XVI

6.2K 517 49
                                    

Gedang memasuki rumah dengan bersiul kecil. Satria yang mendengar kedatangan Gedang langsung berjalan menghampiri.

"Sore, Bang..." sapa Gedang.

"Sore," jawab Satria dengan gaya cool, kedua tangannya dimasukkan ke dalam saku celana. Meskipun begitu tatapan matanya tidak lepas melihat pergerakan Gedang.

Gedang kembali bersiul.

Satria menghela nafas melihat setangkup bibir merah Gedang yang mengerucut. "Haruskah aku mencium bibir itu sekarang?" gumamnya dalam hati.

"Ada apa? Kok dari tadi ngeliatin aku mulu?" tanya Gedang yang 'ngeh' dari tadi di bawah tatapan Satria.

Satria mengangkat bahunya lalu berjalan masuk.

"Apaan sih..." gerutu Gedang seraya mengikuti Satria masuk ke rumah.

Sambil kembali bersiul, Gedang berjalan ke kamar. Sementara Satria duduk di ruang santai. Ia lantas mengambil buku yang tergeletak di atas meja. Ia mulai membaca halaman yang ada di depannya, tapi pikirannya tidak fokus. Pikirannya terus mengarah pada bibir merah Gedang.

Sial, atas saran Madam Rosetta tadi, ia terus menerus memikirkan bentuk bibir Gedang.

Apakah mungkin ciuman menjadi solusi? Apakah mungkin Gedang akan ingat semuanya setelah mereka berciuman? Pikiran semacam itu terus memantul di dalam kepalanya.

Satria menutup buku yang dibacanya. Setelah itu menyandarkan kepala ke sandaran kursi. Ia menatap pelafon sejenak kemudian menutup matanya perlahan diikuti helaan napas yang teratur.

***

Gedang memasuki ruang santai dengan mengenakan celana pendek dan kaos oblong tanpa lengan. Rambutnya masih basah. Badannya terasa segar sehabis mandi. Niatnya ke ruang santai ingin mengajak Satria makan. Tapi ternyata yang ingin diajak malah tidur.

"Tumben dia tidur jam segini? Di sini lagi..." gumam Gedang seraya berjalan menghampiri Satria.

Ia memperhatikan Satria sejenak dari ujung kaki sampai ujung kepala. Dia tak memungkiri kalau Satria sangat tampan. Andai saja ia perempuan, mungkin ia dengan cepat akan menyukai Satria, sama halnya dengan Betari dan Kamidia. Tapi karena dia laki-laki, ia hanya sebatas mengagumi saja. Meskipun terkadang ia kerap kali merasakan desiran aneh ketika bersama Satria. Terutama ketika pandangan mereka bertemu. Ada perasaan mendalam yang tidak bisa ia jelaskan.

Gedang menempelkan punggung tangannya ke kening Satria. Suhu badannya normal. Ia pikir Satria kurang fit. Tapi setelah ia sadar kalau Satria bukanlah manusia seperti manusia pada umumnya, ia ragu kalau Satria bisa merasakan sakit. Dia punya kekuatan. Tentu dengan kekuatannya itu, Satria bisa menyembuhkan dirinya sendiri, begitu pikir Gedang.

Sekarang Gedang bingung. Ia ragu untuk membangunkan Satria. Tanpa sadar ia justru berjongkok dan menatap wajah Satria dalam. Meneliti pahatan wajah Satria yang sempurna. Ia mulai menilai wajah sang pangeran dari masa lalu itu...

"Alisnya hitam dan lebat..., hidungnya mancung, (Gedang mendekatkan telapak tangannya ke depan hidung Satria) hembusan nafasnya hangat, bibirnya penuh..." ia menurunkan tatapannya ke dada satria yang nampak naik turun dengan teratur. Seketika ia ingat ketika Satria bertelanjang dada saat masak tempo hari. Entah kenapa ia ingin sekali melihat pahatan tubuh indah bak para Dewa Yunani itu sekali lagi. Ia hampir saja menyingkap baju yang Satria kenakan jika saja akal sehatnya kembali menguasai tempatnya. "Kamu mau jadi homo beneran?!" cemooh hati kecilnya.

Gedang menghela nafas berkali-kali untuk menghilangkan pikiran menyimpang dari kepalanya. Setelah itu ia mengambil buku yang terbuka tapi dalam keadaan terbalik di atas perut Satria. Ia membaca judul buku itu. Buku tentang bisnis. Ia memilih untuk meletakkan buku itu langsung ke atas meja ketimbang mengintip barang sedikit pembahasan apa di dalamnya.

BANGSATWhere stories live. Discover now