68

808 167 14
                                    

[ IRENE ]

Seandainya aku punya mesin waktu, maka aku ingin kembali ke masa saat aku dan Wendy masih mengejar impian kami untuk menjadi penyanyi.

Itu adalah masa-masa indah di mana kami bertemu setiap hari untuk berdiskusi tentang audisi yang akan kami ikuti selanjutnya. Lagu apa yang akan kami rekam berikutnya. Perusahaan rekaman apa yang akan kami kunjungi setelahnya.

Kini aku tahu mengapa saat kesempatan untuk menjadi model datang padaku, Wendy memaksaku untuk menerima. Saat itu pasti kondisi Mama Wendy sudah buruk dan Wendy tidak ingin merepotkanku lebih lama.

Aku juga menjadi beban untuk Wendy jika tidak melupakan impianku untuk menjadi penyanyi. Suaraku biasa saja, teknik menyanyiku kalah jauh dibandingkan Wendy. Kalau aku terus ikut bersama Wendy, impian Wendy tidak akan pernah terwujud.

Yang ingin kuperbaiki bukan tentang impian kami. Yang ingin kuperbaiki adalah diriku saat itu. Seandainya aku lebih berani, lebih tegas, dan lebih dapat diandalkan, Wendy pasti mau menceritakan kondisi Mamanya padaku.

Tapi semua itu sudah berlalu. Saat ini musim semi, hujan tidak akan turun untuk menemaniku bersedih. Saat ini musim semi, angin tidak akan berlalu untuk menerbangkanku dari sini. Saat ini musim semi, salju tidak akan datang untuk membekukan hatiku.

Yang hadir saat musim semi adalah kelopak bunga. Warna yang bisa membuat siapa saja tersenyum, baik anak-anak maupun orang dewasa, baik laki-laki maupun perempuan. Bunga itu cantik, menarik, dan indah.

Aku sudah kehilangan bunga dalam hidupku.

"Maaf sudah membuatmu menunggu, Irene," itu adalah suara Mark yang baru saja duduk di hadapanku sambil membawa segelas minuman favoritku.

Creamy Daegu. Rasanya begitu manis dan krimnya begitu lezat. Tapi kali ini, lidahku yang peka menyadari perubahan pada minuman favoritku.

"Ah, apa rasanya aneh?" tanya Mark seakan bisa membaca pikiranku. "Aku yang membuatnya."

"Kamu yang membuat Creamy Daegu ini?" tanyaku kembali, tidak percaya.

Mark mengangguk malu sambil melonggarkan dasi yang mengikat lehernya. Seorang asisten penulis naskah yang baru saja pulang dari SBS TV, bisa membuat segelas Creamy Daegu di bawah tekanan rasa lelah?

"Ini sebagai wujud terima kasih karena kamu mau menungguku pulang dari kerja," sahut Mark sambil tersenyum. "Kamu pasti sudah menunggu lama."

"Nggak juga," balasku cepat.

Aku memang tidak menunggu lama di Café Hometown karena aku lebih lama berada di luar. Ya, tadi aku melihat mobil Suga dan menyadari kehadiran laki-laki itu yang sedang menunggu kedatangan Wendy. Saat ini dia pasti sedang menuju rumah Wendy.

"Bagaimana keadaan Wendy?" tanya Mark, suaranya pelan tapi sekaligus penasaran. "Aku harap dia nggak memaksakan diri."

"Justru itu," aku menarik gelas Creamy Daegu mendekat. "Aku menghubunginya setiap hari dan dia selalu ada di rumah. Dia terdengar semangat tapi dia bilang, dia belum mengerjakan apapun."

Mark tersenyum pahit. "Sesuai dugaanku."

Aku sama sekali tidak mengerti. Kalau Mark memang orang yang bisa memahami Wendy lebih dari siapapun, mengapa takdir memisahkan mereka? Mengapa mereka tidak bisa bersama?

"Mau sampai kapan kalian seperti ini?" tanyaku sedikit kesal. "Kalian nggak menghubungi satu sama lain dan menanyakan kabar satu sama lain dariku—"

"Tentu saja sampai impian kami terwujud," balas Mark tegas. "Aku nggak peduli berapa tahun lagi, tapi akan tiba hari di mana naskahku dijadikan drama dan Wendy akan mengisi soundtrack untuk drama itu."

Persis. Apa yang dikatakan Mark padaku, persis dengan apa yang dikatakan Wendy padaku. "Apa impian kalian itu lebih berharga daripada perasaan yang kalian miliki?"

Bukankah harusnya bisa, mewujudkan impian dan mencintai satu sama lain di waktu yang sama? Wendy dan Mark bisa menjadi sepasang kekasih dan bekerja sama mewujudkan impian mereka. Kenapa semua menjadi seperti ini?

"Kalau kami mengutamakan perasaan, kami nggak akan bahagia di akhir," jawab Mark sambil menatapku. "Dalam rangka mewujudkan impian, banyak resiko yang harus kami ambil. Kalau pada akhirnya itu nggak akan membuat kami bahagia, maka percuma."

Sepertinya aku sudah tidak bisa melakukan apapun untuk mengubah pikiran Wendy maupun Mark. Entah mereka yang sama-sama keras kepala atau aku yang tidak mengerti apa yang mereka rasakan saat ini.

"Lagipula, masih ada beberapa milikku yang tersisa," lanjut Mark. "Aku masih punya pekerjaan. Aku masih punya Café Hometown. Aku masih punya teman-temanku di sini. Dan aku juga masih punya kamu, Irene."

Ini bukan apa yang ingin kudengar dari Mark. Kehilangan Wendy pasti berat untuk Mark, tapi mengapa Mark masih bisa tersenyum?

Ternyata aku masih belum cukup berani, belum cukup tegas, dan belum cukup untuk diandalkan. Karena Mark masih belum bisa tertawa dan menangis saat bersamaku.

Suga yang kutemui tadi jauh lebih berani, tegas, dan dapat diandalkan daripada diriku. Dia punya keinginan yang kuat untuk membahagiakan Wendy. Siapapun yang mendengar Suga berbicara tadi, hatinya pasti akan ikut tergerak.

"Irene, apa kamu benci padaku?" tanya Mark setelah beberapa menit. "Kenapa daritadi kamu nggak bicara lagi?"

"Aku sudah nggak tahu harus bicara apa," ujarku pasrah. "Aku ingin sekali melihat kalian berdua bersama, tapi kalian malah jadi seperti ini!"

Di luar dugaan, Mark tertawa. "Ini baru Irene yang kukenal. Jangan ikut murung juga, Irene. Kamu harus tetap mendukungku dan Wendy, oke?"

"Kenapa semua orang minta tolong padaku, sih!" seruku sedikit kesal. Tapi aku berusaha menahan air mata yang hendak tumpah membasahi pipiku.

Wendy dan Mark, mereka sudah memberiku banyak sekali kesempatan. Mereka percaya padaku, maka aku juga harus percaya pada mereka. Aku harus berubah, demi mereka. Aku tidak boleh menjadi perempuan lemah.

"Mark Tuan, kamu lihat saja nanti!" kataku sekuat tenanga. "Aku janji, aku pasti akan membahagiakan kamu dan Wendy!"

Permintaan Wendy padaku adalah untuk menggantikan dirinya berada di sisi Mark dan membuat laki-laki ini bahagia. Ini permintaan yang benar-benar susah, tapi bagaimanapun aku ingin mewujudkannya.

"Kamu lucu sekali," balas Mark masih sambil tertawa. "Rasanya aku seperti dilamar olehmu."

"Jangan meremehkanku," ujarku hingga akhirnya air mataku menetes juga.

Dan sambil mewujudkan permintaan Wendy, aku juga ingin mencari kebahagiaanku sendiri. Yaitu menjadi perempuan yang lebih berani, lebih tegas, dan lebih dapat diandalkan.

"Irene, terima kasih," kata Mark kemudian ia menggenggam kedua tanganku. "Aku tunggu janjimu."

Aku memang sudah kehilangan bunga di hidupku. Tapi aku masih memiliki beberapa biji bunga yang tersisa. Aku bisa menanam mereka dan merawat mereka sepenuh hati.

Hingga suatu hari, bunga itu akan mekar menjadi bunga paling indah di dunia.

After the Concert ✔️Where stories live. Discover now