisi sup ayam di atas meja makan. Ibu keluar dari kamar dengan mata setengah terpejam. Sepertinya baru saja bangun tidur.

"Sudah pulang, Nak?" tanya Ibu setengah bergumam. Aku mengangguk.

"Teresa mana?" tanyaku heran. Aku tidak melihat adik kecilku itu berlari memanggil namaku. Biasanya dia sudah menyerbuku ketika aku pulang, bertanya masakan apa yang kubawa hari ini.

"Masih tidur. Sepertinya kelelahan. Tadi kami pergi ke rumah Mrs. Annie, dia main bersama Rere seharian."

Aku manggut-manggut mengerti. Aku melirik jam. Pukul tiga sore. Masih ada waktu dua jam sebelum jam malam dimulai. Ketika jam lima sore sudah datang, kami semua dilarang keluar dari rumah. Lebih baik aku segera istirahat hari ini, besok adalah hari berat. Hari penentuan, sepasang petarung yang akan dipilih untuk melaksanakan tugas berat satu bulan ke depan.

***

Aku sedang membaca buku di ruang keluarga ketika tiba-tiba Teresa keluar kamar sambil merengek.

Stand UpWhere stories live. Discover now