PART 25

2.8K 183 55
                                    

Selamaaaat pagi! Gimana pagimu hari ini, gengs? Sehat-sehat kan? Alhamdulillah, kalau sehat semua :3 ohiya, Sudah part 25 :') nggak kerasa ya hampir sebulan nih cerita jalan terus nonstop :') Alhamdulillah juga bisa selalu sempetin waktu, buat ngerjain ini xD masih kontrak belajar nggak berat-berat banget pelajarannya wkwkwk *plak btw, enjoy part 25 yak, authornya ini lagi pengen lagi banyak omong sebelum jadi pendiem di matkul observasi, biar gak dipilih jadi ketua kelas observasi gitu wkwkwkwkwk *ea curhat *plak :') makasih udah yang mau nemenin cerita ini dari awal hehe, lama-lama kalian bikin aku baper :') kalian the best!

---

"Saya Kapten Dodi," suara lain menyambutku dengan tegar, "Saya turut berbelasungkawa atas meninggalnya Kapten Laut Azka Setianegara Suwandi."

Deg

Jantungku berhenti berdetak sepersekian detik mendengar pernyataan itu. Seketika aku langsung bangun dari rebahanku. Aku tidak percaya, sama sekali tidak percaya!

"Bang Dodi, ini sudah malam dan jangan menyebarkan lelucon kayak begini!" sentakku malam-malam.

"Sabar, Mbak Santi. Ini sudah rencana Tuhan yang Maha Kuasa. Pihak orang tua sudah diberitahu oleh kesatuan. Saya menelpon Anda karena bertujuan memberi tahu kabar ini."

"Bang Dodi bohong! Dia laki-laki yang kuat, dan saya tahu itu. Ini pasti bercanda kan? Nggak lucu, Bang!" aku masih menyangkal. Karena ini benar-benar bukan hal yang lucu.

"Azka meninggal karena jatuh terpental di lereng saat helikopter hilang kendali dan jatuh. Ditemukan di lereng gunung cukup jauh dari jatuhnya helikopter. Ditemukan sekitar jam delapan lewat seperempat sudah tewas. Sekali lagi, saya mengucapkan turut belasungkawa atas meninggalnya Kapten Azka."

Air mataku berlinang deras seketika mendengar berita itu benar-benar terjadi. Aku tidak bisa menahan air mataku tentang Bang Azka. Aku mulai terbangun dari tidurku setelah Bang Dodi menutup teleponnya. Aku sudah tidak punya pikiran lain selain kembali ke Jakarta.

Aku melihat ponselku bergetar. Papa menelponku malam-malam begini. Aku tahu apa yang akan nanti dikatakan Papa di telepon. Aku menerima telepon Papa dengan air mata yang masih berlinang deras.

"Iya, Santi sudah tahu, Pa." ujarku tegar meskipun sudah sesak dadaku.

"Kamu kapan pulang ke Jakarta?"

"Besok jam 6 aku sampai Jakarta. Bandara Soekarno-Hatta."

"Besok Pak Harsoyo jemput kamu jam 6."

Aku segera memesan tiket pesawat melalui aplikasi. Setelah melakukan pembayaran, aku segera print out e-tiket penerbanganku jam 5 pagi.

***

"Bang Azka, pegang tanganku."

Aku menoleh. Tidak ada. Sebelahku adalah kursi kosong di penerbangan sepagi ini. Dan ini pertama kalinya, aku memberanikan diri untuk naik pesawat sendirian. Aku ditemani dengan air mata yang masih menderas. Sang pramugari bertanya keadaanku, tapi aku tidak ingin membocorkannya. Bang Azka yang selalu membuatku tenang dengan cara menggenggam tanganku erat saat aku masih duduk di kabin pesawat.

***

Aku sampai di Jakarta dengan pikiran yang kacau sekali. Air mata tidak henti-hentinya berhenti menemani setiap langkahku. Aku memilih diam saat sopir Ayahku masih fokus menyetir mobil menuju rumah. Aku kalut.

Sepanjang perjalanan, aku membayangkan sebelahku adalah Bang Azka. Yang setiap saat menggenggam tanganku, merangkulku, memelukku, dan mencium keningku jika sempat. Ia memberikan senyumannya yang paling manis dan menarik. Gayanya nyentrik kalau di depanku. Dia yang suka membuatku tertawa, dia yang pernah berjanji untuk selalu melindungiku, dia yang selalu ada untukku di saat aku susah. Semuanya hanya bisa dikenang menjadi sebuah cerita untuk anak-anakku kelak tentang pakdenya.

Ketika Abang KembaliWhere stories live. Discover now