38. You're My Brother

2.7K 201 8
                                    

Revan dan Sarah baru sampai rumah mereka pada pukul sembilan malam setelah mengurus penjualan rumah Farhan yang akan di umumkan beberapa hari lagi. Sepeninggal Naura, Sarah sebagai anak memilih untuk membawa satu orang tua nya yang tersisa tinggal bersama mereka. Lagi pula, rumah Farhan terlalu besar untuk di tinggali oleh satu orang apalagi sudah lansia.

Karena rumah tersebut belum resmi di perjual-belikan, Farhan memilih untuk tetap tinggal sampai ada orang yang resmi ingin membeli rumah tersebut dan Sarah mengizinkan.

Wanita dengan rok selutut itu melepas dahaga nya di dapur, sedangkan Revan sedang membuka dasi kerja nya dan melempar barang tersebut ke sofa. "Heh! Taruh yabg bener di kamar sana!" Omel Sarah saat melihat nya.

Revan mau tidak mau menurut, lalu masuk ke kamar nya. Sarah jadi tahu darimana gen Grafisa yang sering menaruh barang-barang sembarangan itu dari mana. Ngomong-ngomong soal anak nya, Sarah belum bertemu putri nya sejak pagi tadi.

Sarah memilih masuk ke kamar anak nya terlebih dahulu, berhubung ada sesuatu yang ingin di bicarakan. "Ca?"

"Hm?" Grafisa menyahut, lalu mengalihkan pandangan nya dari buku tulis kepada Sarah yang kini duduk di sisi kasur Grafisa sedangkan anak nya itu duduk di kursi belajar.

"Kamu lagi apa?" Tanya Sarah.

"Lagi ngerjain PR sejarah, kenapa?" Grafisa sudah sepuluh tahun hidup bersama Sarah, terhitung sejak umur Grafisa enam tahun dimana ia sudah mengetahui sifat seperti apa Sarah itu, dan ia yakin betul kalau berbasa-basi bukan 'Mama nya' sekali.

"Udah makan?"

"Udah, kenapa si?" Tanya Grafisa sewot--karena kepo.

Seulas senyum kemudian muncul dari wajah Sarah yang langsung di balas dengan kerutan di kening Grafisa. "Kamu mau punya adik kan?"

"HAH DEMI APA?!" Teriak Grafisa kencang, ia sudah turun dari kursi nya dan menempelkan telinga nya tepat di perut Sarah. "Kok ga kedengeran apa-apa?

"Ya Allah dah punya anak gini amat," ucap Sarah sambil menyingkirkan kepala Grafisa dari perut nya. "Orang baru dua puluh tiga hari, kebentuk jantung juga belom. Nilai biologi kamu berapa si?"

"Aku ga ada pelajaran biologi."

"Oiya lupa kan anak IPS ya."

"Iya."

"Gimana? Seneng ga?" Tanya Sarah sambil menaik-turun kan kedua alis nya.

"Ya seneng lah! Gitu aja pake nanya," balas Grafisa cepat, gadis itu kemudian kembali menempelkan sebelah telinga nya ke perut Sarah. "Aku tunggu sampe kamu nendang-nendang perut mama ya."

----

Gilang membiarkan kopi hitam nya terbengkalai begitu saja, asap yang tadi mengepul sudah menghilang. Menandakan kalau kopi tersebut sudah dingin dan juga terlalu lama terbengkalai.

Sementara sang pembuat masih terus menatap langit di atas dengan posisi terlentang. Ia sedang tidak berada dalam kamar, tapi berada di balkon luar kamar nya. Gilang tidak terusik sama sekali meskipun ia mendengar pintu kamar nya di buka, yang sudah jelas siapa yang menyebabkan hal tersebut terjadi.

Ghifari mengikuti posisi adik nya, terlentang dengan satu tangan yang di gunakan sebagai bantal. Ia tidak ingat kapan terakhir kali ia mendengar Gilang berbicara banyak, ia tidak ingat kapan terakhir kali ia melihat Gilang tertawa bahagia di rumah, ia tidak ingat kapan terakhir kali ia memiliki waktu bersama adik satu-satu nya ini.

Pain can changes person. Ghifari baru mengerti arti kalimat itu sekarang. Gilang sepenuh nya berubah, entah sampai kapan itu akan berakhir.

"Val," Ghifari berbicara pelan, tidak terlalu berharap panggilan nya akan di gubris.

Gilang tidak menjawab, malah mengumpat dalam hati ketika Ghifari memanggil nya dengan sebutan "Val" yang di ambil dari nama tengah nya yaitu Rival. Hanya ada satu orang yang memanggil nya dengan sebutan itu dan orang itu adalah kakak nya, Ghifari.

Itu panggilan masa kecil nya, dan ia benci itu.

"Lo tau ga berapa kali papa nangis tiap malem di ruang kerja nya? Lo tau ga berapa kali dia ga tidur cuma mikirin tentang mama dan kehidupan lo di Surabaya dulu? Lo tau ga betapa kehilangan nya papa?" Ghifari berhenti sebentar, menarik nafas dalam-dalam. "Papa juga kangen mama, papa juga kehilangan. Sama kayak lo, sama kayak gue. We both miss mom."

"Val, lo harus ngerti kalo dulu papa kayak gini karena rasa kehilangan yang mendalam. Dia gatau mesti apa saat mama pergi, dia juga merasa bersalah Val, bukan cuma lo. Dia kadang suka ngomong, coba dia ada di kebakaran saat itu buat nyelametin mama, tapi dia malah ngurus masalah kerjaan. Rasa sesal dan kehilangan itu buat dia bertindak di luar kontrol diri nya sendiri. Di dalem hati, dia sebenarnya gamau nyalahin lo, tapi otak nya menyuruh untuk ngelakuin itu dan sekarang, dia sadar kalau dia salah."

"Sekarang giliran lo, giliran lo Val buat ngubah semua nya. Cuma lo yang bisa ngubah kehidupan lo sekarang. Gue ngerti lo sakit hati, banget. Dan gue juga minta maaf, gue minta maaf atas ketidak hadiran gue di dalam hidup lo beberap tahun ke belakang, gue salah. Gue ga bisa jaga adik gue sendiri, Val, I'm sorry. But its time to change."

Gilang masih tidak bersuara.

"Papa minta maaf sama lo bukan cuma karena dia mau nikah lagi, tapi karena dia emang bener-bener ngerasa bersalah. Val, kita bisa mulai dari awal. Gue, lo, papa, dan tante Mega. She is a good person I swear, at some reason she almost same with mom, I think that's why dad love her."

Ghifari kemudian menyesap kopi hitam yang ada di sisi kiri nya setelah merasa haus berbicara panjang tadi. "Gue tau lo ga sepenuh nya berubah, gue tau lo masih punya hati."

Gilang tersenyum kecut, "tapi kenapa gue ga pernah di ajak untuk kenalan sama tante Mega?"

"Kapan pernah lo bener-bener dengerin apa yang papa omongin? Ask yourself." Entah kemana hilang nya seluruh kalimat sangkalan yang sudah Gilang siapkan.

"Val, you know that you are my brother and always, we cant deny it. Dan gue ga akan terus biarin saudara gue terpuruk seumur hidup dalam masa lalu."

Jarang sekali mereka bicara sepanjang ini. Jarang sekali Gilang membiarkan Ghifari terus berbicara dan terus mendengar. "Ghif..." cuma itu yang mampu ia keluarkan.

"You are my brother." Kata penutup tersebut mampu membuat Gilang makin terpuruk. Ia benci mendengar suara Ghifari yang sangat tulus. Ia benci ketika hati dan otak nya tidak berjalan bersama.

Semua nya terasa begitu mendalam. Sudah lama sekali Gilang tidak menangis. "You are my brother too."

***

Gue sedih pas nulis ini huhuhu, semoga kalian juga sedih ya huehehe

NuncaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang