Kisah Musholla

5.1K 28 1
                                    


PAGI KEMBALI BERSEMI, hari berganti melesat bagai peluru. Begitu cepat dan tak terasa. Sudah lewat dari seratus tahun lebih aku berada disini, sudah banyak kejadian yang telah terjadi, kawan, maukah kalian mendengarkan kisah ini, kisahku yang di buang jaman. Kisahku yang kini tidak lagi diperdulikan orang-orang. Kecuali oleh satu orang anak muda, yang bernama Hasan Basri.
Tapi sebelumnya biarlah aku memperkenalkan diri, orang-orang dulu menyebutku Al-Ihsan, aku adalah musholla di pedalaman desa. Kalau tidak salah, istilah orang sekarang, menceritakan kesedihan itu curhat ya namanya?, ah apalah peduliku kata orang jaman sekarang, aku hanya mau menceritakan kisahku. Karena semuanya sudah gila, anak mudanya pada tidak waras, mereka lebih mementingkan kesenangan dunia dari pada akhirat. Mereka sudah lupa darimana mereka berasal dan kemana mereka akan kembali. ya Allah selamatkan lah mereka dari jaman yang sudah buta ini.
--oo0oo--
Dulu, tanah tempatku berdiri ini adalah sebuah hutan di pinggir desa, tempat yang jarang di masuki orang karena bahaya, banyak jinnya. Tapi suatu hari datanglah seorang lelaki paruh baya dengan busana serba putih yang bernama K.H.M Agung Sulaiman. beserta rombongannya yang berhasil mengusir mahkluk gentayang itu dan membabat habis semua pohon yang pernah mereka tinggali, dan atas kesepakatan bersama, juga ijin kepada kepala suku di kampung ini. Maka di buatlah aku, betapa bahagianya aku dulu,  dikala waktu sholat orang-orang pada ramai berdatangan. Sholat berjamaah, kalau puasa datang mereka berbuka disini, malamnya tarawih bersama, dan setelah itu berdengunglah lantunan ayat suci Al-Qur’an yang dibaca anak- anaknya, begitu merdu. Dan mengesankan.
Walau hanya dengan penerang sebuah lampu ceplok, yang akan dimatikan ketika selesai mengaji, tapi semua tetap semangat.
Malam bertasbih, alam berdzikir menyebut Asma Illahi, aku biasa mendengarkan itu dulu. Sambil menangis tak henti tiap malam mengenang kejadian itu, indah sekali masa itu.
Dan yang mengurusku adalah seorang pemuda paruh baya, Kang Asep, begitulah orang kampung sini menyebutnya. Setiap pagi dan sore dia selalu menyapu halaman depan dan belakangku, dan membersihkan tubuhku, sampai bersih.
“alhamdulillah, untung ada Kang Asep“ puji K. H. M Agung,
Kang Asep yang di puji jadi malu sendiri, “biasa saja Kiai.“
Kang Asep sendiri adalah salah satu penduduk kampung ini yang paling baik kepada K. H. M Agung. Membersihkanku tanpa kenal pamrih dan lelah. Lihatlah wajah orang tua itu, berpeluhan dia membersihkan diriku, tapi sedikit pun dia tak pernah mengeluh. Dia lakukan karena rasa sayangnnya kepada K. H. M. Agung, Allah dan tentu saja diriku.
Hari pun berganti, waktu Kang Asep telah tiba. Aku sedih sekali waktu itu, dia dipanggil ke hadirat Illahi lebih dulu dari K. H. M. Agung, jasadnya di makamkan di dekat mesjid. Karena sungguh tidak bisa sama sekali mayatnya di bawa ke liang kubur yang sudah disiapkan untuknya. Sebenarnya itu karena aku tak rela. Begini ceritanya, aku sungguh tak rela jauh dari orang yang telah merawatku itu, maka aku berdoa agar jasadnya di kuburkan didekatku. Agar aku selalu bisa mengenangnya, dan Allah mengabulkan. Setiap kali jasadnya di bawa, maka tanpa sepengetahuan orang lain, aku ambil jasadnya dan kutaruh di dalam diriku. Begitulah berulang-ulang, K. H. M. Agung yang paham akan maksudku tersenyum dan memerintahkan agar jasad Kang Asep di makamkan di dekatku, samping kanan musholla.
Dan pekerjaan Kang Asep pun di gantikan oleh anaknya, Darma yang kemudian dikenal sebagai Kang Darma.
--oo0oo--
Dulu K. H. M. Agung pernah mempunyai niat baik, yaitu untuk menikahkan anaknya dengan anak Kang Asep, atau keturunnanya suatu saat nanti. Tapi niat baik itu tak tersampaikan sampai beliau juga dipanggil Allah, karena anaknya dan anak Kang Asep laki-laki, sama. Dan niat baik itu di wariskannya kepada anaknya, lalu anaknya lagi. Tapi sampai Hasan Basri pun, __ keturunan Kang Asep yang sekarang ini merawatku__ niat baik itu belum juga tersampaikan. Tak tahulah kita apa rencana Allah. Tapi aku selalu berdoa niat baik itu akan terwujud entah kapan.
Kalau kuingat dulu, baik anak muda dan orangtua, bahkan anak- anak, ramai sekali  mengunjungiku, sholat bersama. Mendengar pengajian oleh Ustadz Ahmad Salim, salah satu cucu dari K. H. M. Agung, yang paling semangat tentu saja anak mudanya. Mereka dengan gigih belajar dan memahami agama yang akan menyelamatkan mereka di akhirat kelak. Menemani ketika di kubur dan membantu ketika berjalan di atas shirat.
Sayangnya, jaman sekarang sudah buta, kalap oleh nafsu dunia. yang dikejar anak muda sekarang hanyalah cinta dan ketenaran, tak peduli haram atau halal. Yang manapun tak masalah.
Malam masih bertasbih, alam masih berdzikir. Tapi jaman sudah ragu, alam marah kepada manusia yang berbuat sekehendak mereka, semua orang sudah buta. Juga kampung ini, lihatlah mereka hanya lewat saja di depanku. Bagaimana aku tidak marah, padahal aku tahu siapa leluhurnya, tapi mereka seenaknya berjalan bermesraan dengan yang bukan mahromnya.
“HARAM, ITU HARAM BERSAMA PEREMPUAN YANG BUKAN MAHROMNYA HARAM!“ itu kata- kata K. H. M. Agung sendiri ketika kampung ini masih buta tentang agama, ingat sekali aku perihal itu. Beliau berbicara begitu karena hubungan antara perempuan dan laki-laki masih dianggap wajar kala itu.
Bahkan keturunan K. H.  M. Agung sendiri sudah tidak ada lagi sekarang di  kampung ini. Dengan kata lain, mereka semua pindah ke kota, aku tak tahu apa alasannya. Tapi hanya Hasanlah yang sampai saat ini setia menemaniku, memang tak salah aku memilih Kang Asep untuk di kuburkan di dekatku, karena keturunannya masih menyayangiku.
--oo0oo--
“bismillahhirrahmannirrahim“ lantunan ayat suci Al-Quran yang di bacakan Hasan begitu merdu, memecah keheningan malam. Tapi hanya dia sendiri yang membacakannya, tidak seperti malam-malam bulan ramadhan sebelumnya. Anak muda yang lainnya juga ikut mengaji bersama, bergantian sehingga disini menjadi ramai. Padahal jaman sudah maju, tekhnologi sudah berkembang pesat, cahaya terang, pengeras suara ada, lengkap sudah, kurang apa lagi. Di banding dulu, yang gelap. memang jaman sekarang sudah terang, tapi semua manusianya sudah buta, hatinya sudah ditutupi oleh kenikmatan dunia yang fana.
“assalamualaikum“ kulihat seorang perempuan berdiri di depan musholla memanggil Hasan.
Hasan menghentikan bacaannya dan menoleh kepada perempuan tersebut, seraya menjawab salam.
“maaf mas, mengganggu, kami sepertinya kemalaman disini, apa kami boleh numpang di musholla ini buat satu malam saja“ ucapnya, sepertinya dia bersama keluarganya. Seorang laki-laki berjalan mendekat. Terlihat perempuan sebaya dan satu anak lelaki jauh di belakangnya.
“iya nak, kami sekeluarga tersesat“ ucapnya, mungkin dia ayahnya.
“iya pak, silahkan, tapi maaf tempatnya kotor“ Hasan mempersilahkan, dan membantu keluarga itu membawa barangnya ke dalam. Sambil menyiapkan alas tidur seadanya “saya permisi dulu pak, assalamualaikum.“
“ waalaikumussalam “ jawab keluarga itu serempak.
--oo0oo--
Dan pagi kembali datang.
“sudah lama disini nak?“ ucap laki-laki malam tadi, oh ya namnya Mushoffa, lebih tepatnya, H. Mushoffa. Dan nama anaknya itu, Syifa Ayu Dewi.
“iya pak, sudah sejak leluhur saya dulu,“ jawab Hasan sambil menyapu pekarangan. Kotor, karena lepas magrib malam tadi anak mudanya pada main petasan.
“kamu tahu siapa nama pendiri musholla ini nak?”
“kalau tidak salah, orang disini biasa memanggil beliau Kiai, Kiai Haji Agung Sulaiman.“ Hasan sambil mencoba mengingat, karena cerita itu sudah sangat lama berlalu dan hampir hilang di ingatan orang kampung, bahkan dirinya.
“Kiai Haji Agung?“ ucap Mushoffa serasa tidak percaya.
“iya pak,“
“subhanallah“
Hasan dan Syifa nampak heran.
“kenapa ayah?.“ Ucap Syifa mendekat duduk di samping ayahnya.
“jadi ini musholla Al- Ihsan?.“
Hasan yang mulai merasa ada sesuatu hal, menghentikan pekerjaannya. Dia menatap Mushoffa dengan perasaan bingung. “iya pak benar, dari mana bapak bisa tahu?.“
“beliau, Kiai Haji Agung adalah buyutku, dan aku mencari musholla ini,“ Mushoffa terdiam sebentar “subhanallah, aku tak menyangka ternyata disini tempat yang kami cari,“
“sudah lama ayahku menyuruhku untuk kesini, kembali mengurus tempat ibadah ini dan mengajarkan agama lagi, tapi aku terlalu sibuk dengan dunia sehingga aku sadar, aku merasa terpanggil ke sini. Karena beberapa minggu yang lalu, Kiai Haji Agung mendatangiku dalam mimpi dan mengamanahiku untuk kesini“ ucapnya sambil sesanggukan. Hasan terdiam tak menyangka. Aku heran dan bertanya- tanya apa orang ini akan kembali mengabdikan diri di kampuang ini. Tapi sayang dia tak mendengar ucapanku.
“kamu nak, siapa namamu, oh ya maaf Hasan kan, apakah kamu tahu dengan yang namanya Kang Asep?.“
“oh dia itu leluhur saya pak.“
Mushoffa tertunduk semakin dalam, air matanya keluar, mungkin inilah tadir yang sudah di gariskan Tuhan, dia teringat akan pesan dari ayahnya yang mendapat pesan dari kakeknya. Bahkan pesan itu kembali di ulang oleh Kiai Haji Agung di dalam mimpinya saat itu, sebuah pesan yang singkat, yaitu untuk menikahkan keturunan mereka dengan keturunannya Kang Asep, niat Kiai Agung yang dulu tak tersampaikan, dan hari ini juga dia menyampaikannya langsung kepada Hasan dan kepada putrinya. Hasan terdiam sejenak seolah tak percaya mendengar tawaran dari Mushoffa,__ menikahi putri seorang ulama, apa dia pantas__ dia memang hanya seorang pemuda biasa, tapi dia mewarisi sifat leluhurnya, yang tak kenal pamrih, manusia santun yang tak pernah mengharap jasa.
Syifa langsung mengangguk setuju ketika melihat Hasan, Hasan diam tapi langsung bisa menguasai diri. Dilihatnya wajah Syifa yang tersenyum ke arahnya, membuatnya jadi salah tingkah hingga sapunya terlepas dari pegangannya. Syifa tersenyum sambil menutup mulutnya melihat Hasan, Hasan sendiri jadi malu-malu, mukanya memerah, dia tidak tahu apa yang harus dilakukan. Di samping ingin, di samping pula dia merasa tak pantas, karena dia hanya seorang pemuda biasa yang serba kekurangan.
Syifa yang mengetahui apa yang terjadi pada Hasan, dia pun berucap “manusia itu bukan luarnya yang penting, melainkan hati, akhlak juga taqwa, cinta dan kesetiaan yang begitu kuat kepada Allah maka dengan itu tentunya dia akan setia.“
Mushoffa tersenyum, Hasan langsung berlari ke belakang musholla, pura-pura menaruh sapu. Padahal aku tahu, dia malu.
--oo0oo--
Pagi di hari yang jauh, tanpa menghitung hari, entah apakah aku akan di perbarui atau di hancurkan, ah itu terserah mereka. Paling tidak, untuk saat ini, kalian sudah mengetahui kisahku. Sampai saat ini dan hari ini.
Terdengar suara yang meriah sekali disini, banyak orang pada berdatangan, bukannya sedang hari raya. Tapi ini karena ada acara walimah, siapa lagi kalau bukan, Hasan Basri dan Syifa Ayu Dewi yang menikah hari ini. Dan kedua keluarga ini akhirnya bersatu atas ijin Allah, mereka tak perlu mengenal apa yang orang jaman sekarang sebut dengan pacaran. Cukuplah dengan menikah, maka semuanya sudah halal.
Niat baik Kiai Haji Agung akhirnya tersampaikan, walau harus menunggu seratus tahun lebih. Aku sendiri sebagai saksi, saat Kiai sendiri yang berikrar dan juga saat akhirnya kedua keturunan mereka bersatu. Memang takdir selalu aneh, tak pernah bisa ditebak, bahkan jodoh pun tak bisa kita kira-kira. Di hari yang bahagia ini, alam kembali berdzikir.
Bahkan langit yang selalu murung karena prihatin padaku pun, kini tersenyum.

Kumpulan Cerpen 2 Sahabat 1 JanjiWhere stories live. Discover now