1

3.6K 446 38
                                    

[ MARK ]

Camera, rolling... Action!

Bukan, bukan. Aku tidak sedang syuting film, teman-teman. Tapi itu adalah kalimat yang ingin aku dengar sebelum aku pergi ke alam baka.

Namaku Mark Tuan, umurku 24 tahun. Dua tahun lalu, aku lulus dari Universitas California, lebih tepatnya jurusan sastra. Ya, kalian sekarang sedang berada di Los Angeles. Apa kalian senang?

Perlu kalian ketahui bahwa hari ini adalah salah satu hari yang paling mendebarkan dalam hidupku. Mau tahu kenapa? Tapi kalian harus baca ceritaku lebih dahulu.

Sejak kecil, aku bermimpi untuk menjadi aktor di Hollywood. Kalian tahu spider-man, bukan? Manusia yang digigit laba-laba hingga akhirnya memiliki kekuatan serupa serangga kaki enam itu? Yang melindungi orang-orang kota di balik topeng misterius?

Bayangkan kalau aku menjadi spider-man. Pasti sangat keren.

Inti dari ceritaku adalah, aku sedang berusaha keras untuk mewujudkan mimpiku. Aku sudah tidak peduli dengan ejekan yang dilontarkan teman-teman kuliahku dulu. Aku hanya ingin menjadi aktor Hollywood.

Dan hari ini, aku datang ke Sony Picture Studio untuk mengikuti salah satu audisi film indie yang berjudul "Hometown". Film ini akan berkisah tentang sebuah keluarga, di mana sang ayah ingin kembali ke kampung halaman, namun ada saja tantangan dan hambatan yang datang.

Peran yang ingin kudapat bukanlah sang ayah, apalagi sang ibu. Bukan juga anak-anak dari keluarga tersebut. Tapi aku ingin mendapat peran Sam, tetangga dari keluarga ini.

Mungkin terdengar remeh, tapi aku tahu dan aku berusaha realistis, bahwa aku harus memulai karirku di Hollywood dengan peran kecil terlebih dahulu. Siapa yang setuju denganku, ayo angkat tangan kalian.

"Peserta nomor 409. Mark Tuan,"

Nah, akhirnya namaku dipanggil. Sewajar mungkin aku berdiri dari kursiku dan berjalan menghampiri Jimmy, salah satu pelaksana audisi ini. Aku memberikan senyum terbaikku padanya.

"Hah, kamu lagi,"

Oh, ada satu hal yang lupa kuberitahu pada kalian. Ini adalah audisiku yang ke-118. Percaya atau tidak, aku sudah sering datang ke tempat ini, jadi wajar jika Jimmy sudah bosan melihatku.

Aku masuk ke dalam ruang audisi di mana ada produser, sutradara, dan penulis skenario yang duduk berjajar menatapku. Aku memberikan mereka senyuman yang tulus dan aku mengisyaratkan lewat tatapan mataku agar aku lolos audisi hari ini.

Kakiku berhenti melangkah tepat di tengah-tengah ruangan. Aku membungkukkan badan sembilan puluh derajat sebagai rasa hormatku pada mereka.

"Selamat siang. Aku Mark Tuan, aku datang untuk audisi sebagai Sam. Aku mohon perhatian kalian," ucapku lancar.

Aku membuka naskah film yang sebelumnya sudah diberikan pada semua peserta audisi, seminggu yang lalu. Aku sudah berlatih di rumah dan aku yakin dengan kemampuanku. Aku yakin aku akan lolos audisi kali ini.

Tapi saat baru saja aku ingin mengucapkan dialog pertama, wanita yang duduk di ujung kiri, yang tidak lain adalah penulis skenario, mengangkat tangannya.

"Cukup. Aku tidak mau mendengar kamu bicara,"

Wajahku berubah pucat, bibirku terkunci rapat, dan tubuhku tidak bisa bergerak. Aku bahkan tidak diberi kesempatan untuk berakting dan memperagakan dialogku. Tuhan, kenapa kau selalu memberi cobaan padaku.

"Apa kamu pernah melihat ke cermin? Lihat wajahmu," ujar sang penulis skenario. "Kamu orang Asia, kan? Aku tidak butuh orang dengan wajah seperti kamu di film. Tolong keluar."

Tanpa mengizinkanku bersuara, Jimmy menyeretku keluar dari ruangan. Aku benar-benar sedih sekaligus marah, tapi aku tidak bisa berbuat apapun. Hatiku berkata agar aku melawan Jimmy, tapi otakku bilang bahwa aku harus pulang.

"Aku minta maaf, kawan. Tapi tidak ada tempat untukmu di Hollywood," kata Jimmy sebelum akhirnya memanggil peserta audisi setelahku.

Terlahir dari keturunan Taiwan membuatku menjadi minoritas di Negara Adidaya ini. Sejak dulu aku memang kalangan bawah. Selalu direndahkan dan selalu dihina karena wajahku.

Kalian yang tidak berada di posisiku mungkin tidak akan pernah mengerti perasaanku. Selama ini aku bisa bertahan karena keluargaku cukup kaya dan aku termasuk murid pintar di sekolah. Tapi saat aku terjun di dunia masyarakat, yang ada hanyalah rasisme.

Memang apa salahnya jika aku menjadi aktor Hollywood keturunan Asia? Bukankah itu prestasi yang sangat langka? Coba kalian sebutkan siapa aktor Hollywood keturunan Asia yang kalian ketahui. Sangat sedikit, bukan?

Itu karena masyarakat mayoritas tidak pernah memberikanku kesempatan. Sejak detik pertama melihatku, mereka sudah tidak menyukai wajahku. Terutama penulis skenario itu. Rasanya ingin sekali aku menginjakkan kaki di wajahnya.

Dengan lesu, aku keluar dari studio dan berjalan menuju area parkir, tempat adikku sudah menungguku. Seperti biasa, adikku melempar senyum pahit padaku. Ini adalah audisiku yang ke-118. Dan ini adalah kegagalanku yang ke-118.

"Ayo pulang, Joey. Aku sudah muak dengan semua ini," ujarku sambil berjalan menuju mobil sedan keluaga kami.

Joey, adik laki-lakiku, berjalan mengekoriku. Dia sama sekali tidak bertanya tentang audisiku. Dia langsung tahu hanya dengan melihat ekspresi wajahku. Kecewa, marah, dan sedih bercampur menjadi satu.

"Kak, begitu sampai rumah, jangan langsung masuk kamar, ya," kata Joey cukup keras agar aku mendengarkan. "Ayah mau bicara sama kakak."

Holy shit.

Ini akan menjadi hari yang melelahkan untukku. Percayalah, teman-teman, jika ayahku sudah mengajakku bicara, itu artinya aku harus menyiapkan telingaku. Karena ayah akan berbicara sangat serius sedangkan aku sebagai anak laki-laki yang baik hanya bisa diam mendengarkan.

Dua puluh menit kemudian, dengan mobil keluarga yang disetir oleh Joey, aku sampai ke rumah. Keluargaku terdiri atas ayah, ibu, dua perempuan yang menjadi kakakku, aku, dan Joey sebagai anak bungsu. Ya, aku adalah anak laki-laki pertama di keluarga ini.

Begitu aku masuk ke dalam rumah, ayah sudah duduk di ruang tamu. Jelas sekali ayah menunggu kepulanganku. Aku duduk di kursi yang berhadapan dengan kursi ayah. Kepalaku tertunduk, rasanya aku ingin kabur saja.

"Bagaimana audisimu?" tanya ayah sambil menyeruput kopi hitam yang disediakan ibu.

"Aku gagal lagi," jawabku jujur. Untuk apa aku berbohong?

Ayah mengangguk, seakan mengerti apa yang kurasakan. Aku memang sudah menjadi anak egois. Aku masuk jurusan sastra, bukannya bisnis seperti yang diinginkan beliau. Aku mengikuti audisi tanpa kenal lelah, bukannya meneruskan usaha keluarga kami.

"Mark, lupakan impianmu untuk menjadi aktor. Kamu sudah cukup berusaha," ujar ayah dengan tenang. "Lebih baik kamu menjadi manajer di café keluarga. Ayah akan mengirimmu ke Seoul. Ayah beri kamu waktu satu bulan untuk belajar Bahasa Korea."

Aku hanya bisa mengangguk mendengar perintah ayah. Mungkin ini memang sudah saatnya aku menyerah.

After the Concert ✔️Donde viven las historias. Descúbrelo ahora