Chapter I

320 15 0
                                    

Seorang anak bertubuh kurus tengah berlari terengah engah melewati pilar pilar Yunani kuno nan menjulang tinggi, berbaris rapih mengantarkan pengunjung pada sebuah gazebo diatas gunung berbatuan. Kulitnya yang putih dan rambutnya yang berwarna perak, memantulkan cahaya biru terang setiap kali terterpa sinar rembulan yang menembus pilar pilar yang dilaluinya. Garrett Monroe, seorang nephilim pembangkang, menoleh kebelakang memastikan dirinya sudah lolos dari kejaran kaumnya sendiri. Selamat! pikirnya lega mengetahui dirinya sudah aman. Ia memperlambat langkahnya mencoba mengatur napas yang masih memburu hingga ia tiba di puncak gunung, berdiri ditengah tengah gazebo menatap langit malam. Kosong dan dingin. Air matanya kini mulai mengalir membasahi pipinya yang tembam. Tak ada yang mengerti pemikirannya. Untuk apa menyembah batara yang konon katanya merupakan ayah dari nephilim, ayah dari umat manusia, tetapi mereka semua masih menderita. Ia adalah salah satu bukti nyata, mengemban dosa dari nenek moyangnya yang sempat dihapuskan oleh ayah mereka sendiri. Berusaha menyembunyikan jati dirinya dibalik padatnya spesies manusia. Memperlakukan mereka layaknya dewa hanya karena nenek moyangnya pernah membantai memakan manusia. Garrett menyeka air mata di pipinya ia tak akan pernah menyembah ayahnya ia akan meyakinkan kembali tetua nephilim apapun reksiko yang harus ia terima. Tiba tiba ia mengepalkan telapak tangannya mengambil posisi kuda kuda mempercayakan indra pendengarannya yang menangkap gerak gerik lawan. Garrett mendapati dirinya dikepung oleh kawanannya sendiri, para gigant putih, kali ini lebih banyak dibandingkan yang mengejarnya tadi. Diantaranya muncullah seorang wanita tua berjalan menghampiri Garrett. Wanita tua itu berjalan dengan bantuan tongkat. Nyaring terdengar setiap kali tongkat itu menghentakkan tanah pijakannya. "Tebus dosamu dan kau akan diterima kembali nak." Ucap wanita itu terdengar serak.

"Tidak akan! Aku tak akan pernah menyembah ayah yang ingin membunuh anak anaknya sendiri! Dan aku tak akan ikut menanggung dosa yang tak ku perbuat!"

Wanita tua itu tak bergeming sedikitpun, hanya diam menatap anak laki laki dihadapannya menembus mata abu abu anak laki laki itu. Hingga salah satu dari mereka meminta aba aba untuk menyerang Garrett tetapi wanita tua itu melambaikan tangan menahan. "Ini kesempatan terakhirmu nak, jangan membuat kesalahan yang fatal."

"Kalian yang membuat kesalahan fatal." Dan kumpulan para gigant menyerang Garret. Pertarungan berlangsung singkat dan brutal. Biar bagaimanapun Garrett tetaplah masih anak anak meski ukuran tubuhnya terbilang besar. Dengan mudah ia terhempas kesana kemari menahan pukulan kepalan tangan para gigant. Kepalanya terasa pening, wajahnya yang membengkak akibat babak belur mengaburkan pandangannya. Tubuhnya kini diangkat oleh nephilim terbesar, ia merasa ringan, dan dalam hitungan detik tubuhnya melayang diudara menghantam berbatuan lalu memantul menghantam berbatuan lagi menuruni gunung. Kesadaran Garrett melayang pergi ia tak merasakan apapun. Yang ia ketahui hanyalah sebagian tulangnya telah patah, bisa jadi ada yang remuk.

"Siapa yang menyuruhmu melempar anak itu?!" Seru wanita tua itu kepada nephilim terbesar serak.

"Tetua tak bilang agar tidak melemparnya."

"Aku pun tak menyuruh kalian menghajarnya hingga menjadi gumpalan daging biru!"

"Tepai anda juga tak menghentikan kami."

Wanita tua itu menarik napas kuat kuat lalu menghembuskannya perlahan mengatur amarah di ujung pelatuk. "Dari tadi aku sudah berteriak, kalian yang tuli!" Dan gagal. Nadanya semakin tinggi seiring kalimatnya selesai. Membuat nephilim terbesar itu merasa bersalah.

"Aku akan mencarinya."

"Tak perlu, ia pasti sudah mati kecuali keajaiban terjadi."

***

Sudah lebih dari dua belas jam Dana bekerja, menatap layar laptop dengan alis yang nyaris menyatu menjadi jembatan akibat mengkerut terlalu lama. Matanya sayu tanda kelelahan dan kantong matanya menghitam seperti panda luar biasa meski tak ada bedanya dengan panda biasa. Tangannya masih menggenggam pen untuk menggambar diatas papan persegi berwarna abu abu dan hitam yang disangkutkan di laptopnya menggunakan kabel, pen tablet. Menarik garis kesana kemari memberi warna lalu menghapusnya, sesekali mengumpat lalu berteriak menumpahkan emosi yang mengganjal akibat tak kunjung usai. Ditambah sinar matahari yang dari tadi mengusik konsentrasinya, menembus jendela yang memang sengaja didesain menjulang tinggi dan lebar dengan kerangka bermotif kotak kotak berwarna putih, tetapi Dana malas bergerak lantaran berpikir sebentar lagi, mungkin, pekerjaannya akan selesai. Tentusaja itu hanya ekspektasi belaka. Nyatanya segala sesuatu dapat membuatnya terusik meski hal sepele, membuat pekerjaannya selesai lebih lama. Sebenarnya, biasanya ia tak pernah terusik dengan hal sepele, hanya pada saat saat dimana ia kurang tidur maka semuanya berubah menjadi amat teramat menjengkelkan, seperti sinar matahari ini... dan pekerjaannya yang... sialan. Akhirnya, ia menghela napas dengan kekonyolannya sendiri. Diputuskannya untuk beristirahat sejenak, ia beranjak pergi menutup tirai lalu mematikan laptop yang nyaris dilempar akibat merengek memprotes memori ram yang dipakai terlalu banyak. Dengan segenap jiwa Dana berusaha menenangkan diri menarik napas dalam dalam lalu menghembuskannya perlahan tak ingin menghabiskan sisa energi yang semakin menipis. Dan ya, itu hanya ekspektasi... lagi. Ibu tersayangnya membuka pintu nyaris seperti mendobrak membuat pelipis Dana berkedut semakin kencang menahan amarah. "Dana! Sudah jam berapa ini dan kau masih belum sarapan!" teriak nyonya Yang sambil berkacak pinggang, tentu saja Dana hanya menoleh menatap nyonya Yang sebentar lalu kembali lagi pada layar laptop hingga membuat nyonya Yang pergi dengan sendirinya setelah membanting pintu. Yup! Hubungan orang tua dan anak yang tak sehat pikir Dana. Mereka bahkan jarang berbicara meski tinggal di satu atap. Bukan karena tak tahu etika atau semacamnya tetapi lebih karena rasa kecewa yang bertumpuk selama bertahun tahun dan rasa tak pernah dimengerti hingga akhirnya diam adalah pilihan terbaik untuk menghindari pertengkaran. Dana menghela napas sekali lagi merebahkan diri di atas sofa berbentuk leter L berbahan kain beludru krem dan memeluk bantal, rasanya ia ingin mengganti bahan pintu kamarnya menjadi besi atau apapun yang lebih keras dan kalau bisa yang berduri agar tak dapat diganggu. Perlahan lahan matanya semakin terasa berat dan mulai mengatup dengan sendirinya, ia bahkan sudah tak mendengar suara khas laptopnya yang menyatakan dirinya telah dimatikan. Dana terlanjur terlelap kedalam mimpi yang indah dalam tanda kutip.

Sexy Violence Yummy [Mature]Where stories live. Discover now