PART 9

2.3K 190 29
                                    

Halo gengs, udah part 9 aja nih:') berarti udah 9 hari aku bikin beginian 9 hari wqwq xD enjoy yak guys:3

---

Aku membersihkan rumahku sebelum aku berangkat pulang ke Jakarta sambil menunggu Bang Azka datang ke rumah setelah mengambil surat izin cuti. Hari semakin senja, ia tidak kunjung datang. Aku menelpon dirinya, tapi nomornya tidak aktif.

Sekitar pukul setengah enam, ia datang ke rumah. Ia tidak membawa apa-apa dari Mesnya, hanya amplop lebar berwarna cokelat yang ia letakkan di meja. Ia duduk di sofa sambil memejamkan matanya.

“Bang, udah aku siapin capcay tuh buat buka.” celetukku sambil membangunkan dirinya. Ia pun terbangun.

“Kamu nggak buka?” tanyanya.

“Nggak, lagi ‘anu’.” kataku. Ia pasti sudah tahu maksudku.

“Ya udah, temenin Abang buka aja.” ia membalik piring di meja makan. Aku duduk di depannya.

“Udah kenyang, Bang. Abang aja yang makan.”

“Nanti perjalanan laper lho.”

“Udah bawa cemilan banyak kok, Bang.”

“Nanti kebanyakan nyemil, gendut lho.”

“Mending gendut, Bang. Tandanya lagi bahagia. Emangnya Abang, kurusnya kebangetan. Tanda-tanda nggak bahagia nih!”

Bang Azka tertawa kecil sambil bermain sendoknya, “Bisa aja nih kalau ngeledek. Kamu bahagia karena ada Abang, ya kan?”

“Ih, GR banget, Bang!”

“Oh, jadi kamu punya pacar?”

Aku tergeragap, “Ya, nggak gitu, Bang, kalau aku punya pacar kan pasti ngomong ke Abang dulu.”

“Omong kosong,” Bang Azka melahap kerupuk udangnya, “Nggak ingat sama si Dodi, Herdi, sama Alex? Sudah tiga kali kamu nggak ngomong kalau punya pacar dan hasilnya dikecewakan kan?”

“Aku memang tak punya pacar!” bodoh. Aku melupakan Mas Aryo. Dia adalah kekasihku sekarang. Dan dia tidak sebrengsek Dodi, tidak sejahat Herdi, dan tidak mengobral janji seperti Alex.

Bang Azka mengendikkan bahunya. Setelah ia berbuka puasa, ia bersandat di kursi sambil meneguk sirup jeruk dingin di sana. Aku menatapnya wajahnya yang manis. Andai dia bukan abangku, pasti aku sudah betah pacaran dengannya.

“Abang mau salat magrib dulu.”

“Kita berangkat kapan, Bang?”

“Habis tarawih ya. Abang nanti tarawih di Masjid depan rumah.” Bang Azka masuk ke kamarnya, mempersiapkan untuk salat magrib sementara aku membereskan piring-piring kotor yang hendak dicuci.

“Bang Azka, mau ke depan dulu ya, ngobrol sama orang-orang di luar. Sekalian berangkat tarawih bareng.” aku mengiyakan.

Tak berapa lama setelah itu, Mas Aryo menelponku, “Halo, sayang, lagi apa?”

“Lagi beres-beres, Mas, mau berangkat pulang ke Jakarta soalnya. Mas Aryo nggak mudik?”

“Ah, enggak mudik kok. Aku asli Surabaya soalnya. Rencana naik apa? Berangkat kapan?”

“Naik mobil kok, Mas. Berangkatnya nunggu Abang pulang tarawih.”

“Hati-hati, macet lho. Jalanan pantura lagi macet-macetnya soalnya.”

“Oke, Mas, pasti bakal hati-hati kok.” aku tersenyum.

Selama Abang tarawih, aku saling berbicara dengan Mas Aryo. Berbagai hal kami ceritakan, mulai dari: masa kecil, masa kuliah, masa cari kerja, hampir semuanya kami bahas dalam hari ini. Berbagi canda tawa bersamanya membuatku sedikit tenang saat Bang Azka tidak ada di rumah.

Ketika Abang KembaliWhere stories live. Discover now